Ada satu konsep simpel yang begitu banyak mengubah cara hidup saya. Suatu hal yang sebenarnya dipercaya oleh hampir semua agama atau kepercayaan spiritual lainnya. Satu kata yang cukup dimengerti secara universal adalah: karma. Bahwa segala perbuatan baik kita suatu saat akan kembali kepada kita entah dari mana datangnya. Bahkan, ada peribahasa Indonesia yang mengatakan, “Siapa ÿang menabur benih, dia yang akan menuai.”
Sejak kecil kita selalu diajarkan bahwa budaya bangsa kita adalah budaya yang ramah tamah dan gotong royong. Dan kita seakan dicuci otak bahwa budaya Barat bersifat individualistis, tidak bersahabat, dan sangat negatif. Anehnya, saya terkadang merasakan hal yang sebaliknya.
Di dunia bisnis kita, banyak sekali orang yang dianggap sebagai ‘pebisnis’ walaupun menurut saya terkadang deskripsi yang lebih pas adalah ‘makelar’. Saya selalu percaya bahwa setiap entrepreneur ataupun bisnis yang dijalankan harus menciptakan nilai tambah. Peran ‘makelar’ atau ‘perantara’ biasanya adalah memperkenalkan dua pihak yang ingin melakukan transaksi bisnis. Sejatinya, hal ini sangat dibutuhkan dalam bisnis. Saya pernah menulis bahwa salah satu modal terbesar seorang pebisnis adalah network yg dimilikinya. Bisnis tidak akan berjalan kalau kita tidak punya kenalan yang tepat.
Di sinilah peran seorang penengah yang menjadi penghubung sangat diperlukan. Ia memiliki akses yang tidak dimiliki oleh sang pebisnis, dan ini merupakan sebuah nilai tambah. Saya tidak pernah ada masalah para penengah yang lalu mengambil keuntungan dari hal ini. Nilai tambah selalu bisa dinilai dengan uang dalam bisnis. Yang menjadi masalah buat saya adalah, terkadang nilai tambah para penengah ini berhenti di sini. Kalau si A sudah kenal dengan si B dan bisa melakukan transaksi bisnis berikut tanpa bantuan, seharusnya para penengah tidak lagi mengambil keuntungan dari sana. Kecuali memang masih ada nilai tambah yang bisa terus diberikan, ini mutlak!
Banyak tipe bisnis yang murni sebagai penengah, misalnya distributor barang, real estate agent, atau di dunia internet kita sering mengenalnya dengan sebutan ‘platform’. Beberapa platform yang berfungsi sebagai penengah bahkan menjelma sebagai bisnis raksasa dunia, misalnya ebay, Alibaba, hingga yang lebih baru, AirBnB dan Kickstarter.
Yang perlu dilihat adalah, semua bisnis yang saya sebut tadi memiliki nilai lebih. Kebanyakan platform internet menjadi solusi untuk mempertemukan pihak yang sebelumnya selalu sulit bertemu. Distributor barang membantu produsen untuk tidak repot mengurus administrasi distribusi dan penjualan, sehingga bisa fokus kepada produksi (dan terkadang, marketing). Real estate agent sangat berjasa mengurangi kerepotan administrasi jual-beli properti. Pernah mengurus penjualan/pembelian rumah sendiri? Saya pernah, dan sangat merasakan bedanya ketika pembelian rumah berikut menggunakan jasa agen. Nggak perlu repot…
Semoga Anda bisa mengerti pendirian saya, tidak anti makelar selama ada nilai lebih. Yang mengganggu saya adalah mental makelar yang selalu mencoba mengambil keuntungan dari bisnis orang lain, walaupun ia tidak memberi tambahan nilai. Mengutip kata-kata Seth Godin, wirausaha harus menciptakan dampak (impact) kepada orang lain. Katanya, “Don’t tell me what you invented. Tell me about who you changed.”
Hal yang bertolak belakang dari mental makelar ini justru saya sangat rasakan saat setahun terakhir mulai lebih banyak berhubungan dengan pihak dari luar negeri. Perkenalan dengan pihak-pihak baru sangat mudah dan cair. Setiap kali ngobrol dengan relasi bisnis baru, mereka selalu memberi referensi dan menyarankan untuk ngobrol dengan orang yang mereka rasa tepat. Dan semua dilakukan dengan bantuan teknologi tentunya. Setahun terakhir, ada puluhan email di inbox saya yang berisi 1 kata di subyek emailnya: INTRODUCTION. Biasanya dilanjutkan dengan balas berbalas email dan sering juga dilanjutkan diskusi lewat Skype atau Google Hangout.
Pada awalnya saya bertanya-tanya, apa yang membuat mereka begitu mudahnya (dan bahkan seperti berlomba-lomba) membantu saya? Padahal belum tentu ada untungnya untuk mereka. Sering sekali di Indonesia saya justru mengalami kesulitan untuk mengakses network baru. Biasanya berkesan ‘ditutupi’ oleh lapisan kenalannya, atau pihak yang saya cari sendiri yang menutup diri. Saya tidak bisa menyalahkan mereka juga karena saya yakin terlalu banyak orang yang mencoba berkenalan dan mengambil keuntungan dari mereka, kemungkinan besar para orang yang bermental makelar itu tadi.
Kelihatannya memang mereka hanya senang sharing tentang apa yang mereka tahu dan membantu, tetapi lama kelamaan saya merasa tidak enak kalau berkali-kali banyak bertanya kepada orang-orang yang baru saya kenal ini. Ada istilah ‘picking someone’s brain’ yang memang kita lakukan saat meminta nasihat/pendapat dari yang lebih ahli. Tetapi akhirnya saya menemukan bahwa untuk orang di luar negeri, mereka sangat tertarik untuk mengetahui tentang Indonesia. Tentunya hal-hal yang tidak bisa ditemukan di media massa. Hampir setiap diskusi dengan orang asing saya menceritakan hal-hal yang sama, dan ternyata mereka merasa hal ini sangat menarik. Akhirnya saya sadar, bahwa hal yang membuat orang baru langsung memiliki kepercayaan adalah apabila mereka merasa dibantu, bukan sekedar dimintai nasihat.
Saking seringnya menceritakan tentang ekosistem kewirausahaan di Indonesia, saya memutuskan untuk merangkumnya dalam sebuah artikel dan menaruhnya di website Kinara.
Seringkali orang melakukan riset tentang siapa kita sebelum bertemu (melihat profil LinkedIn, website, dll.), dan mereka membaca artikel tersebut, yang seringkali membuat mereka semakin yakin untuk menyisihkan waktu ngobrol dengan kita. Hal ini juga dilakukan oleh Steve Blank sebelum pertemuan kami, dan bahkan artikel di atas dibagikan lewat tweetnya
Steve juga menulis tentang hal ini: bagaimana untuk meyakinkan orang sibuk yang baru kita kenal untuk mau bertemu dan kita mintai nasihat
Istilah ‘baru’ yang menjelaskan tentang karma baik ini adalah ‘Pay It Forward’. Artikel saya berikut akan menceritakan pengalaman seorang teman yang mendapatkan bisnis sangat besar tanpa disangka-sangka, hasil dari menebar benih kebaikan. He was doing a lot of things and paid them forward. Sampai sekarang, saya belum menemukan padanan kata yang tepat untuk istilah ini dalam bahasa Indonesia. But it doesn’t really matter as long as you keep paying things forward.
Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter @dondihananto.
[ilustrasi foto dari Shutterstock]