Dark
Light

[Simply Business] Entrepreneurs/Startup Founders, Berkomunitaslah!

3 mins read
April 11, 2013

Saya sedang membaca buku ‘Startup Communities‘, yang ditulis oleh Brad Feld. Brad adalah seorang entrepreneur dan investor yang sangat besar perananannya membentuk komunitas startup di Boulder, Colorado. Dia juga berperan penting mendukung David Cohen mendirikan Techstars, yang sekarang ini menjadi ‘the number one startup accelerator in the world‘. Buku ini sangat menarik karena menceritakan pengalaman di Boulder, yang menjadi salah satu hotspot startup di AS yang paling berkembang.

Saya sangat percaya, apabila Silicon Valley dianggap sebagai ekosistem yang paling ideal untuk kewirausahaan, Jakarta ataupun kota-kota lain di Indonesia masih sangat jauh dari itu. Bahkan menurut pendapat banyak penggiat tech startup di AS, “no other place will ever be Silicon Valley“. Jadi untuk saya, jauh lebih menarik mempelajari bagaimana tempat lain mengembangkan ekosistem mereka. Ekosistem di Boulder baru mulai bergerak sekitar tahun 1995 waktu Brad memutuskan pindah ke sana. Apa yang terjadi dalam 20 tahun terakhir ini di sana jauh lebih bisa direplikasi di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Dan butuh kerjasama dari banyak pihak untuk hal ini supaya terwujud.

Jadi apa saja yang masih bisa kita lakukan untuk ekosistem entrepreneurship di Indonesia? Hal-hal ini kebanyakan saya dapatkan dari buku yang saya sebut tadi:

  • Mentalitas ‘give before you get’, dan tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu

Hal ini menjadi salah satu kekuatan utama komunitas startup di mana pun. Brad sendiri menceritakan hal ini menjadi salah satu yang membedakan komunitas di Boulder dari Denver, walaupun Denver adalah ibukota Colorado. Salah satu ciri komunitas seperti ini adalah begitu mudahnya bertemu dan berkenalan dengan orang yang kita butuhkan untuk berbagi ide dan mendapatkan input. Semua bisa menjadi people connector, bukan pembuat handset tertentu saja 🙂 Hal ini masih jarang saya temukan di Indonesia, dan baru terjadi di kalangan tertentu. Masih sering saya temui orang-orang yang ‘pelit’ dengan kontak dan ide mereka, ataupun hanya membantu karena ada ‘sesuatu’ di balik bantuan itu. Saya sendiri berharap hal ini hanya tersisa di kalangan pebisnis lama, karena makin banyak saya melihat komunitas bisnis yang dengan senang hati saling berbagi, baik ilmu, kontak maupun dukungan dan nasihat.

  • Kesiapan mental dan kapasitas

Salah satu hal yang ternyata juga dirasakan oleh banyak Venture Capital yang sudah masuk ke Indonesia adalah kesiapan para founders. Hal ini lebih penting dari ketersediaan dana. Berapapun besar dana yang siap diinvestasikan tidak akan bisa menumbuhkan bisnis-bisnis yang bagus. Ibarat tanaman, sebanyak apa pun pupuk yang disebar tidak akan bisa menjamin tanaman yang subur jika bibitnya kurang baik.

Mental dan kapasitas menjadi hal yang utama. Kapasitas harus terus dibangun, saya merasakan sendiri sebagai pebisnis, kita harus selalu membuka otak kita untuk belajar sesuatu yang baru. Dan kesiapan mental untuk belajar ini sangat penting, karena pebisnis harus siap keluar dari comfort zone.

Contoh yang pernah saya ambil adalah seorang pebisnis yang harus belajar mengenai manajemen keuangan walaupun mungkin itu bukan hal yang dia sukai. Tidak hanya pasrah pada keadaan dan hanya berpasrah “gimana nanti”. Dari obrolan dengan para pendiri sebuah program akselerator yang bekerja dengan banyak startup di wilayah Asia, mereka juga berpendapat bahwa sifat resourcefulness ini masih kurang terlihat di antara para pebisnis startup di Indonesia. Hal ini juga pernah saya tulis di post sebelumnya

  • Akses ke mentor dan dukungan

Saya percaya bahwa setiap pebisnis perlu teman untuk bertukar pikiran, atau sekedar ngobrol. Akan sangat ideal kalau teman ngobrol ini adalah orang yang punya keahlian khusus di sebuah bidang sehingga bisa memberikan nasihat yang spesifik. Peran utama seorang mentor adalah teman ngobrol ini.

