Jika sebelumnya saya memberikan penilaian saya untuk keyboard SteelSeries Apex 7, kali ini saya akan menuliskan review Razer Basilisk V2 yang baru saya beli bulan Mei 2020 lalu. Makanya, review ini baru keluar sekarang meski mouse ini sudah dirilis awal tahun 2020, bersamaan dengan DeathAdder V2.
Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa review gaming peripheral sepenuhnya subjektif karena akan sangat bergantung pada pengalaman, kemampuan bermain, dan ukuran fisik sang reviewer. Karena itulah, saya juga merasa harus menyebutkan pengalaman saya sebagai justifikasi atas penilaian saya kali ini.
Saya sendiri memang sudah menggunakan belasan mouse dari Razer dan puluhan gaming peripheral lainnya sejak tahun 2008. Di sisi lain, saya harus mengakui bahwa kemampuan gaming saya juga memang mungkin menyedihkan kawkawkawkawk… Setidaknya jika dibandingkan dengan pro player game FPS ataupun MOBA PC yang menuntut kelincahan dan akurasi super tinggi dalam menggunakan mouse.
Saya sendiri juga sebenarnya lebih suka game-game singleplayer ataupun cooperative seperti Borderlands 3 ataupun The Outer Worlds yang mungkin tidak menuntut kelincahan dan akurasi aiming layaknya CS: GO. Namun setidaknya, karena memang lebih suka memainkan game-game singleplayer, sudah cukup banyak game-game yang saya selesaikan Single Player Campaign-nya — sekitar 2000 judul game PC dari sejak saya mengenal PC gaming di 2003.
Saya kira cukup latar belakang saya yang mungkin bisa Anda pertimbangkan juga saat membaca review Razer Basilisk V2 kali ini.
Bodi dan Fisik Razer Basilisk V2
Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan saat ingin memilih gaming mouse untuk dibeli adalah ukurannya, apakah nyaman di tangan dan sesuai dengan gaya menggenggam mouse Anda — apakah itu palm, claw, ataupun fingertip grip. Pasalnya, jika ukuran mouse terlalu kecil untuk tangan, Anda tak mungkin juga menggunakan gaya palm jika gaya itu yang paling sering digunakan.
Saya sendiri lebih terbiasa menggunakan palm grip dengan ukuran tangan sedang (tidak besar, tidak kecil juga) untuk ukuran orang Indonesia dan saya sangat nyaman menggunakan Basilisk V2 ini. Seperti yang saya tuliskan di review sebelumnya, saya bisa bermain game 8 jam tanpa henti — kecuali mungkin ke toilet. Saya pun merasakan kenyamanan sempurna dengan mouse yang satu ini.
Basilisk V2 juga menawarkan 11 tombol yang bisa diganti fungsinya — programmable buttons. Saya memang biasanya tidak menggunakan tombol di bawah scroll, yang biasanya digunakan untuk mengganti sensitivitas — termasuk 2 tombol di bawah scroll di mouse ini. Meski begitu, Razer Naga adalah mouse favorit saya sampai hari ini karena menawarkan 12 tombol di sisi kiri badan — untuk ibu jari. Jadi, saya memang sudah terbiasa untuk memanfaatkan side buttons di gaming mouse.
3 side buttons di Basilisk V2 juga sangat nyaman digunakan, meski sayangnya tidak sebanyak Razer Naga. Namun, 1 tombol samping di paling depan kurang pas dengan lokasi ibu jari saya sehingga tidak secepat mengakses 2 tombol samping lainnya saat permainan sedang berjalan dengan tempo cepat. Jadi, biasanya saya memilih untuk menggunakan tombol tersebut untuk fungsi yang tidak terlalu butuh kecepatan — seperti membuka map (biasanya tombol M di keyboard). Selain itu, 2 tombol yang ada di samping sangat cepat diakses dan nyaman dipencet.
Saya juga suka melihat tampilan Basilisk V2 yang terlihat garang — tidak seperti DeathAdder V2 yang lebih subtle. Oh iya, finishing dan bodi Basilisk V2 juga terasa solid layaknya mouse premium — sepadan dengan harga yang harus Anda bayarkan.
Selain satu tombol samping yang sedikit terlalu jauh tadi, saya sungguh tidak bisa mencari kekurangan lain dari aspek bodi dan fisik yang ditawarkan oleh mouse yang satu ini.
Kecepatan, Akurasi, dan Klik Switch Razer Basilisk V2
Tentu saja, akurasi aiming dan kecepatan gliding juga akan jadi salah satu pertimbangan utama buat Anda para gamer dalam menentukan mouse yang ingin digunakan. Basilisk V2 juga sempurna dalam hal ini. Oh iya, mengingat akurasi dan kecepatan sensor juga bergantung dengan mousepad yang Anda gunakan, saya menggunakan Razer Goliathus Control dengan mouse ini.
Untuk akurasi dan kecepatan yang tak bercela, hal ini mungkin memang sudah sesuai ekspektasi. Spesifikasi yang diungkap Razer untuk Basilisk V2 ini sensornya bisa mencapai 20ribu DPI dengan teknologi Focus+ sensor optical dan akurasi 99.6%. Selain itu, ia juga menyuguhkan akselerasi sampai dengan 650 inci per detik atau 50G. Meski memang sebenarnya tidak ada gamer yang menggunakan DPI ataupun akselerasi tadi sampai mentok, saya kira teknologi sensor Focus+ dengan akurasi 99.6% tadi yang membuat mouse ini sangat nyaman untuk aiming dan gliding.
