Umumnya di satu titik sebuah bisnis online sering terhambat untuk bertumbuh. Isunya cukup beragam, ada yang kesulitan mencari talenta yang tepat, tambahan modal, meningkatnya operasional, dan sebagainya, sehingga dibutuhkan mitra yang tepat agar mereka dapat eskalasi bisnisnya dengan baik. Kebutuhan tersebut disadari Achmad Alkatiri saat bekerja di beberapa perusahaan sebelum akhirnya merintis Hypefast pada Januari 2020.
Konsep yang dianut Hypefast disebut sebagai rollup e-commerce. Kurang lebih serupa apa yang dikembangkan Thrasio, sebuah startup unicorn Amerika Serikat. Thrasio bekerja dengan mengakuisisi merek penjual di Amazon yang sukses, memberi founder-nya jalur exit yang menguntungkan, lalu meningkatkan skala produknya dengan ekosistem yang telah mereka bangun.
Mengapa rollup e-commerce hadir
Template Thrasio cukup sukses diterapkan berbagai startup di sejumlah negara. Thrasio, yang memasuki usianya ketiga, kini menjadi unicorn bervaluasi $6 miliar yang berhasil mengelola portofolio global 100 merek. Mereka menghasilkan pendapatan $500 juta dan laba $100 juta sepanjang tahun lalu.
Startup sejenis adalah Perch, Branded Group, dan Elevate Brands. Di India, kondisinya lebih riuh. Ada Mensa Brands, GlobalBees, 10Club, Upscalio, Evenflow, Powerhouse91, dan GOAT Brands Lab.
Di skala Asia Tenggara ada Una Brands dari Singapura yang juga telah memiliki tim di Indonesia. Di Indonesia, selain Hypefast, terdapat OpenLabs yang baru mengumumkan kehadirannya.
Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep rollup e-commerce ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.
Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.
Tak mengherankan, rollup e-commerce mendapat popularitas karena memberikan peluang unik bagi bisnis yang mencari jalan exit lebih awal tanpa kerumitan penggalangan dana dan penilaian. Startup yang didukung VC sering menunggu lama untuk mendapatkan harga terbaik atau pengembalian yang baik bagi investor.
Banyak penjual online dan merek D2C kecil-menengah menghadapi kendala karena mereka tidak memiliki strategi pertumbuhan yang kohesif meskipun menjual produk yang bagus. Semua bisnis ini dapat dengan mudah mendapatkan keuntungan dari model rollup e-commerce.
Suresh melanjutkan, merintis bisnis adalah proses berkelanjutan yang melewati beberapa fase. Dari menyiapkan operasi hingga menemukan produk-pasar yang cocok untuk meningkatkan dan berkembang, setiap fase adalah bagian dari evolusi yang mencakup tiga pilar mendasar —orang, proses, dan produk.
Ketiga pilar ini berfungsi dalam mengembangkan bisnis. Misalnya, ketika sebuah perusahaan dimulai, bagian “orang” pada dasarnya melibatkan tim founder. Pada tahap ini, individu menangani banyak peran dan tujuannya untuk menemukan product-market fit.
Ketika bisnis berkembang dan operasi menjadi lebih terspesialisasi, setiap unit akan membutuhkan profil yang tepat untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Menurut Suresh, sebuah bisnis akan mandek dan gagal mencapai potensi sebenarnya jika tidak mampu membuat keputusan perekrutan yang efektif.
Pilar kedua adalah “proses”. Untuk merek D2C, ini biasanya mencakup manufaktur, pemasaran, logistik, keuangan, dan dukungan teknis. Tetapi, ketika bisnis meningkat dan tumbuh, penting untuk menyiapkan proses baru dan mengoptimalkan yang sudah ada. Kegagalan untuk menempatkan semua proses yang diperlukan pada tempatnya akan membuat pekerjaan menjadi sulit.
