Jika 2016 dikatakan sebagai tahunnya virtual reality, maka bulan Oktober besok merupakan momen krusial ‘kedua’ dalam perkembangan ekosistemnya selepas perilisan Oculus Rift dan HTC Vive. Alasannya, Oculus Connect 3 dan Steam Dev Days 2016 akan dilangsungkan bulan depan, lalu setelah ditunggu-tunggu, PlayStation VR rencananya juga segera meluncur di bulan Oktober.
Dan mendekati saat-saat penting tersebut, memang bukan kebetulan Berkarya!Indonesia mencoba mengumpulkan pemain di industri teknologi tanah air, dari mulai developer, produsen hardware, pencipta konten, praktisi industri digital sampai pengguna di satu forum khusus buat membahas VR. Para pakar diundang oleh tim pimpinan Ilham Habibie dalam diskusi bertajuk ‘Mari Bicara tentang Virtual Reality’ yang diadakan di Perpustakaan Habibie Ainun. Di sana, peserta dipersilakan bertukar pikiran dan mencoba mencari tahu apakah VR akan jadi the next big thing di Indonesia.
Ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh moderator, dan di bawah ini adalah rangkuman penjelasan dari para ahlinya:
Apakah teknologi virtual reality akan menjadi mainstream, atau tetap jadi tren niche?
Dedy Irvan selaku perwakilan dari media melihat bahwa sebetulnya kita sudah sedikit terlambat untuk membahas VR – khalayak global mulai menyorotinya sejak satu dua tahun lalu: Saat itu, Google telah menyediakan Cardboard dan Oculus VR juga melepas development kit Rift. Sekarang para raksasa teknologi telah mengalihkan fokus ke konsep lain, yaitu mixed reality (Microsoft) dan merged reality (Intel). Karena memungkinkan pengguna tetap bisa berinteraksi dengan orang dan lingkungan di sekitarnya, MR lebih mudah diaplikasikan di banyak industri.
VR sendiri mempunyai basis penyajian mengisolasi user demi membawa mereka ke dunia virtual. Dan berdasarkan alasan ini, ada kemungkinan ia akan tetap menjadi tren niche.
Sebagai salah satu pemain hardware, OmniVR berpendapat bahwa VR merupakan propaganda karena sebetulnya teknologi ini sudah lama diciptakan. Baru pada era Oculus Ramai ia ramai dibicarakan, apalagi setelah tim developer pimpinan Palmer Luckey/Brendan Iribe itu diakuisisi Facebook. Hal tersebut turut terbantu oleh berpartisipasinya Google dengan Cardboard, memungkinkan lebih banyak orang mencicipi pengalaman virtual reality berkat alternatif yang jauh lebih murah. Dan metode penyajian itu bisa dicontoh produsen lain.
VR menjadi mainstream adalah harapan besar untuk OmniVR, tapi saya bisa merasakan sedikit keraguan. Menurut head of business development Nicko Alyus, perkembangan teknologi virtual reality sangat sulit diprediksi. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi minggu depan atau dua jam ke depan, apalagi sekarang VR masih berada di masa infancy. Konsumen mungkin sudah menyadari kecanggihannya, namun banyak dari mereka masih ragu membeli device-nya.
Intel memperlihatkan optimisme tinggi karena faktanya, pelaku hardware telah melakukan dorongan untuk mendukung VR. Jika sudah begitu, kemungkinan besar teknologi akan berkembang, dan ke depannya ada lebih banyak perangkat yang siap menyajikan virtual reality. Para pemain tinggal menentukan segmentasinya, misalnya di tingkatan produk seperti apa kepabilitas VR disuguhkan.
Industri apakah yang paling gampang beradaptasi atau yang cepat berkembang dengan adanya teknologi VR?
ShintaVR yakin, virtual reality akan memberi banyak manfaat bagi sektor real estate. Alasannya, VR dapat membantu memvisualisasikan ide tanpa menuntut terlalu banyak biaya. Sebelumnya desain hanya bisa ditampilkan dalam medium dua dimensi atau foto. Dengan dituangkan ke virtual reality, client dapat mudah membayangkan tempat tinggal sebelum rampung dibangun.
Mereka juga bilang, pasarnya akan cepat sekali terbentuk; bahkan boleh jadi sudah ada dan siap diimplementasikan. Pembuatannya tidak terlalu sulit dan tersedia banyak talenta ahli di Indonesia.
Memang secara teori VR bisa dimanfaatkan di beragam ranah – dari mulai pendidikan, hiburan, militer, penyampaian berita, manufaktur, pariwisata, kesehatan sampai fashion – tapi seperti yang diungkap oleh Digital Hapiness, pakar di masing-masing negara punya spesialisasi berbeda. Contohnya di Taiwan, khalayak lebih tertarik pada membuat hardware VR; sedangkan di tempat lain, software atau konten mungkin jadi minat utama pelaku industri.
Bahkan hingga sesi diskusi panjang ini selesai, tabir yang menutup rahasia-rahasia mengenai VR masih belum sepenuhnya tersibak. Walaupun membantu meningkatkan produktivitas, teknologi virtual reality di industri belum benar-benar menawarkan lompatan besar, dan itu sebabnya eksperimen harus terus dilakukan.
Mimpi dan imajinasi adalah elemen penting, tetapi saya juga mendengar ada satu hal esensial yang diperlukan supaya virtual reality bisa lebih berkembang pesat di nusantara: kekompakan dari semua pihak.