Pada April 2016, Travelio mengumumkan akan melakukan diversifikasi layanan dengan menambah jenis akomodasi yang dikelola, yakni dengan menambah apartemen, villa, guest host, homestay, hingga kost. Secara bertahap, langkah tersebut pun mulai direalisasikan sejak tiga bulan silam. CEO Travelio Hendry Rusli pun menegaskan bahwa langkah pivot ini akan menjadi fokus bisnis Travelio ke depannya dan tidak lagi fokus pada hotel.
“Tahun lalu itu kami lebih fokus ke hotel, [dengan fitur unggulan] tawar-menawar. Kami punya traksi yang cukup bagus waktu itu, tetapi kalau dibilang besar banget ya belum,” kata Hendry ketika ditemui di kantor baru Travelio yang terletak di Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.
Hendry melanjutkan, “[Kemudian] Kami melihat lagi apakah bisnis ini sustainable dengan kompetitor yang begitu banyak, menjual produk yang sama, dan hanya dibebankan pada promosi-promosi saja? Jadi [yang] kami lihat tidak ada suatu inovasi, hanya jual produk yang sama dengan harga yang berbeda.”
Dari latar belakang tersebut lah Hendry dan juga rekan lainnya mulai berpikir untuk merambah ke bisnis sewa properti pribadi layaknya AirBnb. Namun, tidak langsung dilakukan. Hendry bercerita bahwa mereka terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada beberapa ahli properti dan investor.
Hendry mengatakan, “Mereka [investor dan ahli] bilang, kenapa kalian tidak pindah ke model bisnis ini [menyewakan properti pribadi]? Itu lebih bagus dan lebih menarik.”
Setelah bertemu dengan investor yang memiliki kesamaan visi dan misi, langkah untuk pivot ke sewa bisnis properti pribadi layaknya AirBnB ini pun mulai dijalankan secara bertahap. Setidaknya, menurut Hendry, sudah berjalan sejak tiga bulan lalu. Meski hotel masih ada dalam perpustakaan properti Travelio, Hendry juga menegaskan bahwa itu tidak lagi menjadi emphasize bisnis.
Tantangan yang harus dihadapi
Dari permukaan, proses pivot bisnis Travelio memang terlihat mulus. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Selain harus rela kehilangan trafik terlebih dahulu, rupanya mengubah kebiasaan orang di bidang properti untuk beralih ke online pun masih harus dilewati.
“Tantangannya itu, yang pasti semua nomernya itu turun karena kami pindah. Tadinya pengguna-pengguna layanan kami kan hotel. Kedua, masih banyak terjadi offline transaction. Jadi, bagaimana caranya kami membawa itu ke online,” ujar Hendry.
Pun begitu, Hendry optimis kendala-kendala yang dialami pihaknya saat ini akan mampu dilewati. Ia menganalogikan kendala ini tak ubahnya seperti metode cash on delivery yang dialami oleh pelaku e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan yang lainnya yang kini angka transaksinya mulai berkurang dan berganti ke arah digital.
“Google berhasil mengubah cara mencari, Facebook mengubah cara untuk terhubung dengan sesama, Tokopedia mengubah cara orang menjual sesuatu, dan Go-jek mengubah cara orang memesan ojek. Hal yang kami alami sekarang sebenarnya tidak jauh berbeda, dan jika kami bisa mengubah cara orang untuk menyewa properti secara online, artinya kami telah berhasil [melakukan hal yang sama dengan Google, Facebook, dan lainnya],” ujar Hendry.
Ketika disinggung mengenai rencana dan target di tahun depan, jawaban Hendry tidak jauh berbeda dengan saat Travelio terjun ke pasar, yaitu tetap fokus di industri travel dan mengembangkan layanan Travelio untuk menjadi yang nomor satu di Indonesia. Toh, pasarnya juga masih terbuka lebar dan belum ada pemenang pasti di area ini.