Salah satu orang yang saya anggap sebagai mentor bisnis saya termasuk jauh berbeda dibanding pebisnis lain yang sering saya temui. Dia sangat enggan untuk diajak bicara di depan umum, apalagi diliput oleh media. Jaman sekarang, jarang sekali tipe pebisnis seperti ini saya temui. Kebanyakan pebisnis sekarang, termasuk saya tanpa terkecuali, lebih banyak terekspos kepada kredo, “any publicity is good publicity“.
Terserah apakah Anda mau percaya kepada motto ini atau tidak, tetapi kenyataannya, siapapun yang belajar tentang teori bisnis, terutama teori marketing mix klasik, pasti diajarkan tentang 4P di mana salah satunya adalah Promotion dan Public Relations sebagai salah satu komponen Promotion. Saya termasuk salah satu yang belajar teori ini waktu kuliah. Sehingga sangat tertancap di kepala saya bahwa publicity jelas mendatangkan keuntungan bagi bisnis. Berbeda dengan advertising/iklan, publicity dianggap ‘gratis’ karena tidak berbayar langsung kepada media yang memuat beritanya.
Semakin banyak orang yang tahu tentang bisnis kita, semakin baik karena tentu kita berharap akan mendatangkan lebih banyak pelanggan. Lagipula, siapa yang akan membeli produk/jasa kita kalau tidak ada yang mengenalnya? Apalagi apabila bisnis kita masih baru, tentu belum punya budget untuk beriklan dan apapun publisitas yang bisa kita dapatkan seharusnya membantu. Bayangkan kalau Anda memulai sebuah digital startup dan mendapat ulasan di DailySocial, biasanya traffic ke website akan naik tinggi ataupun pengguna yang mengunduh aplikasi akan bertambah š
Sebenarnya, it’s a win-win situation. Jaman dulu, jumlah media belum sebanyak sekarang. Bisnis media dengan model dua sisi (two-sided business model), mendorong semua media untuk mendapat jumlah pembaca/penonton setinggi-tingginya supaya para pengiklan tertarik untuk membayar memasang iklannya. Supaya jumlah pembaca/penonton tinggi, media butuh sumber berita atau cerita yang bisa diangkat. Semakin dramatis ceritanya, semakin baik. Bahkan hal yang biasa saja pun terkadang dibuat seolah sangat dramatis di luar proporsi. Perjalanan dan latar belakang bisnis sering menjadi bahan berita yang menarik. Banyak pebisnis yang memulai dari bawah, sehingga perjalanan hidup dan bisnisnya menjadi cerita yang menarik untuk diangkat.
Kembali ke mentor saya yang saya ceritakan di awal artikel, pertama kali saya mengenalnya, tentu kebiasaannya menghindar dari lampu sorot sangat aneh buat saya. Tetapi dalam perjalanan bisnis saya, semakin sering bertemu dengan orang-orang seperti ini. Membuat saya teringat kepada pelajaran sifat padi yang ‘makin berisi makin merunduk’. Sifat yang sudah jarang ditemukan di jaman ini. Satu kalimatnya yang terus saya ingat, “racun paling berbahaya untuk pebisnis itu bukan uang, tetapi tepuk tangan.”
Kata-kata ini menyadarkan saya bahwa di jaman sekarang di mana popularitas menjadi sesuatu yang dicari, banyak sekali yang merasa puas dan senang dengan publisitas yang didapat sebagai seorang pendiri bisnis. Cukup sering kami bertemu dengan para pendiri yang tampaknya lebih sibuk mengurus publisitas sehingga ‘lupa’ untuk memfokuskan diri untuk membangun bisnisnya. Bahkan ada juga yang bisnisnya sudah bertahun-tahun tidak tumbuh tetapi pendirinya seolah menjadi selebriti di dunia bisnis.
Pernah juga saya bertemu dengan pendiri sebuah startup yang memang dengan sadar menggunakan publisitas sebagai bagian dari usaha memperkenalkan bisnisnya. Saya rasa inilah yang paling penting, keseimbangan dan kesadaran bahwa dalam bisnis, yang terpenting adalah sustainability. Dalam dosis terkontrol, saya percaya ‘racun’ publisitas ini tidak akan menjadi racun yang mematikan. Semua memang perlu dijaga porsinya. Bagaimanapun juga, mentor saya tadi sangat benar. Perasaan berada di atas panggung, diliput media, mendapat tepuk tangan, memang ‘memabukkan’
Sekarang, setiap kali saya mendapat undangan untuk berbicara di publik, atau berbicara di depan media, saya selalu terngiang kata-kata itu, “tepuk tangan adalah racun.” Ini membuat saya selalu berusaha menempatkan diri lagi. Publisitas adalah alat, bukan tujuan. Jika kita sudah menempatkan publisitas sebagai target (secara sadar atau tidak), itu tanda kita mulai keracunan. Lalu bagaimana sebaiknya? Ukur dampak dari publisitas ke bisnis kita. Untuk bisnis berbasis teknologi, pengukurannya jauh lebih mudah: kunjungan website, signup rate, user baru, pengunduh aplikasi, bahkan bisa saja langsung ke angka sales.
Semoga setelah membaca ini, kita semua lebih sadar dan tidak sampai keracunan.
Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter, @dondihananto.
[header image dari Flickr oleh Prato]