Centaur atau aspiring unicorn adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta (1,4 triliun Rupiah) dan di bawah $1 miliar (14 triliun Rupiah). Valuasi sendiri salah satunya diukur berdasarkan pendanaan yang didapat dari investor.
Perkembangan pesat ekosistem di Indonesia membawa banyak startup ke pendanaan later stage – putaran seri A atau di atasnya. Implikasi baiknya, kini banyak startup Indonesia yang berhasil menyandang gelar centaur.
Kendati tidak didaftar, menurut laporan Temasek, Google dan Bain & Company saat ini ada sekitar 70 startup centaur di Asia Tenggara. Adapun di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan DSResearch awal tahun ini, setidaknya ada 27 startup yang kebanyakan sudah dikonfirmasi memiliki valuasi di atas US$100 juta.
Berikut adalah daftar startup-startup centaur tersebut:
Analisis vertikal bisnis
Ditinjau dari vertikal bisnis yang dilakoni, cakupannya cukup beragam kendati fintech dan e-commerce jadi yang mendominasi. Trennya masih sama jika melihat daftar unicorn lokal yang ada, 3 dari 6 pemain adalah di bidang e-commerce. Sementara itu jika ditinjau dari model bisnisnya alias kanal revenue stream yang diandalkan, pembagiannya juga cukup berimbang, sebanyak 13 startup terapkan model B2C, 10 statup di model B2B, dan sisanya (4 startup) menyasar keduanya melalui B2B2C.
Untuk model B2B ada tiga fintech lending, dua SaaS, dan masing-masing satu untuk marketplace, logistik, media dan fintech payment. Kendati masing-masing tawarkan layanan kepada bisnis, sebenarnya beberapa bersinggungan erat dengan bisnis transaksional di level konsumer.
Di p2p lending misalnya, kendati dana yang terkumpul dari pemain di atas fokus didistribusikan untuk UKM, dana mereka tetap dihimpun dari investor perorangan. Platform dikembangkan memang bertujuan agar siapa saja dapat mengakses alur permodalan dan bertindak sebagai investor kendati (mungkin) tidak memberikan profit secara langsung, karena bunga pinjaman dan biaya lainnya dibebankan kepada peminjam.
Pun demikian Moka di sudut SaaS. Kendati fitur-fitur yang disajikan merangkul para pebisnis mikro, aplikasi dan layanan jalan untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi konsumen di merchant offline. Bisnisnya mengatur transaksi dan arus kas di dalam bisnis.
Bagi B2C makin lebih gamblang, karena mengenakan biaya dari konsumen atas produk atau layanan yang diberikan. Tak ayal bisnis berbasis jual beli, transaksi keuangan atau berlangganan jadi yang paling banyak dikembangkan.
Momentum pasar
Alasan mendasar yang membuat bisnis-bisnis centaur moncer adalah kesiapan pasar. Jika penetrasi dilakukan 5 atau 10 tahun lalu mungkin hasilnya tidak akan sepesat ini. Ambil contoh Payfazz sebagai salah satu startup yang cukup cepat akselerasi bisnisnya.
Aplikasi Payfazz memungkinkan mitra (rata-rata pemilik warung) untuk bisa melayani penjualan berbagai item virtual, seperti pulsa, token listrik, pembayaran asuransi, transfer uang dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri, menurut Kemenkopukm ada sekitar 64 juta UKM dengan 46,27% di antaranya di bidang perdagangan, termasuk di dalamnya pemilik warung. Di sudut masyarakat pelanggan, layanan-layanan yang diberikan akrab dengan kebutuhan sehari-hari. Nilai ekonomi berputar kencang dalam komoditas terkait.
Kue bisnis yang besar kini turut diperebutkan oleh pemain digital raksasa lain, seperti platform e-commerce yang berbondong-bondong kuatkan program kemitraan dengan warung – telah dijalankan Bukalapak, Tokopedia dan kini Shopee.
Belanja online yang telah menjadi kultur juga memberikan dampak baik bagi e-commerce yang memberikan layanan secara lebih spesifik. Misalnya yang disajikan HappyFresh, melalui aplikasi memungkinkan masyarakat mendapatkan bahan makanan yang dijamin segar. Namun sampai tahun 2025 proyeksi GMV untuk bisnis ini masih akan terus tinggi mencapai US$82 miliar.
Sementara bagi fintech sudah sangat jelas, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable) yang bisa dijadikan sasaran layanan.
Arah bisnis yang tepat
Faktanya lebih banyak startup yang telah beroperasi bertahun-tahun tapi belum kunjung menyentuh valuasi centaur. Fenomena ini sempat jadi perbincangan hangat, lantaran disinyalir terjadinya funding gap. Yakni gagalnya startup yang telah melewati pendanaan early-stage untuk mendapatkan kepercayaan investor later-stage.
Di fase lanjutan, angka yang tersaji di dalam metrik menjadi penting bagi investor. Dan angka-angka itu bakal meningkat tajam jika bisnis yang disajikan memang menangani hal-hal yang dibutuhkan oleh banyak orang, secanggih apapun solusi yang ditawarkan.
Intuisi founder untuk mengeksekusi bisnis dalam momentum yang tepat jadi salah satu kunci mengapa pada akhirnya 27 startup tadi mungkin dalam waktu dekat akan segera menyusul para seniornya, bergabung di jajaran unicorn.