Bisnis melalui media sosial memungkinkan segalanya terjadi, termasuk “mengkomersialkan diri”. Bisnis semacam ini berkaitan erat dengan passion yang dimiliki seseorang. Mereka yang tekun dan mencintai suatu kegiatan secara disiplin sangat mungkin menjadikannya sebagai sumber penghasilan.
CEO SociaBuzz Rade Tampubolon dalam #SelasaStartup minggu pertama Februari 2020 mengajak kita mengintip peluang dan kiat mengubah apa yang kita cintai menjadi sumber penghidupan.
Internet, terutama media sosial, yang masif digunakan saat ini merupakan jembatan penghubung krusial. Jika dulu seseorang melakukan hobinya untuk kepuasan dirinya saja, maka melalui platform digital orang lain dapat ikut menikmati. Dan bukan hal yang aneh saat ini orang lain yang ikut menikmati rela merogoh uangnya untuk mendukung kreator favoritnya.
Rade menyebut penikmat karya tersebut sebagai true fans. Mereka adalah orang-orang yang akan setia dengan karya seorang kreator dan tak sungkan memberi dukungan finansial agar kreator itu terus berkarya. Inilah yang Rode sebut sebagai passion economy.
Bersama DailySocial, Rade memberi kiat yang perlu dilakukan mereka yang berminat menjalani passion economy.
“Passion dan teknologi saat ini sudah mulai bertaut. Ada perputaran uang di sana. Passion apa pun ada market-nya,” ucap Rade.
Menemukan passion
Hampir setiap orang memiliki aktivitas favorit atau hobi. Ini adalah titik awalnya. Menemukan apa yang kita cintai, sesuatu yang tetap dilakukan kendati itu tak menghasilkan uang dan tanpa mengenal waktu.
Seperti yang disebut sebelumnya, hampir segala jenis kegiatan memiliki pasarnya. Sebut saja konten kreator, penulis, fotografer, ilustrator, make-up artist, podcaster, musisi, dll.
Rade menyarankan mereka yang sudah menemukan passion-nya untuk tak takut mengeksplorasi. Eksplorasi itu diperlukan agar karya yang mereka hasilkan memiliki kekhasan tersendiri. Semakin unik, semakin mudah karyanya untuk dikenal publik.
Membangun “suku”
Setelah menemukan passion tersebut, langkah berikutnya adalah memperkenalkan karya mereka. Platform digital memungkinkan setiap orang berbagi hobi mereka dengan orang banyak. Rade bahkan mengatakan agar tak sungkan memamerkan karya masing-masing di berbagai jenis platform seperti Twitter, Instagram, apa pun.
Jika karya tersebut cukup unik dan berkualitas, maka audiens pun akan bermunculan dengan sendirinya. Di sini langkah kedua dimulai. Rade menyebut fase ini sebagai membangun komunitas atau menciptakan “suku”.
“Ini penting karena ekonominya di sini. Saya pernah dengar ada kutipan yang mengatakan cukup dengan 1000 true fans, seseorang bisa hidup cukup makmur. Misalkan dari 1000 true fans itu masing-masing mau memberikan 100 dolar setiap tahun sudah dapat berapa coba,” lanjutnya.
True fans yang dimaksud oleh Rade adalah orang-orang yang tidak ragu memberikan dukungan finansial sebagai bentuk apresiasi terhadap seorang kreator.
Namun untuk memelihara audiens loyal seperti itu menurut Rade tak cukup aktif di media sosial. Menurutnya penting bagi pelaku passion economy menggunakan platform yang dapat memastikan audiens mereka tetap bisa mengakses karyanya dengan mudah.
“Misal saya punya satu juta follower di Vine. Lalu Vine tutup, follower saya hilang dong jadi mulai dari nol lagi. Atau cuma campaign di media sosial, begitu algoritmanya berubah, yang bisa melihat konten kita pun bisa berkurang. Algoritma itu tidak melihat konten receh yang tidak jelas atau bermanfaat, akhirnya kita terjebak di dalam algoritma yang tidak berperasaan,” sambung Rade.
Maka menurutnya penting untuk memelihara relasi dengan komunitas penikmat karya di platform tambahan seperti SociaBuzz atau Patreon. Karena dengan platform itu kreator dapat terhubung langsung dengan penikmatnya serta mempermudah proses apresiasi karyanya.
Detail lain yang tak kalah penting
Selain dua kiat utama di atas, ada beberapa hal yang terlihat sepele tapi tak bisa diabaikan oleh para kreator jika ingin menekuni passion economy ini. Pertama adalah cara memberi harga karya.
Rade menyarankan para kreator agar tidak melabeli karyanya terlalu murah ataupun terlalu mahal. Caranya dengan mematok harga yang lebih mahal terlebih dulu. Ketika pihak lain merasa harga itu terlalu tinggi maka tinggal menyesuaikannya agar tak terlalu mahal.
“Jadi ketika mereka dapat harga yang lebih murah mereka akan lebih puas.”
Kiat lainnya adalah etika dasar dalam berbisnis. Rade menyebut tak jarang ada kasus influencer yang masih gagap dalam berinteraksi dengan pengguna jasanya. Hal itu seperti menulis email secara baik dan benar, membaca brief dengan cermat, kecepatan merespons dalam berkomunikasi perihal bisnis, dan semacamnya.