Dark
Light

Sinkronisasi Regulasi Muluskan Demokratisasi Teknologi

3 mins read
January 23, 2020
Pendekatan terbaik untuk ekosistem startup digital: "the best regulation is less regulation"
Ekosistem digital membutuhkan regulasi yang tepat sasaran dan tepat takaran / Pixabay

PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) telah resmi berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019. Beleid ini terdiri dari 19 bank dan 82 pasal, menjelaskan pelaksanaan transaksi dari sisi pelaku usaha, konsumen hingga produk.

Banyak poin yang menarik jadi bahasan, salah satunya tertuang di pasal 15 yang intinya pelaku bisnis (dalam hal ini termasuk pedagang) wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan PSME. Padahal menurut data Asosiasi E-commerce Indonesia 95% pelaku UKM masih berjualan di media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace. Lantas, bagaimana praktik pengawasannya?

Aturannya memang baru dirancang akhir-akhir ini, sementara bisnis e-commerce mulai menggeliat tahun 2010. Sebelum melalui portal yang lebih terstruktur, model customer-to-customer (C2C) marketplace sudah berjalan melalui forum online seperti Kaskus FJB dan media sosial. Pada tahun 2005 Tokobagus didirikan dan makin populerkan mekanisme belanja online. Berbagai platform bermunculan, mulai dari Tokopedia (2009), Bukalapak (2011) dan lain-lain. Sementara aturannya serius diundangkan satu-dua tahun terakhir ini.

Masih banyak vertikal bisnis lain

Fintech juga jadi model bisnis digital yang mendapat perhatian khusus regulator di tengah kemunculan berbagai jenis aplikasi penunjang. Secara spesifik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertindak mengayomi platform berbasis pinjaman, investasi dan asuransi. Sementara Bank Indonesia (BI) lebih fokus ke platform transaksi dan pembayaran.

Tahun 2016 OJK meresmikan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, menjadi payung hukum utama layanan p2p lending yang secara kuantitas jadi dominan di sektor finansial digital. Melihat kondisi pasar yang ada, tahun 2018 BI memperbarui aturan soal e-money dalam PBI Nomor 20/6/PBI/2018, memperketat kriteria perusahaan penyelenggara platform.

Sayangnya fintech tidak sebatas aplikasi pembayaran atau pinjaman online. Lantas untuk menyiasati inovasi yang terus berlanjut di sektor keuangan, sekitar tahun 2017 mulai diperkenalkan “regulatory sandbox”, yakni ruang uji coba terbatas untuk produk atau layanan yang belum terakomodasi aturan.

Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf
Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf

Beralih ke vertikal lain ride-sharing, yakni skema C2C yang mengakomodasi jasa transportasi secara online. Di awal popularitasnya sekitar tahun 2015-2016, belum ada regulasi khusus yang menaungi. Bahkan karena dinilai “mengganggu” tatanan transportasi yang sudah mapan, banyak pihak vokal menyatakan penolakan.

Apadaya, membendung inovasi teknologi adalah keniscayaan, seiring pergeseran kebiasaan masyarakat yang semakin bergantung aplikasi digital. Negosiasi pun terus dilakukan, menghasilkan berbagai kesepakatan dan kerja sama.

Pemerintah akhirnya menelurkan regulasi untuk taksi online melalui Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus. Di dalamnya mengatur batasan tarif, wilayah operasional hingga spesifikasi kendaraan yang digunakan. Bahkan untuk ojek online, pemerintah tempuh jalur diskresi. Pasalnya sepeda motor tidak termasuk dalam kategori kendaraan angkutan umum.

Apa yang disebut dengan disrupsi digital tidak berhenti di situ saja, berbagai platform baru bermunculan, menyerbu sektor-sektor penting lainnya.

Sinkronisasi regulasi

Dari perjalanan startup digital sepanjang satu dekade tersebut di atas ada dua pelajaran penting yang bisa diperhatikan. Pertama, regulasi selalu tertinggal beberapa langkah di belakang inovasi teknologi. Dan kedua, inovasi teknologi (di sektor publik) tanpa dipayungi regulasi yang tepat akan menimbulkan kegaduhan dan isu di kalangan masyarakat.