Akhirnya, datanglah “produk”, pilar pertumbuhan ketiga. Suresh menyoroti perlunya “perubahan” untuk menjelajahi area/pasar baru dan tetap relevan dari waktu ke waktu.
Mengawasi dengan tajam tren baru atau bahkan tidak aktif sangat penting untuk bisnis karena perlu beradaptasi dengan cepat untuk mempertahankan basis pelanggannya. Menggunakan pandangan ke depan yang strategis untuk mengidentifikasi peluang bisnis juga penting bagi merek D2C yang beroperasi di pasar konsumen yang cepat berubah dan sangat kompetitif.
Memelihara ketiga pilar pertumbuhan ini adalah kunci untuk mengoptimalkan bisnis seseorang, tetapi pertumbuhan akan sulit dicapai tanpa akses ke pendanaan yang sesuai. Sekali lagi, investasi modal dalam bisnis telah mengalami evolusi dari waktu ke waktu.
Pada awalnya, ada kekayaan individu untuk mengembangkan usaha seseorang. Berikutnya datang segala macam pinjaman institusional, terutama pembiayaan utang, diikuti oleh pendanaan VC, rute yang lebih mudah untuk modal. Pembayaran terjadi melalui ekuitas.
“Hari ini datang pilar keempat untuk pertumbuhan — model rollup. Tapi itu hanya datang ketika ada ekosistem yang berkembang. Dan ini adalah bukti meningkatnya ekosistem D2C di India yang memungkinkan pemain seperti kami untuk masuk,” kata Suresh.
Perkembangan Hypefast
Mad, sapaan akrab dari Achmad, menjelaskan lebih sederhana bagaimana Hypefast bekerja. Dia sendiri lebih lebih suka menggunakan istilah house of ecommerce brand atau e-commerce brand aggregator.
Di industri ritel terdapat P&G dan Unilever yang membuat merek di bawahnya dari nol, lalu ada MAP yang melisensi merek global untuk dikelola di bawah MAP untuk beroperasi di pasar lokal. Hypefast bekerja seperti demikian, mengakuisisi merek potensial untuk dikembangkan lebih jauh dengan ekosistem yang sudah dibangun.
“Saat kita raise pre-seed round di Q4 2019, banyak investor tanya siapa benchmark Hypefast di luar negeri, ya saya jawab setau saya enggak ada karena saat itu Thrasio masih stealth mode. Tapi kita tetap go with that, sampai akhirnya Thrasio muncul dan menjadi unicorn, ini menjadi validasi yang kuat dan good timing for us untuk tumbuh lebih kencang,” ucap Mad saat dihubungi DailySocial.
Meskipun beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal. Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Diklaim perusahaan telah mencapai titik profitabilitas.
Meski tidak dirinci, Mad menyebut pembagian hasil antara Hypefast dengan merek telah dibuat seadil mungkin.
Sesudah mengakuisisi suatu merek, mereka akan masuk ke dalam ekosistem Hypefast untuk ditingkatkan pendapatannya dengan cara yang paling rasional, bukan dengan meningkakan anggaran marketing dan bakar uang dengan memberikan subsidi.
“Playbook kami adalah selalu menumbuhkan growth by the book, menumbuhkan revenue dengan cara yang sustainable. Ini bentuk kedisiplinan kami untuk selalu menjaga P&L dan revenue positif karena tujuan utama kami bukan hanya bangun scalable bisnis, tapi juga profitable.”
Daripada menyebut Hypefast sebagai salah satu rollup e-commerce/growth builder/venture builder, Mad lebih sepakat untuk memberi identitas Hypefast sebagai growth partner untuk e-commerce native brands.
Saat mengincar merek baru, tim Hypefast akan melihat merek mana yang sudah mencapai product-market fit dan memiliki potensial yang tinggi untuk dijual di luar negeri. Syarat berikutnya, merek tersebut memiliki pendapatan bulanan minimal Rp500 juta perbulan dan sudat peroleh laba, minimal margin 15% dari pendapatan dan mayoritas omzet datang dari channel online.
