Tiga hari yang lalu layanan pembayaran peer-to-peer Xendit diluncurkan di Indonesia. Banyak yang mengira Xendit berasal dari kawasan Asia Tenggara, padahal Xendit sendiri didirikan oleh empat mahasiswa UC Berkeley — satu orang memiliki darah keturunan Indonesia — yang berhasil mengikuti program inkubator Y Combinator. Dengan Y Combinator secara eksplisit mencantumkan nama Asia Tenggara, selain Tiongkok dan India, sebagai salah satu kategori segmen startup yang dibidiknya, startup tanah air mau tak mau harus siap berkompetisi dengan mereka yang dari awal memiliki jaringan global.
Asia Tenggara menjadi salah satu wilayah panas target pasar pelaku startup dari seluruh pelosok dunia. Dibanding Tiongkok atau India, barrier of entry-nya lebih rendah karena tidak ada kesulitan berbahasa, masih banyak segmen bisnis yang bisa dieksplorasi, dan adopsi masyarakat terhadap produk digital yang tinggi. Indonesia menjadi focal point dengan populasi yang masif.
Ekosistem yang mulai matang di Indonesia tercermin dari begitu banyaknya startup bermunculan di berbagai vertikal. Banyak yang menanggapi hal ini dengan bersemangat, namun tak sedikit pula yang melontarkan pandangan skeptis terhadapnya. Ada yang berpendapat solusi yang ditawarkan startup lokal sering belum tepat sasaran.
“Saya memperhatikan ada kelemahan yang mendominasi sebagian besar rencana bisnis mereka itu, yaitu memahami problem,” kata VP Business Development Ideosource Venture Capital Andrias Ekoyuono.
Invasi Asing
Sementara startup lokal mencoba menerka pasarnya, startup asing datang menginvasi dan merebut potensinya di Indonesia. Sebuah inkubator dan accelerator prestisius Silicon Valley, Y Combinator, dengan eksplisit menyatakan bahwa pasar Asia Tenggara merupakan komoditas panas yang siap dijajaki oleh pihaknya dalam waktu dekat.
Salah satu lulusan Y Combinator, yakni Xendit, baru saja secara resmi meluncurkan layanannya pertama kali di Indonesia. Xendit menawarkan fitur peer-to-peer mobile wallet yang mengizinkan setiap penggunanya menyimpan uang secara digital dan ke depannya ingin bisa terhubung secara langsung dengan akun rekening bank atau kartu debit konsumennya. Layanan mereka akan mengiringi pertumbuhan industri e-commerce di Indonesia, termasuk menambal celah yang belum dimaksimalkan oleh layanan serupa di dalam negeri.
Bisa dibilang Y Combinator memiliki pondasi jaringan, insight, dan pendanaan dalam skala global. Xendit dapat menjadi peringatan awal para pemegang kepentingan industri ini di Tanah Air untuk segera bergerak cepat mengantisipasi gelombang invasi startup asing yang mengambil banyak kesempatan bisnis.
Startup asing ini bukan cuma startup dari negara Asia Tenggara lain, melainkan juga yang berasal dari Amerika Serikat dan khusus dibuat untuk membidik pasar Asia Tenggara.
Jika ingin mengambil aspek positif atas kehadiran startup asing, skema persaingan memaksa para pemain lokal untuk mengadopsi model bisnis dan teknologi yang sebelumnya mungkin belum terpikirkan. Invasi Rocket Internet memaksa pihaknya melakukan inovasi lebih banyak dan lebih sering. Go-Jek dan Tokopedia merupakan contoh startup sukses yang mengadopsi teknik startup asing dan memadukannya dengan kearifan lokal. Faktor kearifan lokal ini penting karena orang lokal lah yang seharusnya lebih mengerti keinginan dan kebutuhan pasar Indonesia.
Di dalam negeri, pemerintah telah mengupayakan infrastruktur dan regulasi, sementara investor dan inkubator menciptakan kompetisi dan pelatihan untuk menggaet startup yang terbaik. Terlepas dari dukungan ekosistem tersebut, kesiapan para penggiat startup lokal memicu pertanyaan besar: “Apakah mereka siap mengantisipasi gelombang persaingan baru?”