Danik Indriati adalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai agen reseller di aplikasi social commerce Super. Setiap minggu, dia mengumpulkan pesanan bahan makanan dan barang konsumsi harian lainnya di saluran media sosialnya. Dia kemudian memesan produk ini di Super dan secara pribadi mengirimkannya ke pelanggan beberapa hari kemudian.
“Seorang teman memperkenalkan Super kepada saya. Pada awalnya saya tidak tertarik karena operasinya terlihat rumit. Namun ternyata fitur dan petunjuknya mudah diikuti,” ujarnya kepada KrASIA. Saat ini, Indriati memiliki sekitar 120 pelanggan, terutama sesama ibu rumah tangga yang tinggal di lingkungannya—Kabupaten Tegalsari di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
“Super menjual barang dengan harga grosir, jadi saya bisa menjualnya kembali dengan harga sedikit lebih tinggi dan mendapat untung,” katanya. “Pelanggan suka berbelanja melalui saya karena mereka tidak perlu pergi ke pasar atau toko kelontong sehingga mereka dapat menghemat uang yang seharusnya dihabiskan untuk bensin atau transportasi umum,” tambah Indriati.
Didirikan pada tahun 2018, Super yang didukung SoftBank menyediakan barang-barang yang terjangkau bagi penduduk di kota-kota tier-2 dan tier-3 di Indonesia dengan memanfaatkan perdagangan sosial dan rantai logistik yang efisien. Platform tersebut saat ini telah tersedia di 22 kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan serta memfasilitasi ribuan reseller seperti Indriati.
Indriati menikmati peran lepasnya sebagai agen reseller karena ia dapat memperoleh penghasilan tambahan tanpa meninggalkan anak-anaknya sendirian di rumah. Dia mendapatkan hingga Rp 2,5 juta (USD 142 hingga USD 177) per bulan, katanya, lebih tinggi dari upah minimum provinsi 2021 di Jawa Timur, Rp 1,86 juta (USD 132).
Mengatasi masalah retail di daerah
Super adalah salah satu dari beberapa platform social commerce yang muncul di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Startup lain di sektor ini termasuk Evermos, KitaBeli, Chilibeli, RateS, dan Woobiz, yang terutama menargetkan pelanggan di kota tier-2 dan tier-3. Di wilayah seperti di Indonesia, social commerce menjadi sangat populer karena adopsi e-commerce masih rendah karena biaya pengiriman yang mahal dan penetrasi internet yang lebih rendah.
Sebagian besar konsumen di kota-kota kecil memulai perjalanan belanja online mereka di platform media sosial seperti Facebook Marketplace atau grup WhatsApp, di mana mereka dapat dengan mudah menjangkau penjual yang tinggal di sekitar dan menawarkan pilihan produk hyperlocal.
“Ritel di pedesaan memiliki dua tantangan besar—harga yang tinggi dan volume transaksi per rumah tangga yang kecil. Di Indonesia, produk harian seringkali lebih mahal di daerah pedesaan dibandingkan dengan kota tier-1 karena kondisi jalan yang buruk di seluruh negeri dan biaya rantai pasokan,” kata CEO Super Steven Wongsoredjo kepada KrASIA.
Community buying bisa menjadi jawaban atas tantangan tersebut, ujarnya. “Kami memanfaatkan tokoh masyarakat dan agen untuk merangsang lebih banyak transaksi di komunitas sehingga mereka mendapat harga yang menarik.” Pengecer lokal juga bertanggung jawab atas pengiriman barang jarak jauh, yang memudahkan logistik Super dan biaya rantai pasokan.
Menurut Steven, model ini telah membantu Super menurunkan harga produk rata-rata sebesar 10–20% untuk pengecer, yang kemudian dapat memperoleh margin dari penjualan mereka sambil tetap menawarkan harga yang kompetitif kepada penduduk kota pedesaan.
Sektor social commerce telah terbukti menjadi target empuk investor pada tahun 2021. KitaBeli mendatangkan USD 10 juta dari Go-Ventures pada Maret, Super mengantongi USD 28 juta dari SoftBank April lalu, dan Evermos mengumpulkan USD 30 juta dari UOB Venture Management pada September .
