Pada November 2018, dua mantan pekerja Riot Games, developer dan publisher League of Legends, mengajukan tuntutan ke pengadilan, mengklaim bahwa Riot membiarkan budaya dikriminasi gender yang penuh dengan pelecehan seksual pada pekerja wanita merajalela. Diskriminasi juga dilakukan oleh para manajer. Misalnya, para manajer pria memiliki daftar pekerja perempuang yang dianggap paling cantik. Seolah itu tidak cukup buruk, ketika ketika karyawan wanita protes akan hal ini, mereka justru mendapatkan hukuman. Tuduhan ini diperkuat dengan artikel yang ditulis oleh Kotaku pada Agustus 2018 setelah mewawancarai puluhan mantan pekerja dan karyawan Riot tentang budaya kerja di perusahaan tersebut.
Skandal ini membuat reputasi Riot tercoreng. Pada April 2019, mereka lalu berusaha untuk menyelesaikan masalah ini secara diam-diam dengan memaksa karyawan untuk melakukan arbitrasi. Dengan kata lain, mereka ingin melarang para karyawan menuntut perusahaan di pengadilan. Sebagai gantinya, Riot ingin masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Apa yang dilakukan perusahaan justru berujung pada protes. Lebih dari 150 karyawan Riot melakukan walkout untuk menyatakan protes akan keputusan perusahaan.
Sekarang, Riot Games mengatakan bahwa mereka setuju untuk membayar US$10 juta (sekitar Rp141 miliar) atas tuntutan dikriminasi gender ini, lapor LA Times. Dengan ini, sekitar 1.000 pekerja wanita yang pernah bekerja di Riot sejak November 2014 akan mendapatkan uang kompensasi. Jumlah kompensasi yang diterima oleh masing-masing karyawan berbeda-beda, tergantung berapa lama karyawan telah bekerja di perusahaan dan juga status karyawan mereka. Jadi, pekerja tetap mendapatkan kompensasi lebih daripada kontraktor, lapor VP Esports.
Sejak saat itu, Riot Games telah berjanji untuk memperbaiki budaya seksisme mereka. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah mempekerjakan Angela Roseboro sebagai Chief Diversity Officer mereka, menurut laporan The Esports Observer. Selain itu, mereka juga memastikan para atasan mendapatkan latihan yang cukup untuk memastikan mereka juga tidak ikut melakukan diskriminasi.
Kepada LA Times, juru bicara Riot Games, Joe Hixson mengatakan bahwa perusahaan senang karena akhirnya dapat menyelesaikan tuntutan ini. Dia menyebutkan, ini adalah langkah penting untuk menunjukkan komitmen Riot dalam menciptakan lingkungan kerja inklusif tanpa diskriminasi.
Budaya seksisme Riot Games merupakan salah satu skandal paling besar sepanjang 2018-2019. Ironisnya, perusahaan berusaha untuk mendorong para pemain League of Legends untuk berlaku lebih baik pada satu sama lain dan tidak saling mendiskriminasi.
Sumber header: Nexus League of Legends