Dark
Light

[Simply Business] Peramal Lokal Vs Pemimpin Global

4 mins read
October 31, 2013

Tulisan terakhir saya membicarakan bagaimana kita sebagai penduduk lokal di sebuah negara (atau daerah) dengan kultur tertentu memiliki keuntungan dibanding pendatang baru, untuk memprediksi bagaimana sebuah industri akan bergerak. Pemahaman akan sebuah kultur sangat diperlukan karena ia bisa menentukan berhasil atau tidaknya sebuah bisnis. Bisnis apapun membutuhkan kemampuan beradaptasi kepada situasi lokal, dan ini yang biasanya menjadikan sebuah franchise besar bisa berhasil secara global. Banyak sekali adaptasi yang dilakukan yang membuatnya berbeda dengan konsep aslinya. Branding menjadi sangat penting di sini karena harus ada ‘benang merah’ dari franchise tersebut yang menjadi identitas: bukan sekedar logo. Tetapi adaptasi membuatnya unik di setiap daerah.

Contoh mudah yang kita semua pasti tahu adalah bahwa semua franchise fast food yang ada di Indonesia menjual menu ayam goreng (dan kebanyakan dengan nasi). Bahkan untuk restoran yang memiliki signature menu burger di seluruh dunia, menu yang menjadi best seller di Indonesia adalah ayam goreng. Bayangkan kalau restoran tersebut tidak menyajikan ayam goreng. Tentu mereka tidak akan menjadi sebesar sekarang dan kalah dengan fast food lain yang memang signature-nya adalah ayam goreng.

Jaringan resto ayam goreng itu pun tidak berhenti berinovasi: mereka melihat bahwa jaringannya di Indonesia sangat luas dan mencakup segmen customer yang menarik untuk beberapa industri lain: anak muda (SMA & mahasiswa). Segmen ini sangat menarik untuk dunia entertainment, termasuk industri musik yang secara global sedang kebingungan untuk bertahan.

Jika sekedar melihat tren dunia, di saat itu (sekitar tahun 2010), Apple adalah penjual musik terbesar sejak diluncurkannya iTunes Store tahun 2003. 7 tahun kemudian, Indonesia masih belum mencapai tahap adopsi penjualan musik digital karena ekosistem pendukung yang belum siap walaupun peranti pemutar musik digital sudah sangat jamak. Koneksi internet yang masih sulit, sedikitnya pemegang kartu kredit dan sistem pembayaran digital menjadi masalah sehingga masih ada celah untuk distribusi musik dalam bentuk fisik (CD) yang sudah mati di AS dan negara maju lain.

Manajemen resto ayam pun mendapat ide dari kasus yang terjadi pada perang merek minuman soda. Sejak tahun 80an, dua merek besar berperang, salah satunya lewat musik. Musisi-musisi terbesar dunia sudah sejak lama dijadikan bintang iklan mereka: dari Michael Jackson hingga Beyonce. Ini dilakukan karena segmen yang dikejar minuman soda ini adalah anak muda yang notabene juga segmen terbesar musik pop. Tetapi resto ayam memiliki ide tambahan: mereka memiliki ratusan outlet di seluruh Indonesia, mungkin lebih banyak dari semua jumlah outlet toko musik jika digabung.

Kita semua sudah tahu akhir dari cerita ini. Dalam setahun, jaringan resto ayam ini menjadi penjual musik terbesar di Indonesia, jauh melampaui jaringan toko musik manapun, dan jauh melampaui toko musik online manapun. Awalnya hanya musisi indie yang dijual karyanya, namun sekarang nama-nama besar pun menjajakan CDnya di resto ayam ini.

Mereka mengubah peta industri musik Indonesia, sama seperti Apple mengubah industri musik AS (lalu dunia). Jalannya tidak gampang, butuh perjuangan dari manajemen (sebagai pemegang franchise di Indonesia) untuk meyakinkan master franchise di AS untuk melakukan hal ini. Namun kesuksesan Indonesia menjadi bahan pelajaran untuk franchise di India yang memiliki situasi yang sangat mirip. Saya yakin, Steve Jobs sekalipun tidak akan bisa membayangkan bahwa revolusi musik di Indonesia datang dari resto ayam, bukan Apple.

Ini adalah contoh local wisdom yang berhasil diterapkan. Ide ini datang dari manajemen yang mengetahui luar dalam mengenai target market mereka. Lalu bagaimana dengan industri internet? Seperti yang saya sebutkan di artikel sebelumnya, biasanya bisnis berbasis internet tumbuh dimulai dari sektor perdagangan (e-commerce).

Pengalaman seorang teman yang sudah memulai bisnis travel online menunjukkan bahwa website miliknya saat ini baru berfungsi sebagai katalog, belum sebagai toko di mana transaksi terjadi. Setahun berjalan dengan model murni online, ternyata sedikit sekali transaksi yang terjadi. Faktanya adalah, rata-rata transaksi online yang terjadi di Indonesia berada di angka ~200 ribu rupiah. Sementara paket wisata tentunya berharga lebih mahal bahkan sampai jutaan. Konsumen Indonesia tidak merasa nyaman membeli paket jutaan rupiah tanpa bisa bertanya-tanya dulu. ‘Pivot’ yang dilakukannya adalah mengubah distribution channel, dari murni online menjadi sistem personal reseller.