Dari pengalaman saya mencobanya di Borderlands 3 dan The Outer Worlds, mouse ini sungguh sempurna karena tidak terasa licin namun sangat responsif — beberapa mouse yang sangat responsif kadang terasa sedikit terlalu licin untuk saya.
Di bagian ini saya juga ingin membahas soal switch klik yang digunakan. Faktanya, mouse Razer itu dulu memang terkenal dengan masalah double click. Saya bahkan membeli Razer Naga generasi pertama sampai 3 kali dan ketiganya berakhir dengan masalah double click. Namun demikian, saya cukup salut dengan keputusan Razer yang mengakui masalah tersebut dengan mengganti switch yang digunakan. Dari pengalaman saya, switch klik yang biasanya berakhir double click adalah switch dari Omron yang kelas murahan — yang bahkan masih digunakan di mouse gaming beberapa merek lainnya.
Di Basilisk V2 ini, Razer menggunakan optical switch yang diklaim mampu bertahan sampai dengan 70 juta kali pencetan. Sebelum saya memutuskan membeli mouse ini, saya juga sempat googling dengan kata kunci “Razer Basilisk V2 double click” ataupun “razer optical mouse switch double click“. Hasilnya, sentimen netizen tentang mouse ataupun switch ini sangat positif. Setidaknya saya belum menemukan postingan soal double click untuk Basilisk V2 saat menulis artikel ini. Sepertinya, Razer memang berhasil menemukan desain switch yang mampu terhindar dari masalah paling menyebalkan sepanjang sejarah gaming mouse.
Meski begitu, saya juga tidak bisa memastikan 100% karena saya memang baru menggunakan mouse ini sekitar sebulan lebih. Selain itu, bisa jadi karena memang mouse ini baru dirilis di awal tahun, belum ada netizen yang melaporkannya. Semoga saja saya ingat untuk meng-update review ini jika terjadi masalah double click dengan mouse saya. Wkwakwakwa…
Oh iya, terakhir sebelum saya menutup bagian ini, selain Basilisk V2, Razer juga menggunakan optical switch dan sensor Focus+ di DeathAdder V2, Viper Ultimate, dan Basilisk Ultimate. Nah, yang jadi pertimbangan adalah harga Razer DeathAdder V2 yang dibanderol dengan harga (kurang lebih) Rp200 ribu lebih murah.
Fitur Tambahan Razer Basilisk V2
Jika dibandingkan dengan DeathAdder V2 yang sedikit lebih murah tadi, fitur tambahan yang ada di Basilisk V2 adalah kecepatan scroll yang bisa diatur — dengan menggeser roda yang ada di bagian bawah mouse ini. Di satu sisi, saya sendiri menyukai fitur ini — karena bisa berguna buat fungsi makro yang butuh kecepatan namun tetap terukur. Namun demikian, saya juga tahu fitur ini mungkin tidak akan berguna buat gamer lainnya.
Di bagian ini saya juga ingin membahas soal Razer Synapse (versi yang saya gunakan saat menulis ini adalah 3.5.531). Saya tahu banyak orang mungkin tidak terlalu memusingkan soal software gaming peripheral namun saya memang suka bermain-main dengan fungsi makro.
Saya bisa katakan bahwa Razer Synapse menyuguhkan fungsi makro terbaik dari semua software gaming peripheral yang pernah saya gunakan. Semua fungsi makro yang bisa ditemukan di software brand lain (seperti SteelSeries Engine) bisa dilakukan di sini. Namun Razer Synapse menawarkan kelebihan lain, yaitu merekam pergerakan mouse. Dengan begitu, saya bisa menggunakan fungsi makro untuk menekan recoil di game-game FPS.
Fungsi makro biasanya lebih sering digunakan di game-game RPG ataupun RTS yang butuh banyak tombol namun Razer Synapse memungkinkan fungsi makro jadi begitu bermanfaat buat game FPS.
Kesimpulan
Saat saya mencoba mouse ini, sebenarnya saya memang sengaja mencari-cari kekurangannya. Namun sampai artikel ini ditulis, saya tidak mampu menemukannya. Satu kekurangan minor mungkin adalah soal salah satu tombol di kiri mouse yang terlalu jauh tadi. Namun kekurangan tersebut sebenarnya sangat tidak signifikan karena saya juga masih menggunakannya — seperti memasukkan tombol map saat di game ataupun menyetel fungsi CTRL+I saat mengedit ataupun mengetik artikel.
Jika berbicara soal kompetitor terberat Basilisk V2, produknya juga mungkin datang dari Razer; DeathAdder V2 yang sama-sama menggunakan sensor Focus+ dan optical switch untuk kliknya. Namun demikian, jika Anda tanya saya, saya akan memilih Basilisk V2 karena selisih harganya yang tidak berarti di kisaran ini. Plus Basilisk V2 punya tampilan yang lebih garang dan scroll yang bisa disesuaikan kecepatannya.