Detikcom, yang baru saja menghebohkan jagat online Indonesia dengan akuisisinya oleh Para Group, kembali menghadirkan aplikasi baru. Tersedia hanya untuk iPad, DetiKios adalah pesaing SCOOP dan Wayang Force untuk menghadirkan buku dan majalah secara digital. Saat ini baru 7 buku yang masuk DetiKios dan dapat diunduh secara gratis, tapi tweet Budiono Darsono selaku pemimpin redaksi Detikcom yang mengajak segala pihak untuk bekerja sama menunjukkan bahwa DetiKios sedang mencari ceruk di pasar ini.
DetiKios memberikan skema bisnis 30% untuk Apple, 30% untuk Detikcom dan 40% untuk penerbit. Diluncurkan bertepatan dengan perayaan HUT Detikcom yang ke-13, DetiKios kompatibel dengan iPad jenis yang terawal (sistem operasi versi 3.2)
Membaca buku atau majalah di iPad memang mudah. Cukup sekali klik dan membayar kurang dari $5, majalah atau buku tersebut hadir di genggaman kita. Tidak perlu lagi mencari-mencari majalah kesayangan di kios ataupun supermarket. Memang, tidak mudah untuk meninggalkan nikmatnya membalik helai demi helai kertas sambil menyeruput kopi, tapi tentunya jaman digital ini telah memberikan alternatif bacaan yang mumpuni, apalagi dengan jargon go green yang mendukung pengurangan penggunaan kertas.
Saat ini sudah ada dua pemain besar di segmen ini, SCOOP dari Apps Foundry dan Wayang Force dari Phasedev. Alternatif lain adalah Gramedia Majalah Lite yang memuat majalah-majalah terbitan Grup Kompas-Gramedia. Ternyata minat pengguna di iPad di Indonesia (dan orang Indonesia di luar negeri) untuk menggunakannya cukup besar, terbukti dengan semakin banyaknya majalah yang masuk ke dalam listing masing-masing produk — meski secara umum banyak memiliki kesamaan. Tidak bisa dipungkiri sebagaimana yang pernah saya ulas sebelumnya, sudah mulai tampak persaingan untuk menarik pengguna tablet memanfaatkannya sebagai media baca yang lebih optimal.
Yang mengganjal untuk saya adalah kurangnya insentif penerbit (atau malah pembuat aplikasi) untuk meningkatkan penggunaan aplikasi ini sebagai alat membaca buku atau majalah. Harga yang ditawarkan, meski ada yang lebih murah, tidak jauh berbeda ketimbang versi cetaknya. Bukankah ada biaya yang sangat besar yang dihemat karena distribusi secara digital ini? Pertama tidak perlu ada usaha pencetakan dan mesin cetak, kedua tidak perlu ada usaha distribusi secara fisik dan ketiga tidak ada fee untuk distribusi tersebut ke berbagai daerah. Yang dibutuhkan hanya iPad dan koneksi Internet.
Menurut saya, aplikasi seperti ini harusnya berkaca kepada Zinio sebagai pelopor media sejenis. Zinio berhasil meningkatkan readership dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan. Langganan selama 3 bulan, 6 bulan atau 12 bulan edisi dengan harga yang sangat murah tentunya bisa jadi pemanis. Kesempatan seperti ini yang justru harusnya dipikirkan oleh penerbit lokal untuk meningkatkan readership. Kalau semakin susah untuk menarik orang berlangganan media cetaknya, kenapa tidak mulai menggeser strategi ke media digitalnya?
Meskipun detikcom adalah sindikasi media yang besar, belum tentu mereka berhasil dengan kampanye digitalnya. Coba tengok DetikDeal yang ternyata belum mampu bersaing dengan Disdus ataupun DealKeren. Kita tunggu gebrakan DetiKios agar mampu bersaing dan memberikan sesuatu yang beda dalam persaingan aplikasi media majalah dan buku digital di Indonesia.
Pola pikir para penerbit/pembuat aplikasi online ini masih sempit, jadi kesan yang timbul adalah “Kalau dikasih harga seperti ini saja ada yang mau beli, kenapa mesti repot”.
Mereka kurang mencermati skema bisnis massal yang menjadi trade mark aplikasi/bisnis online.
barang lokal lagi memanas…. panas…
btw, detik nampaknya punya cara mereka sendiri untuk mengendalikan pasar, btw Detik masuk dalam kategori prusahaan Stau-Up indonesia kah?
*geleng-geleng*
pembelian majalah tipe digital ini kebanyakan pakai kartu kredit. ribet bagi yg belum punya kk atau memang tidak ingin punya. coba scoop ubah cara pembayarannya. minimal pake sms/mobile/internet banking. pasti akan saingan dengan wayang force yg bisa bayar via debit.
Wayang Force yang bisa pakai debit kayaknya versi desktop ya? kalau di iOS kayaknya semua harus mengikuti sistem pembayaran Apple yang hanya menggunakan kartu kredit dan gift card.
Berkaitan dengan penerbitan buku di ranah digital, ada beberapa mitos yang perlu dijelaskan:
– Harusnya bisa lebih murah karena tidak ada biaya cetak dan biaya distribusi: kedua biaya ini memang tidak ada, tapi digantikan oleh biaya konversi (baik one time fee maupun revenue sharing dengan perusahaan teknologi yang melakukannya) serta biaya distribusi ke digital outlet channels.
Konversi tidak bisa dianggap enteng karena ada faktor pengamanan konten yang harus diperhatikan. Lisensi untuk Digital Rights Management bisa mencapai ratusan ribu US dollar dengan annual fee yang mencapai ribuan US dollar. Selain itu, faktor kompabilitas pada banyak perangkat digital dengan sistem operasi serta besaran layar yang berbeda juga mesti diperhitungkan.
Biaya distribusi bervariasi. Apple mengenakan 30%, tapi jika distribusinya melalui operator selular dalam negeri biayanya bisa membengkak sampai 60%. Beruntung sekarang ada Nokia Ovi dan Blackberry AppWorld yang bisa negosiasi dengan operator sehingga penyedia yang menempatkan kontennya melalui kedua storefronts ini bisa memperoleh 60-70% dari harga pengguna akhir (end user price).
Jika biaya teknologi kita asumsikan 10% dari EUP dan biaya distribusi 30% maka biaya bagi penerbit sudah mencapai 40%, tidak jauh beda dengan biaya distribusi buku cetak yang mencapai rata-rata 50%. Memang ada selisih 10%, tapi tidak sebesar yang banyak orang kira.
– jumlah pengguna tablet: data yang saya miliki mengatakan bahwa jumlah pengguna iPad di Indonesia berada di kisaran 100 ribu orang dan jumlah pengguna Android tablet (yang didominasi Samsung Tabs) ada sekitar 350 ribu orang. Dengan demikian totalnya tak sampai 500 ribu orang. Dari jumlah ini, ada beberapa faktor pengurang:
* pengguna yang hanya mau dapatkan konten gratis: banyak iPad yang dijual dalam keadaan sudah ‘jail-broken’, sementara banyak konten di Android Market yang baru tersedia versi gratisnya. Para pemilik tablet yang umumnya berpendidikan tinggi ini juga punya banyak cara lain untuk memperoleh konten gratis. Ini juga yang menjelaskan kenapa RBT lebih laku di kalangan menengah ke bawah daripada menengah ke atas.
* pengguna yang enggan menggunakan kartu kredit dengan berbagai alasan: kita tahu, jumlah pemilik kartu kredit di Indonesia diperkirakan sekitar 13 juta orang, sekitar 5 persen dari total populasi. Meski para pemilik tablet umumnya kalangan menengah ke atas, yang bisa kita anggap penetrasi kartu kreditnya sudah lebih tinggi, belum tentu juga mereka mau menggunakan untuk membeli konten digital di tablet.
Faktor struktur biaya serta kecilnya populasi pengguna tablet ini membuat insentif bagi produsen konten untuk sepenuhnya migrasi ke ranah digital tidak terlalu menarik. Selain itu, para produsen konten buku juga dihantui oleh statistik rendahnya daya baca masyarakat Indonesia secara umum.
Salam,