Pendiri Sribu Ryan Gondokusumo sudah memulai usahanya saat masih berusia 26 tahun. Ia berhenti dari pekerjaan untuk total dan fokus membangun Sribu dari nol. Pria lulusan Purdue University, Amerika Serikat, ini tidak memiliki pengalaman sama sekali di dunia startup. Ryan dengan terang-terangan bercerita bahwa ia memulai hanya dengan modal semangat dan penasaran.
Awal tahun 2011 Ryan masih bekerja sebagai profesional. Ia bekerja di sebuah holding company yang memiliki beberapa anak perusahaan.“Pada saat itu saya ditugaskan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dua dari anak perusahaan tersebut. Waktu itu saya sudah bekerja selama tiga tahun dan ingin mencari tantangan baru,” kenang Ryan.
Ia dan partnernya sering terlibat diskusi intensif mengenai bisnis crowdsourcing yang cukup menarik di luar negeri, salah satunya adalah 99designs. Kebetulan ia mendapatkan tugas untuk membuat desain kalender dan yang dilakukannya adalah melemparkan tugas tersebut ke forum Kaskus dalam bentuk kontes. Dalam tujuh hari saja, Ia dapatkan lebih dari 300 desain.
“Ini semakin meyakinkan saya bahwa model crowdsourcing dapat jalan di Indonesia, ” kata pria penggemar game “Clash of Clan” ini.
Alasannya memilih crowdsourcing karena idenya menarik dan pada waktu itu Ryan mengira tidak akan memerlukan banyak modal untuk memulainya. Tidak lama, Ryan pun mengundurkan diri untuk total menggarap startup barunya.
Masa transisi dari profesional ke pengusaha
Meski awalnya Ryan mengatakan terjun hanya bermodalkan semangat, pengalamannya bertahun-tahun sebagai profesional sangat membantunya merintis bisnis. Ia banyak belajar tentang proses yang cocok di setiap industri. Tak ketinggalan cara mengembangkan model bisnis ke level selanjutnya dan waktu yang tepat untuk mengembangkannya.
Pengalamannya sebagai profesional menempanya untuk memahami proses sebuah barang atau produk, mulai dari produksi hingga sampai ke konsumen. Semua itu diakui Ryan sangat membantunya saat membangun Sribu, terutama ketika men-develop produknya.
Ryan mengungkapkan, “Ketika produk sudah selesai, bisnis model dan pricing harus di-testing terlebih dahulu, apakah sesuai dengan harapan market Indonesia. Apabila belum sesuai perlu dibuat asumsi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki bisnis modelnya.”
Tak hanya dalam membangun produk, ilmu proses juga banyak diterjemahkan lebih dalam lagi oleh Ryan ketika merancang UX untuk situs Sribu.“Biasanya ketika mendesain UX yang bagus, saya pikirkan dulu 10 hal yang user ingin lakukan ketika masuk ke halaman tertentu, dan bagaimana proses yang terpendek untuk mencapai hal tersebut,” terang Ryan yang sehari-hari rajin membaca blog mengenai bisnis online dan pemasaran Internet.
Tantangan yang harus dihadapi sebagai first time entrepreneur
Satu tahun pertama adalah momen yang terberat secara fisik dan mental bagi first time entrerpeneur dan itu yang rasakan Ryan. Banyak keraguan di dalam hati dan juga dari sekelilingnya. Muncul banyak pertanyaan seperti berapa lama akan sukses, apakah produk kita dapat diterima market, hingga apakah memulai startup adalah keputusan yang tepat. Waktu adalah sesuatu yang tidak dapat dibeli kembali dan banyak orang menyesal karena memulai startup.
“Tiga bulan pertama sejak launching, kami baru memiliki satu klien, namun jumlah desainer yang register lebih dari 2.000 desainer,”cerita Ryan.
Pada saat itu mencari klien merupakan hal susah sebab Sribu masih baru. Otomatis tingkat kepercayaan belum terbentuk, ditambah konsep crowdsourcing saat itu masih sangat baru di Indonesia.
“Jadi di awal saya banyak mendatangi perusahaan yang saya kenal untuk presentasi memperkenalkan Sribu. Namun susahnya lagi, Sribu adalah produk yang digunakan ketika dibutuhkan, jadi ketika saya presentasikan bukan artinya closing deal, namun hanya sebatas sosialiasi saja,” ujarnya.
Setelah mendapatkan investasi pertama dari East Ventures, Sribu akhirnya memiliki dana untuk mulai merekrut tim. Tantangan muncul lagi dalam mencari tim yang tepat. Ryan melihat banyak pekerja di Indonesia masih memilih untuk bekerja di perusahaan besar daripada startup. Ketika tim sudah terbentuk timbul lagi tantangan baru, yakni membangun kultur dan manajemen tim juga dirasakan Ryan tidak mudah.
Ia mengatakan, “Karena startup memiliki banyak sekali tantangan, ini memicu saya bersemangat untuk menghadapi setiap tantangan ini. Setiap harinya banyak hal yang baru yang saya dapat pelajari. Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil membangun sesuatu dari nol menjadi sebuah perusahaan yang dapat membantu banyak orang, Terlebih apabila membangunnya bersama tim yang memiliki persepsi yang sama.”
Sribu pasca investasi
Setelah menerima investasi pendanaan Seri A dari Infoteria di awal tahun, Sribu fokuskan dana yang diterima untuk growth (Baca juga: Ryan Gondokusumo Dan Kisah di Balik Fundraising Sribu). Ryan mengatakan sebelum menerima investasi, total klien yang menggunakan Sribu adalah 1.000 klien. Setelah menerima investasi, total klien yang menggunakan Sribu bertambah dua kali lipat menjadi 2.000 klien. Ryan menuturkan, “Tim produk kami yang sebelumnya di Surabaya, kami pindahkan ke Jakarta dan ini sangat membantu dalam hal komunikasi dan mempercepat proses development produk.”
Saat ini tim Sribu tumbuh dari 12 orang menjadi 17 orang dan kemungkinan akan bertambah lagi hingga 20 orang di akhir tahun. Pasca investasi, Sribu juga membuat produk keduanya, Sribulancer, sebuah portal pekerjaan untuk freelancer yang sudah diluncurkan beberapa waktu lalu. Kini Sribulancer telah memiliki hingga 200 posting jobs dan lebih dari 6.000 freelancers mulai dari programmer, fotografer, data entry, copywriter, hingga translator.
“Untuk sementara ini goal saya dengan Sribu atau Sribulancer adalah untuk mendapatkan 10.000 klien dahulu, sebelum move on ke goal yang lebih besar lagi. Saya harap dapat mengembangkan kedua produk ini agar menjadi solusi bagi banyak orang di Indonesia dan luar negeri,” pungkas Ryan.
[Foto Dok Pribadi]