Dewasa ini banyak orang yang kurang memperhatikan permasalahan sampah dan dampak yang dapat ditimbulkannya. Lebih banyak yang peduli dengan bagaimana menyingkirkan sampahnya masing-masing. Namun, kebiasaan tersebut ingin coba dirubah oleh Gringgo, startup yang berbasis di Bali, yang ingin membantu memfasilitasi waste management system.
Gringgo berdiri pada November 2014 silam, bersamaan dengan digelarnya acara Startup Weekend Bali yang mengambil tempart di co-working space Hubud, dengan nama Cash For Trash. Pendirinya yang saat ini full time ada dua orang, mereka adalah Olivier Pouillon sebagai CEO dan Febriadi Pratama (Febri) sebagai CTO. Selain Olivier dan Febri, masih ada dua orang lagi yang merupakan bagian dari pendiri dan bekerja secara sukarela untuk membantu Gringgo tumbuh.
Febri menceritakan bahwa latar belakang didirikannya Gringgo adalah masih banyaknya area yang belum memiliki akses ke pembuangan sampah. Denpasar, kota tempat tinggal Febri yang juga merupakan ibu kota provinsi Bali, adalah salah satunya.
“Di tempat saya tinggal, di Denpasar, itu tidak ada jasa pengambilan sampah ke rumah. Jadi, setiap beberapa hari sekali saya bawa sampah ke kantor karena di kantor ada jasa pengumpulan sampah. […] Jadi, kami ingin kalau suatu saat nanti kami bisa dengan mudah request jasa angkut sampah,” tutur Febri.
Cara kerja Gringgo
Febri menjelaskan Gringgo sebagai sebuah web based app yang bisa dipakai untuk memfasilitasi sistem pengolahan sampah. Sederhananya, melalui layanan Gringgo pengguna bisa meminta agar sampahnya dapat diangkut dan diolah.
Febri mengatakan, “Yup, that’s the idea [Gringgo memfasilitasi pengguna agar bisa meminta sampahnya diangkut]. Jadi, nanti orang bisa daftar dan request [di Gringgo]. Lalu kami carikan kolektor terdekat yang kemudian akan mengambil dan membawa ke fasilitas mereka untuk diolah.”
“Kami kerja sama dengan badan-badan pemerintah atau swasta yang bergerak di bidang pengumpulan dan pengolahan sampah untuk membangun sebuah network untuk waste collection. Nantinya setiap orang yang punya akses internet bisa dengan mudah meminta untuk pengambilan sampah di rumah atau tempat mereka melakukan kegiatan,” tambahnya.
Febri juga menekankan bahwa pihak Gringgo tidak akan menyentuh sampah yang akan diangkut. Gringgo hanya memfasilitasi dan membantu para kolektor untuk bisa bekerja lebih baik dan mungkin mendapatkan penghasilan lebih.
Ketika disinggung mengenai monetisasi, Febri menyebutkan susah untuk menjelaskan bisnis model yang diadopsi oleh Gringgo saat ini. Namun sebagai social enterprise, Gringgo bisa mendapatkan dana tidak hanya dari investasi tetapi juga donasi sebagai dana awal operasional. Febri juga mengungkap bahwa saat ini Gringgo sedang mencari investor yang memiliki minat dan visi yang sama dengan mereka.
Fokus operasional Gringgo ke depan
Selain melalui situsnya, Griggo juga telah memiliki aplikasi mobile yang saat ini baru tersedia untuk platform Android. Aplikasinya sendiri saat ini masih dalam pengembangan dan baru sebatas memberikan informasi seperti barang-barang apa saja yang bisa didaur ulang dan perkiraan harga dari barang tersebut. Sedangkan untuk fokus operasionalnya sendiri, Gringgo akan memfokuskan pada daerah Seminyak dan Denpasar di Bali.
Olivier mengatakan, “Kami fokus pada pelaksanaan solusi untuk Bali, khususnya Seminyak dan Denpasar. Masalah sampah adalah masalah yang lebih besar di Bali yang juga mempengaruhi [sektor] pariwisata secara negatif, bukan hanya masyarakat umum.”
“Bali telah mendapatkan reputasi kotor dan kami di sini untuk memberikan solusi nyata dan jangka panjang dengan mitra kami. Ini hanya tahap pertama, kami ingin membangun dan menjangkau lebih banyak orang, juga daerah,” lanjutnya.
Olivier sendiri telah melang melintang dengan isu lingkungan sejak akhir tahun 1993 di Indonesia. Mulai dari bekerja dengan Wisnu Foundation, organisasi lingkungan Indonesia pertama yang berdiri di Bali, hingga pada tahun 2009 mendirikan perusahaan pengolahan sampah sendiri yang bernama Bali Recycling. Sementara Febri sendiri memiliki latar belakang sebagai seorang desain interior dan baru terjun ke dunia lingkungan sejak bergabung dengan Gringgo.
“Kami bukan [perusahaan] e-commerce, chatting, atau travel. Kami benar-benar memanfaatkan teknologi untuk menyelesaikan masalah yang umum terjadi yang juga mempengaruhi semua orang [sampah]. […] Sekarang, kita ini mulai hidup di era bagaimana caranya me-recover sumber daya yang terbuang dan di Gringgo kami mengajak semua pihak untuk memulainya,” tandas Febri.