Bersinggungan dengan ekonomi halal
Perusahaan social commerce yang berfokus pada ekonomi halal Evermos secara khusus menargetkan komunitas Muslim, yang merupakan 86,7% dari seluruh populasi Indonesia. Perusahaan menyediakan produk halal dan barang-barang lainnya untuk pelanggan Muslim sambil mengikuti pendekatan yang sesuai dengan syariah.
Prinsip-prinsip Islam mengharuskan bisnis dilakukan dengan jujur dan benar, salah satu pendiri Evermos Ghufron Mustaqim mengatakan kepada KrASIA. “Artinya reseller wajib menulis deskripsi produk yang jujur dengan gambar yang sesuai, mengatur pengiriman tepat waktu, dan memberikan proses refund yang mudah,” ujarnya.
Dengan mengikuti konsep syariah, masyarakat akan lebih percaya diri untuk berpartisipasi dalam transaksi e-commerce, terutama di masyarakat pedesaan, di mana pengguna masih enggan untuk membeli secara online karena khawatir akan adanya potensi produk palsu atau barang berkualitas rendah. Membangun kepercayaan sangat penting, tambah Ghufron.
“Kami belum 100% syariah, tapi kami sedang menuju ke arah sana dengan menjunjung tinggi prinsip bisnis syariah,” jelas Ghufron . “Komunitas kami sadar akan konsep syariah dan menjaga etika ini. Misalnya, mereka akan mengeluh jika menemukan gambar dengan model mengenakan pakaian tidak pantas yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.”
Sejauh ini, bisnis berjalan baik untuk Evermos. Startup ini telah meningkatkan nilai merchandise brutonya lebih dari 60 kali dalam dua tahun, dan saat ini memiliki lebih dari 100.000 reseller aktif—kebanyakan wanita—di 500 kabupaten di kota tier-2 dan tier-3 di seluruh Jawa. Lebih dari 95% produk di platform tersebut bersumber dari UMKM lokal, dengan kategori busana muslim dan peralatan rumah tangga menjadi yang terlaris, kata Mustaqim.
Dia mencatat bahwa Evermos adalah platform inklusif, karena banyak pengecer dan pemilik mereknya adalah non-Muslim. “Etika dan prinsip dalam bisnis syariah bersifat universal. Kami terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung dengan Evermos.”
Proyeksi pertumbuhan
Baik Steven dari Super maupun Ghufron dari Evermos yakin dengan perkembangan social commerce di Indonesia. Negara ini diperkirakan akan melihat jutaan pengguna internet baru dari daerah setiap tahunnya, social commerce dapat menjadi jembatan bagi para pengguna ini untuk meningkatkan kegiatan belanja online.
Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi kota-kota tier-2 dan tier-3 akan melampaui pertumbuhan di wilayah metropolitan di Indonesia dalam lima tahun ke depan, menurut laporan Alpha JWC dan Kearney. Studi ini menyoroti bahwa pangsa pasar kota-kota yang lebih rendah dari produk domestik bruto nasional akan tumbuh dari 3% menjadi 5% pada tahun 2030, mencapai nilai USD 77 miliar. Jelas sekali bahwa startup yang memanfaatkan konsumen di luar wilayah metro memiliki peluang pasar yang luas.
“Dalam social commerce, satu perusahaan tidak dapat mendominasi semua pasar, karena setiap wilayah memiliki tantangan rantai pasokan yang berbeda. Perusahaan akan memiliki ceruk pasar dan kekuatan masing-masing, yang selanjutnya akan mendorong industri secara keseluruhan,” ujar Ghufron.
Evermos akan terus fokus pada produk halal dengan pendekatan yang sesuai dengan syariah, sebut Ghufron. Pada saat yang sama, Super akan menargetkan ekspansi di luar Jawa, terutama di Indonesia Timur, tambah Steven.
“Sementara sebagian besar startup tumbuh di Jakarta, kami berharap menjadi yang pertama tumbuh besar di Indonesia Timur, yang merupakan permata tersembunyi dengan peluang pertumbuhan yang sangat besar,” ujar Steven.
–
Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial