Risiko Kesehatan Esports Tak Hanya Akibat Perilaku Gaming, Tapi Juga Gaya Hidup

Peran ahli kesehatan sangat penting untuk menjaga agar karier atlet esports tak berakhir prematur.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa industri esports telah mendatang banyak manfaat bagi para pegiat dan penggemarnya. Mulai dari sekadar wujud hiburan baru, hingga menjadi lahan pekerjaan yang menggerakkan roda perekonomian dalam jumlah besar, industri baru ini dengan cepat menjadi bagian besar dari kehidupan banyak orang di seluruh dunia, terutama kawula muda.

Akan tetapi seperti dua sisi sebuah koin, bersama manfaat-manfaat itu esports juga menyimpan risiko buruk yang tak kasat mata. Satu hal yang mulai mendapat banyak perhatian adalah dampaknya terhadap kesehatan. Dewasa ini manusia dan gadget sudah sangat sulit dipisahkan, apalagi karena adanya berbagai media sosial yang menuntut perhatian setiap saat. Esports membuat kita menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar perangkat elektronik, sehingga ada risiko yang bisa muncul akibat kelelahan mata, susah tidur akibat radiasi sinar biru, dan lain sebagainya.

Media kesehatan Amerika Serikat, Healio, baru-baru ini mengumpulkan pendapat dari para ahli kesehatan tentang efek positif maupun negatif yang dapat muncul dari pola hidup gaming seperti ini. Menurut mereka, para dokter dan tenaga medis lain sebaiknya lebih waspada bila menghadapi pasien yang merupakan partisipan dunia esports. Pasalnya, pasien-pasien dalam kategori ini rentan melaporkan gejala akan beberapa risiko kesehatan tertentu.

Risiko pertama adalah masalah-masalah yang muncul akibat kegiatan bermain game dalam jangka panjang itu sendiri. Paparan terhadap layar dalam waktu lama sering memunculkan keluhan mata, tapi selain itu juga keluhan berupa sakit leher, sakit punggung, serta sakit di tangan dan pergelangan tangan. Di dunia kesehatan bahkan ada keluhan yang dikenal dengan istilah “Nintendonitis”, yaitu rasa nyeri di jempol, tangan, atau pergelangan tangan akibat penggunaan beberapa perangkat Nintendo terus-menerus.

Perangkat gaming Nintendo dapat menimbulkan cedera Nintendonitis | Sumber: CBS News

Tapi dampak kesehatan ini tidak berhenti sampai di situ. Ada juga masalah-masalah lain yang muncul secara tak langsung, bukan karena perilaku gaming itu sendiri tapi merupakan akibat dari gaya hidup yang banyak diadopsi oleh para gamer.

Akibat kurangnya aktivitas fisik, para gamer ini rawan terkena obesitas serta penyakit-penyakit kardiovaskular (misalnya penyakit jantung, stroke, atau darah tinggi). Ditambah lagi perilaku gaming sering kali erat dengan konsumsi spontan makanan/camilain dengan tingkat kalori tinggi. Game juga memicu berbagai respons kerja dari tubuh, seperti detak jantung serta aktivitas mental yang meningkat.

Khusus untuk para gamer profesional, ada risiko tambahan yang muncul dari penggunaan berbagai zat stimulan. Contohnya minuman energi yang bisa meningkatkan daya konsentrasi, atau zat-zat pendongkrak performa lainnya. Hal ini sama bahayanya dengan olahraga konvensional, akan tetapi atlet esports punya risiko tambahan karena zat-zat tersebut digunakan dalam tubuh yang kurang banyak melakukan aktivitas gerak.

Konsumsi esports yang berlebihan juga dapat membuat para gamer kehilangan kesempatan untuk berinteraksi di dunia nyata, sehingga menurunkan kemampuan sosial mereka. Banyak orang tua yang membiatkan anak mereka bermain game karena game membuat anak-anak “diam”. Tapi game bukanlah babysitter. Justru anak tidak boleh dibiarkan diam di depan game tanpa pengawasan sebab mereka juga butuh kegiatan-kegiatan lain untuk mendukung tumbuh kembangnya.

