Artikel ini adalah bagian kedua dari rangkaian artikel yang saya tulis dari pengalaman bertemu dengan seorang dewa dunia startup: Steve Blank
Kalau Anda belum tahu siapa Steve Blank, tulisan bagian pertama saya ada di link ini yang saya harap cukup menjelaskan mengapa dia dianggap sebagai figur yang sangat penting, dan mengapa kami begitu nge-fans. Kali ini saya ingin menceritakan bagaimana kami, enam orang groupie dari Indonesia, bisa bertemu dengan sang dewa.
“Networking is not about who you know, but who knows you”
Saya mendengar kalimat ini pertama kali dari teman saya, career coachRene Suhardono. Saat itu saya masih bekerja di sebuah bank asing dan benar-benar merasa tertohok. Kenapa? Di tempat saya bekerja saat itu, mungkin cukup banyak orang yang mengenal saya. Tetapi sepertinya bukan karena mereka mengenal apa yang sudah saya perbuat, kemungkinan mereka kenal saya lebih karena saya bekerja di bank tersebut cukup lama. 8 tahun bekerja di 1 bank adalah sesuatu yang saat langka saat itu (dan sekarang juga)
Saat itu saya sadar, network saya sangat terbatas karena lingkup pekerjaan saya. Jarang sekali saya mengenal orang di luar organisasi saya. Apalagi mereka mengenal saya. Mulai saat itu pula saya berniat memperluas networking dengan cara menghadiri acara-acara asosiasi dan pertemuan lain. Entah kenapa, saat itu saya hanya memiliki keinginan untuk memperluas network tanpa tahu apa nanti gunanya untuk karir saya.
Kebiasaan networking ini terbawa terus walaupun memang sulit pada awalnya untuk mempraktekkan kalimat kutipan di atas. Kenalan saya memang bertambah, tapi saya tidak yakin mereka mengetahui tentang saya apalagi rekam jejak apa yang sudah pernah saya perbuat, atau lebih penting lagi, apa yang sudah saya hasilkan.
Sampai pada suatu saat, kenalan saya yang bekerja di bank lain mengontak untuk memperkenalkan saya ke bosnya, salah satu petinggi di sana. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan mereka saya berkesempatan sharing tentang pengalaman dan ide-ide saya. Pertemuan itu awalnya membuat saya curiga karena berkesan sedikit seperti interview kerja, dan ternyata berakhir kepada tawaran pekerjaan (yang saya tolak pada akhirnya).
Pertemuan seperti itu berlangsung berkali-kali dan menyadarkan saya, betapa pentingnya memiliki track record hasil kerja nyata yang bagus. Bukan hanya ‘pernah bekerja di xxx’ tetapi apa yang sudah kita hasilkan saat bekerja itu? Action speaks louder than words. Tetapi akan lebih powerful lagi pada saat ada orang lain yang membicarakan mengenai hasil kerja kita dan merekomendasikannya ke orang lain. Bukan hanya kita sendiri yang berbangga menceritakan/mengklaim hasil kerja kita di CV (atau LinkedIn). Pengakuan orang lain jauh lebih berharga daripada self-promotion. Ingat lagi, “who knows you (and your achievements)” bukan sekedar “who you know”. Karena ini saya jadi sangat alergi kepada mereka yang sering “menjual nama” orang besar yang mereka kenal karena ini lebih sering menjadi bumerang.
Inti dari sharing panjang lebar saya di atas adalah satu hal: reputasi. Satu kata ini adalah modal terbesar dalam berbisnis. Reputasi baik? Banyak orang akan senang hati membantu dan berkolaborasi. Reputasi buruk? Jangan harap bisa lancar berbisnis.
Apa hubungan cerita reputasi ini dengan pertemuan dengan Steve Blank?
Untuk memperpendek cerita, perkenalan kami dengan Steve Blank adalah karena reputasi yang terbangun karena konsisten menjalani sebuah ‘perjuangan’. Partner kami mengenalkan kepada pihak yang sudah lama ingin kami ajak kerjasama, dilanjutkan perkenalan lanjutan kepada partner lain mereka yang sudah lama bekerjasama di US, yang ‘kebetulan’ dekat dengan Steve Blank karena mereka menjadi implementor Lean Launchpad, program edukasi lean startup yang sekarang menjadi flagship program Steve Blank. Semua komunikasi kami dengan pihak-pihak ini dilakukan via email dan Skype. This is why I love technology. Potensi mengubah dunia, bukan hanya sebagai bisnis! Dan ini menjadi bukti betapa kuatnya efek network yang benar. Istilah bulenya ‘six degrees of separation’ alias ‘dunia memang sempit’.
Suatu hari, kami mendapat kabar bahwa Steve akan mengunjungi Singapura sebagai bagian dari acara pemerintah. Sebuah badan di bawah pemerintahan sana sudah mengadopsi Lean Launchpad sebagai bagian dari program inkubasi dan ideasi bisnis yang mereka jalankan. Saat mendengar berita ini, kami seperti mendengar berita bahwa Metallica akan konser di Singapura. Pergi ke Singapura untuk menonton konser? Terlalu mainstream, ini adalah kesempatan geek sejati!
Kemudian berikutnya ada kabar yang lebih menyenangkan: Steve akan berlibur ke Indonesia (Ubud & Yogya)! Betapa bangganya kami dan dilanjutkan dengan tawaran kami untuk menemani jalan-jalan dan menjadi tour guide. Pada akhirnya kami memang tidak menemani jalan-jalan, tetapi ada tawaran dari Steve untuk datang ke hotelnya di Yogya (sedikit di luar Yogya sebenarnya) dan ngobrol sambil makan siang. Campur aduk perasaan saat itu, mungkin perasaan yang sama kalau mendapat undangan masuk ke backstage Metallica.
Kembali ke kutipan di awal artikel ini, saya yakin tidak pernah ada ruginya memperluas network. Dan betapa pentingnya mindset networking di awal: jangan hanya memikirkan apa yang bisa kita dapatkan dari orang yang baru kita kenal, tetapi justru harus dibalik: apa yang bisa kita bantu untuk orang yang baru kita kenal? Prinsip ini disebut juga ‘paying it forward’, yang akan saya bahas di artikel selanjutnya. Kalau kita tulus membantu orang lain bahkan yang baru kita kenal, suatu saat bantuan akan kembali kepada kita. Tanpa harus menagih hutang budi atau hitung-hitungan atau minta persenan. It’s just decent networking and collaboration spirit.
Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter @dondihananto.
[ilustrasi foto dari Shutterstock]