Film Blade Runner yang dirilis di tahun 1982 membayangkan bagaimana dunia masa depan dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit, mobil terbang, dan robot berwujud manusia. Setting yang digunakan oleh film tersebut adalah tahun 2019, namun seperti yang bisa kita lihat, kenyataannya peradaban manusia sejauh ini masih belum secanggih (dan sekelam) yang diimajinasikan oleh sutradara Ridley Scott.
Saat mengerjakan filmnya, sang sutradara memang sama sekali tidak bermaksud untuk memprediksi kondisi di masa depan. Kendati demikian, apa yang ia bayangkan sebenarnya tidak meleset terlalu jauh. Gedung pencakar langit kita punya banyak, robot humanoid pun kita juga punya meski sejauh ini lebih menyerupai robot ketimbang manusia, dan mobil terbang juga semakin dekat dengan realisasi.
Mobil terbang dengan teknologi VTOL (vertical take-off and landing) sejauh ini sudah digunakan di beberapa tempat untuk keperluan logistik, termasuk halnya untuk mengirimkan perlengkapan medis ke kawasan-kawasan terpencil. Namun sebelum mobil terbang bisa menjadi mainstream, dunia mungkin harus dibuat percaya dulu dengan kematangan teknologinya. Salah satu caranya, kalau menurut perusahaan asal Australia bernama Alauda Aeronautics, adalah dengan menggelar ajang balapan mobil terbang.
Alauda mengambil industri mobil konvensional sebagai inspirasinya. Pada kenyataannya, berbagai inovasi otomotif yang kita kenal sekarang memang terlahir dari dunia balap. Dari yang sepele seperti kaca spion, sampai teknologi-teknologi yang lebih advanced macam sistem penggerak empat roda dan transmisi dual-clutch, semuanya berawal dari mobil balap terlebih dulu sebelum akhirnya diimplementasikan ke mobil untuk konsumsi umum.
Matthew Pearson, pendiri Alauda Aeronautics, percaya prinsip yang sama juga dapat diterapkan untuk mobil terbang. Ia pun menggagaskan Airspeeder, sebuah ajang balap mobil terbang bermesin elektrik yang diharapkan bisa dimulai di tahun 2022. Namun ketimbang sebatas merencanakan begitu saja, Alauda juga merancang mobil terbang yang akan digunakan di kompetisi tersebut.
Sejauh ini rancangan mereka sudah masuk iterasi ketiga, yakni Airspeeder Mk3. Bentuknya mirip seperti moncong jet tempur yang dipotong dari badannya, dengan sepasang baling-baling di sisi depan dan belakang. Sasisnya terbuat dari bahan serat karbon, dengan bobot total sekitar 130 kg (tanpa sopir/pilot).
Tanpa sopir? Ya, Airspeeder Mk3 memang dirancang agar dapat dikendalikan layaknya sebuah mobil remote control. Tujuannya jelas supaya ia bisa diuji secara aman di sirkuit sebelum event balapan aslinya dimulai tahun depan. Alauda saat ini sedang sibuk menyiapkan 10 unit Airspeeder Mk3 untuk dipakai di ajang uji coba balapan secara remote pada tahun ini juga.
Sebagai sebuah kendaraan balap, performanya jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Output daya maksimum yang mampu dihasilkan berada di kisaran 320 kW, atau kurang lebih setara 430 tenaga kuda, sedangkan akselerasi 0-100 km/jam diklaim sanggup dicapai dalam waktu 2,8 detik saja.
Airspeeder Mk3 memiliki rasio dorong-berat sebesar 3,5, jauh melebihi rasio yang dicatatkan oleh jet tempur F-15E Strike Eagle. Dibandingkan pesawat atau helikopter tradisional, Airspeeder Mk3 bisa menikung dalam kecepatan yang sangat tinggi, krusial untuk sebuah kendaraan yang akan beradu di sirkuit layaknya mobil Formula 1. Tinggi maksimum yang bisa dicapai sendiri berada di kisaran 500 meter.
Inspirasi yang diambil dari mobil F1 tidak berhenti sampai di situ saja. Alauda turut menciptakan semacam mekanisme hot-swap untuk Airspeeder Mk3, sehingga modul baterainya dapat dilepas dan diganti dengan yang baru secara cepat ketika kendaraan mampir di pit stop. Berkat sistem penggantian baterai seperti ini, Airspeeder Mk3 diklaim hanya memerlukan waktu sekitar 14 detik saja di pit stop.
Seperti halnya kendaraan balap lain, Airspeeder Mk3 turut mengedepankan aspek keselamatan. Selama mengudara, setiap unitnya akan dimonitor dari darat menggunakan sistem telemetri yang komprehensif. Variasi terkecil dari faktor-faktor seperti aerodinamika maupun kinerja baling-baling pun bisa ikut dianalisis berkat data berjumlah masif yang datang dari sensor-sensor milik Airspeeder Mk3.
Pabrikan-pabrikan otomotif seperti Audi, Bentley, atau Renault bisa besar namanya berkat partisipasinya di dunia balapan. Bahkan Enzo Ferrari pun memulai karirnya sebagai pembalap tim Alfa Romeo sebelum akhirnya memutuskan untuk menciptakan mobilnya sendiri. Alauda dan Airspeeder tampaknya ingin mengulangi peristiwa-peristiwa historis tersebut di kategori mobil terbang.