Cakupan merek yang diincar ini tak hanya dari Indonesia, namun juga sudah merambah ke Malaysia, Singapura, dan Thailand, mengingat Hypefast sudah memiliki tim lokal di sana. Nantinya, tim lokal tersebut akan bertanggung jawab untuk seluruh transaksi yang terjadi di dalam portofolio Hypefast, yang memanfaatkan platform digital populer yang dipakai konsumen di negara tersebut.
“Untuk membuktikan bahwa merek tersebut sudah kuat, kita juga melihat apakah pendapatannya mereka mulai stabil minimal dalam 12 bulan terakhir. Tak hanya itu, fokus mencari founder yang punya level ambisius untuk tumbuh bersama-sama karena kami ini cari partnership untuk grow the growth.”
Ticket size yang diberikan Hypefast untuk masing-masing portofolionya hingga $10 juta. Tak hanya dana segar, founder juga akan terhubung dengan ekosistem ritel Hypefast secara end-to-end. Proses operasionalnya akan tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.
“Cross border facility ini kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat invest ke brand, kami ini upgrading their business fundamental.”
Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.
Rencana berikutnya
Merek lokal D2C ke depannya akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasi e-commerce terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.
“Kita lihat semakin banyak brand baru yang mulai bermunculan, enggak hanya dari angka jumlah pemainnya yang meningkat, tapi jumlah konsumennya juga ikut naik. Hal ini terjadi karena mereka itu membawa sesuatu yang dicari-cari konsumen dan tentunya ini bedampak positif.”
Bisnis yang diincar Hypefast untuk diakuisisi saat ini bergerak di kategori gaya hidup, seperti fesyen, kesehatan dan kecantikan, personal care, dan aksesori. Sejauh ini mayoritas portofolionya bergerak di industri fesyen, jumlahnya ada lebih dari 25 merek.
Beberapa nama di antaranya adalah Noore, Bonnels, Motiviga, Monomom, Nona, dan Nona Nara. Baru-baru ini perusahaan mengumumkan kemitraan dengan Cosmax Indonesia, menandai masuknya perusahaan ke industri kecantikan dan kesehatan.
Cosmax Indonesia memiliki kekuatan di bidang inovasi dan riset kecantikan, didukung dengan tim riset dan pengembangan produk, kapasitas produksi yang menjangkau hingga 110 juta unit, dan fasilitas manufaktur seluas 13.890 meter persegi. Mereka bekerja sama dengan merek kecantikan lokal dan perusahaan multinasional dengan jaringan terintegrasi, kemampuan infrastruktur yang memberikan solusi responsif dan ribuan formulasi inovatif.
“Untuk brand di luar Indonesia, masih dalam tahap diskusi final. Ada beberapa yang sudah tahap signing, masih banyak juga yang masih dalam diskusi. Semuanya ini adalah kategori lifestyle sebagai core kami.”
Perusahaan untuk berinvestasi setidaknya ke 15 merek lokal kesehatan dan kecantikan pada tahun depan, dengan target pendanaan hingga Rp50 miliar per merek.
Dalam mendukung target perusahaan, Hypefast akan menambah jumlah talentanya hingga 1.000 orang sampai satu sampai dua tahun mendatang. Saat ini talenta perusahaan berjumlah 250 orang tersebar di empat negara.
“Talenta itu adalah faktor penting dalam pertumbuhan kami. Hypefast mencari individu yang passionate di e-commerce brand, terutama di Indonesia. Banyak hal yang akan kita kerjakan bersama-sama,” tutup Mad.
Hingga kini, Hypefast telah memperoleh pendanaan ekuitas sebesar $22 juta serta tambahan pendanaan debt dengan jumlah yang tidak disebutkan dari kalangan investor terkemuka di Asia Tenggara dan dunia. Investor-investor yang mendukung Hypefast termasuk Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, dan Strive.