NRG, salah satu tim esports yang mempromosikan kesehatan atlet | Sumber: NRG

“Jika pasien atau orang tua mereka melaporkan gangguan tidur, stres, gampang marah, gelisah, isolasi sosial, atau terlihat memiliki kadar higienis rendah akibat kelalaian, dokter harus mengecek level interaksi online mereka, termasuk dalam esports,” ujar Sally Gainsbury, PhD., Deputy Director Gambling Treatment & Research Centre di University of Sydney. Hal-hal semacam ini, menurutnya, bisa jadi gejala kecanduan esports. Gejala kecanduan lainnya adalah ketika pasien tidak dapat lepas dari game secara sukarela, atau menunjukkan kemarahan ketika disuruh melakukannya.

“Banyak pemain esports berada di puncak dalam usia yang sama dengan ketika mereka lulus dari SMA atau kuliah,” ujar Todd Sontag, DO., anggota tim dokter dari Orlando Magic Gaming. Usia prima atlet esports memang biasanya berkisar antara 18 hingga 29 tahun, lebih singkat daripada atlet olahraga konvensional. “Dalam satu momen tak terduga, karier itu bisa berakhir, jadi kami menjaga adanya staf profesional dari berbagai bidang untuk membantu transisi tersebut.”

Beberapa staf kesehatan yang tergabung dalam Orlando Magic Gaming meliputi dokter tim, pelatih atletik, doktor bedah ortopedi, hingga konselor kesehatan mental. Para atlet memang bisa menghabiskan waktu 8 – 10 jam per hari untuk berlatih, tapi tidak semua jam latihan itu digunakan untuk bermain game. Mereka juga memiliki porsi untuk membangun kekuatan fisik dan ergonomis para pemain sehingga cedera dapat dihindari, sama seperti atlet-atlet olahraga konvensional.

Dr. Todd Sontag bersama atlet Orlando Magic Gaming, Brendan Hill | Sumber: Orlando Magic Gaming

Berbagai riset memang telah menunjukkan bahwa perilaku gaming memiliki potensi positif, bahkan manfaat medis. Akan tetapi potensi negatif di sini juga nyata adanya. Saat ini di Amerika Serikat belum ada panduan medis yang baku akan perilaku gaming dan esports. Namun ada beberapa usulan yang disampaikan oleh Joanne DiFransisco-Donoghue, PhD. (ahli fisiologi New York Institute of Technology College of Osteopathic Medicine). Usulan itu antara lain:

  • Pemain esports harus bersikap jujur tentang intensitas kegiatan dan keluhan mereka.
  • Dokter tim harus menanyakan “pertanyaan terfokus” seputar aktivitas fisik, nutrisi, performa akademik, keluhan muskoskeletal, dan mengevaluasi daya lihat serta perilaku sosial.
  • Adanya spesialis kesehatan mental untuk menilai perilaku kecanduan.
  • Personel kesehatan olahraga hendaknya melakukan tes kesehatan dan fleksibilitas tubuh secara terstandar sebelum musim kompetisi dimulai, menilai status aktivitas atlet, serta memberi rekomendasi yang diperlukan.
  • Spesialis terapi fisik dan terapi okupasi hendaknya siap siaga untuk menjadi rujukan dan mengevaluasi kemampuan ergonomis atlet.
  • Dokter mata (ophthalmologist) hendaknya siap siaga untuk menangani kemungkinan adanya kerusakan mata dari paparan sinar biru.

Dokter perawatan primer punya peran penting dalam menghindarkan para pegiat esports dari risiko-risiko kesehatan yang mungkin muncul. Para atlet juga harus paham bahwa ada hal-hal yang perlu ditangani dengan serius bila mereka tidak ingin karier mereka berhenti secara prematur. Sementara tanggung jawab tiap organisasi esports adalah memberi fasilitas kesehatan yang memadai, baik berupa pencegahan, pelatihan, serta perawatan medis yang diperlukan.

Esports dapat memberikan banyak manfaat, asalkan para partisipannya tidak melakukannya di level yang ekstrem tanpa pengawasan serta pelatihan yang tepat,” kata Sontag.

Sumber: Healio