Melihat tren perkembangan sub-sektor bisnis digital yang begitu kencang, tampaknya regulasi tidak bisa berdiri secara standalone untuk mengatur kategori bisnis tertentu. Perlu adanya sinkronisasi antarlembaga pembuat aturan.

Sebagai contoh, saat mengatur tentang layanan kesehatan digital (healthtech), selain Permenkes mengenai telemedicine, perlu juga memperhatikan aturan Kominfo tentang transaksi elektronik, bahkan terkait tanda tangan digital.

Model “regulatory sandbox” mungkin  perlu diterapkan di setiap kementerian, untuk mengantisipasi lahirnya platform baru yang menghadirkan disrupsi proses bisnis tertentu. Karena pada dasarnya regulator juga membutuhkan waktu untuk mempelajari dan mengkaji mengenai beragam mekanisme baru sebelum benar-benar dibuat aturannya.

Sinkronisasi juga perlu diselenggarakan untuk mengakomodasi kebutuhan beragam pihak, dalam hal ini pelaku bisnis startup, pelaku bisnis konvensional, konsumen dan pemerintah. Langkah ekosistem membentuk asosiasi di tiap vertikal jadi upaya positif untuk membatu regulator dalam mengkaji setiap aturan yang berdampak pada bisnis terkait.

Efektivitasnya sudah terbukti, memungkinkan menyeimbangkan perspektif regulator dari sudut pandang industri. Sudah terbukti di banyak hal, misalnya Kemenkeu yang akhirnya membatalkan rencana aturan yang mewajibkan pedagang online memiliki NPWP, pasalnya menurut asosiasi e-commerce banyak yang pendapatannya masih di bawah PTKP. Pun demikian yang dilakukan AFPI untuk membantu OJK mengurus legalitas bisnis fintech lending.

Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce
Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce

Teknologi baru terus dilahirkan

Proyeksi kami, selanjutnya yang akan menjadi populer adalah startup di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pengembang teknologi kecerdasan buatan. Lantas sudah siapkah aturan-aturan yang bakal menaungi bisnis tersebut saat mulai masif digunakan pengguna?

Belum lagi saat berbicara teknologi secara spesifik yang berkembang saat ini. Blockchain misalnya, mekanisme ini mulai banyak digunakan untuk kebutuhan transaksi data dan aset digital. Namun saat blockchain benar-benar diaplikasikan ke dalam proses bisnis tertentu sudah siapkah payung hukumnya?

Contoh kasusnya, di tengah peastnya startup legaltech teknologi blockchain bisa diaplikasikan untuk memindahkan dokumen legal seperti surat atau sertifikat dari satu pihak ke pihak lagi tanpa terjadi duplikasi data. Lantas bagaimana jika terjadi kegagalan sistem yang mengakibatkan kerusakan dokumen? Atau terjadi penyalahgunaan yang disebabkan karena unsur nonteknis? Adanya aturan sebenarnya untuk melindungi dan memastikan proses bisnis berjalan sebagaimana mestinya.

The best regulation is less regulation

Mengutip istilah yang dipakai Rudiantara selaku Menkominfo periode sebelumnya saat membahas regulasi untuk ekosistem startup, “the best regulation is less regulation”.

Simplifikasi regulasi memang jadi upaya penting yang harus dilakukan pemerintah. Pasalnya dengan regulasi yang rumit juga akan menghambat perkembangan bisnis. Namun regulasi tetap penting dijadikan landasan untuk memastikan industri tetap berjalan secara sehat. Jadi kesimpulannya, ekosistem membutuhkan regulasi tepat sasaran dan tepat takaran.

Previous Story

Tencent Mau Akuisisi Funcom, Developer Conan Exiles

Next Story

Apakah Warcraft III Reforged Akan Memiliki Custom Map?

Latest from Blog

Don't Miss

(Ki-ka) Partner Tunnelerate Ayunda Afifa, Bharat Ongso, Ivan Arie Sustiawan, and Riswanto / Tunnelerate

Co-Founder dan eks-CEO TaniHub Ivan Arie Sustiawan Ingin Bangkitkan “Founder” Startup Lokal Melalui Perusahaan Modal Ventura Tunnelerate

“Someday I would like to give back to the community.”

Several Findings on the Merah Putih Fund

The government recently announced the “Akselerasi Generasi Digital”, a collaborative