Dark
Light

Dalam Bisnis Kuliner, Perubahan adalah Keniscayaan

1 min read
April 17, 2020
Kulina
CEO Kulina Andy Fajar Handika (paling kanan) saat mengikuti Google Launchpad Accelerator pada 2017

Bisnis kuliner merupakan jenis bisnis yang benar-benar mewakili semangat “beradaptasi atau mati”. Beruntung bagi Kulina, Andy Fajar Handika merupakan sosok yang cepat beradaptasi. Founder & CEO Kulina itu sudah beberapa kali melakukan perubahan dalam bisnis kuliner.

Dalam reality show Kitchen Nightmare, masalah yang dihadapi oleh chef kondang Gordon Ramsay paling sering berpangkal pada pemilik restoran yang sama sekali enggan menyesuaikan diri dengan tren dan perilaku konsumen terbaru. Cara mereka mengasingkan diri dengan kenyataan baru menempatkan mereka di ambang kebangkrutan.

#SelasaStartup edisi kali ini menyoroti bisnis Kulina dan upaya Andy yang mengakrabkan diri dengan segala bentuk perubahan yang diperlukan untuk bertahan di industri kuliner.

Akrab dengan perubahan

Andy yang sudah berbisnis kuliner sejak 2007 punya sejarah panjang dalam beradaptasi di bisnis kuliner. Bisnis kuliner bukan hanya soal cita rasa, tapi juga soal lokasi, harga, hingga cara berjualan. Andy bercerita pertama kalinya ia menggeser bisnisnya ke arah online karena kenaikan harga sewa tanah tempatnya berdagang lebih cepat ketimbang pertumbuhan bisnis mereka sendiri.

Growth bisnis restoran paling hanya 10% per tahun, sedangkan growth tanah bisa 50-80% setahun. Tempat yang strategis harganya jadi sangat-sangat mahal. Akhirnya yang bisa jualan di tempat strategis memang orang yang sangat kaya dengan modal sangat kuat,” kenang Andy.

Kulina berdiri pada 2015 dengan motivasi semua orang bisa yang bisa memasak, bisa menjual masakannya. Namun ide itu terbukti gagal. Andy menyebut di bulan pertama hanya ada satu-dua pelanggan yang notabene kawannya sendiri.

Paham ada banyak yang salah di bisnisnya, Andy langsung berbenah. Hanya dalam hitungan beberapa bulan Kulina melakukan pivot. Mereka akhirnya memilih pekerja kantoran yang minim opsi makan siang di Jakarta sebagai target produk Kulina. Pivot ini berhasil dan mengantarkan Kulina seperti yang kita kenal sekarang.

Situasi khusus

Wabah Covid-19 memukul industri kuliner. Kewajiban swakarantina dan beraktivitas dari rumah menyebabkan restoran terancam gulung tikar karena minim pemasukan. Keadaan ini tentu turut memengaruhi bisnis startup kuliner termasuk Kulina.

Andy mengatakan, saat ini ada perubahan komposisi produk yang dipesan oleh pelanggan mereka. Sebelumnya paket makan per orang mendominasi, tapi saat ini paket makan porsi keluarga justru lebih banyak dipesan. Ia mengklaim secara Kulina mengalami penurunan jumlah pemesanan, namun sebaliknya volume makanan yang dipesan justru meningkat.

Perubahan jenis pesanan itu menurut Andi disebabkan oleh banyaknya besarnya waktu masyarakat untuk mengakses peralatan masak atau kebutuhan pokok. Alhasil pelanggan mereka saat ini lebih melirik produk yang berisi lauk-pauk saja.

“Kita juga besok akan ada launch produk-produk frozen food yang siap dimasak atau dihangatkan.”

Andy mengaku, hingga saat ini Kulina selalu mengalami perubahan rutin dalam skala mikro. Ia bahkan tak bisa menjawab berapa lama waktu yang ia butuhkan sampai menemukan model bisnis yang paling tepat untuk Kulina. “Kalau ditanya apakah sudah ketemu model bisnis yang paling tepat, selalu ada penyesuaian di sana-sini,” pungkas Andy.

Startup femtech banyak menyasar dampak sosial, diprediksi akan bertambah jumlahnya dalam 2-3 tahun ke depan
Previous Story

Potensi Startup “Femtech” di Mata Investor

Next Story

Karena Corona, Viewership Esports Naik Drastis

Latest from Blog

Don't Miss

Kiat Tepat Membangun “Growth” Bisnismu Melalui Pengembangan Produk

Banyak cara dilakukan untuk menarik dan meyakinkan orang agar membeli

Telunjuk Acquired by a Subsidiary of PT Diamond Food Indonesia

PT Diamond Food Indonesia Tbk. (Diamond) as one of the