Reseller? Pertama saya mendengar ini saya benar-benar takjub. Ya, persis sama seperti banyak orang yang berjualan lewat platform chat (BBM dan sekarang WhatsApp), ternyata paket wisata pun laku dijual lewat channel ini. Tidak akan ada pebisnis travel sehebat apapun dari Silicon Valley yang bisa mengerti tentang hal ini. Tentu hal ini akan berevolusi, tetapi pivot yang dilakukan berhasil menyelamatkan startup ini dari ambang kematian karena kecilnya revenue hingga sekarang memiliki revenue yang sehat.

Satu contoh lain adalah sistem pembayaran. PayPal sudah menjadi pemimpin platform pembayaran dunia dengan jumlah transaksi harian lebih dari $300 juta. Bagaimana di Indonesia? Data BI per Maret 2013 menyatakan jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia sudah mencapai 15 juta kartu. Sebuah angka yang sangat besar, untuk negara berpenduduk sedikit seperti Singapura dan Hong Kong, tetapi sesungguhnya masih sangat kecil untuk Indonesia. Yang menarik adalah statistik bahwa rata-rata (mean) pemegang kartu kredit memiliki hampir tiga kartu. Artinya sebenarnya hanya sekitar lima juta orang Indonesia yang memiliki akses kartu kredit, atau hanya 2% dari jumlah penduduk!

Jika PayPal ingin mulai beroperasi di Indonesia, mereka akan memulai dengan angka yang kecil ini. Dan akan lebih kecil lagi jika dilihat berapa persen dari lima juta orang itu yang mau menggunakan kartu kreditnya untuk transaksi online. Faktanya adalah, lebih dari 95% transaksi e-commerce Indonesia dilakukan melalui transfer antar bank (baik itu melalui transfer ATM ataupun e-banking). Tetapi saya sangat yakin bahwa persentase yang melakukan pembayaran lewat e-banking sangat kecil.

Belum lagi menilik rata-rata transaksi ‘e-commerce’ Indonesia yang juga kecil. Tidak ada statistik resmi tentang ini, tetapi data yang saya tahu dari salah satu platform pembayaran lokal, rata-rata nilai transaksi melalui platformnya hanya sekitar 200 ribu rupiah. Bandingkan ini dengan rata-rata (mean) transaksi PayPal yang sebesar ~$60. Bagi yang paham statistik, standard deviasi cukup besar karena rentang jumlah transfer sangat tajam dari hanya 2 sen (AS) hingga ribuan dollar (maksimum transaksi yang dibolehkan oleh kebijakan Paypal adalah $10,000).

Jadi bukan hanya karena nasionalisme buta yang menbuat saya sangat berharap bahwa platform pembayaran lokal Indonesia seperti Veritrans dan iPaymu bisa berhasil di Indonesia, dan bukan PayPal. It’s simply common sense, PayPal will have to change their whole business model if they want to operate properly in Indonesia. Bukan tidak mungkin mereka memutuskan untuk berinvestasi ke Indonesia nantinya, tetapi saya lebih berharap muncul sistem pembayaran lokal yang bisa berhasil seperti M-Pesa di Kenya. Tentu untuk industri keuangan seperti ini, banyak hal yang juga dibutuhkan dari pemegang kebijakan, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), peran yang dulu dimainkan oleh Bank Indonesia.

Saya rasa banyak lagi contoh yang bisa Anda lihat di industri Anda sendiri, karena Anda lah yang lebih mengerti industri Anda dibanding saya atau perusahaan asing yang baru mau masuk ke Indonesia. 3 contoh di atas adalah hal-hal yang kebetulan saya pernah temui sendiri.

Seperti saya pernah tulis di artikel ini, kredibilitas adalah modal utama pebisnis. Dan faktor kredibilitas terbesar adalah keahlian dan pengetahuan Anda tentang industri yang Anda jalani. Itulah kenapa saya selalu menyarankan untuk memulai bisnis di bidang yang Anda memang mengerti dan sukai. Be the expert in your own industry and be the oracle as Steve Blank suggested!

Seperti kata Oracle pada Neo di trilogi The Matrix, “You have the sight now, Neo. You are looking at the world without time.

Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter @dondihananto.

[ilustrasi foto dari Shutterstock]

Previous Story

Indonesian Brands Stay Away From Mobile Advertising Despite Market Size and Adoption of Smart Devices

Next Story

[Updated] Path CEO Dave Morin Announces Path for BlackBerry, Indonesia the Most Active Country on Path

Latest from Blog

Don't Miss

Pengembangan di sektor environmental impact di Indonesia butuh waktu lama sehingga berisiko terhadap komersialisasi produk dan investasi

Investor Tanggapi Kesenjangan Pendanaan Startup “Environmental Impact” di Indonesia

Industri startup Indonesia sebagian besar diisi model bisnis yang bersifat customer-centric. Terpopuler

Observing Vietnam as Indonesia’s Startup Destination for Expansion

The expansion success story is one of the benchmarks for