Seorang teman mengibaratkan mentor terbaik seperti seorang paman. Kita mungkin punya seorang paman yang cukup dekat semasa kita kecil atau remaja dan menjadi tempat curhat. Kita bisa terbuka dengan sang paman bahkan terkadang lebih terbuka daripada ke orang tua sendiri. Walau sering memberi nasihat, kadang-kadang tentu ada juga paman yang mengajarkan hal-hal bandel. Saya suka dengan perumpamaan ini.

Apakah kita mau mengikuti nasihat sang paman adalah tanggung jawab dan pilihan kita sendiri. Saya masih merasa bahwa banyak pebisnis baru yang merasa ‘sendirian’ tanpa punya akses ke mentor yang mereka perlukan. Orang-orang yang bisa menjadi mentor pun perlu lebih membuka diri karena para paman ini tetap bisa belajar banyak dari keponakannya

  • Jam terbang

Dulu saya paling benci jika dipandang sebelah mata hanya karena masih muda dan kurang berpengalaman. Ternyata akhir-akhir ini saya makin sering bertemu dengan startup yang didirikan oleh orang-orang yang sudah punya pengalaman, baik itu bekerja atau mendirikan perusahaan lain. Saya pun baru disadarkan bahwa sosok seperti Mark Zuckerberg atau Steve Jobs sebenarnya adalah minoritas di Silicon Valley. Kebanyakan founders yang berhasil membesarkan bisnisnya sebenarnya memulai di tengah karir, setelah mengumpulkan pengalaman, baik itu bekerja di perusahaan besar ataupun di startup lain.

Karena tidak ingin terlalu terpaku ke Silicon Valley, saya sempat juga berbincang dengan investor yang memiliki banyak portfolio investasi di India. Salah satu kekuatan India adalah banyaknya orang-orang yang memiliki pengalaman kerja di luar negeri dan kembali ke negaranya untuk membangun bisnis sendiri. Meminjam kata-kata teman saya, yang paling berharga dari jam terbang adalah network yang (biasanya) lebih luas dan dalam ke bidang tertentu, juga pemahaman akan masalah yang dihadapi oleh para pelanggan. Dalam kasus India, mereka juga membawa tambahan wawasan dari pengalaman mereka di luar negeri.

Di Indonesia, saya makin sering menemukan para pebisnis yang memulai bisnisnya di kota asal mereka setelah sempat bekerja sebagai karyawan di ibukota. Cukup menarik karena menurut saya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di luar Jawa.

Kembali ke pengalaman Brad Feld di Boulder, sangat penting untuk membentuk komunitas yang saling mendukung para pebisnis ini. Di Indonesia, komunitas ini mulai bermunculan dan perlu lebih diperkuat lagi. Baik itu komunitas pebisnis lintas industri seperti Tangan Di Atas atau Ngadu Ide, maupun yang berfokus ke industri IT seperti Startup Lokal, FOWAB, Bancakan, Subali, Stasion, Suwec dan lain lainnya.

Jadi tunggu apa lagi? Berkomunitaslah!

Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter, @dondihananto.

Previous Story

Foursquare Perbarui Aplikasinya, Jagokan Rekomendasi dan Jelajah

Next Story

ZTE GEEK, Smartphone Terbaru dari ZTE dengan ‘Intel Inside’

Latest from Blog

Don't Miss

Rukita Co-Living

Konsep Co-Living Makin Diminati, Rukita Perbarui Aplikasi Targetkan Komunitas

Konsep hunian co-living menjadi semakin diminati, terutama di kota-kota besar

Social Commerce Mendapat Momentum di Indonesia Berkat Pengguna di Daerah

Danik Indriati adalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai