Selama situasi pandemi jumlah pemain game di PC memang dikabarkan meningkat lebih pesat dibanding dengan pemain game mobil. Apalagi protokol Physical Distancing dan himbauan untuk di rumah saja mungkin akan membuat Anda bosan setengah mati, jika Anda tidak memiliki sebuah perangkat untuk sarana hiburan atau produktivitas.
Dari sisi desktop, saya sudah sempat mengulas Acer Nitro N50-110, yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk dibeli jika Anda adalah tipe pengguna yang tak mau repot. Lalu bagaimana dari laptop? Mengingat beberapa waktu lalu Lenovo baru meluncurkan lini produk laptop gaming terbaru, mungkin Anda bisa menjadikan produk tersebut sebagai pertimbangan.
Kebetulan beberapa waktu lalu saya dipinjami Lenovo Legion 5 untuk di-review. Jika Anda penasaran apakah laptop ini bisa memenuhi kebutuhan gaming dan produktivitas Anda, simak ulasan berikut dari saya.
Tampilan, Desain, dan Lenovo Legion 5 Secara Keseluruhan
Saat membahas desktop saya sengaja menempatkan soal performa di bagian pertama, karena faktor itu yang lebih esensial. Namun berhubung kali ini barang yang saya review adalah laptop, saya merasa bagian soal tampilan dan desain jadi penting karena bisa dibilang sebagai nilai jual utama juga dari sebuah laptop. Jajaran produk laptop “gaming” dari Lenovo ini membawa jargon “Stylish Outside, Savage Inside”. Alhasil, Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 yang diluncurkan pada 25 Juni 2020 kemarin tersaji dengan penampilan yang minimalis, elegan, dan profesional.
Desainnya jadi alasan kenapa saya menggunakan tanda kutip saat menyebut laptop gaming. Karena tampilan luarnya membuat laptop ini sebenarnya jadi tidak terlihat seperti kebanyakan laptop gaming lainnya.
Oh iya, sebelum lebih lanjut membahas soal tampilan, saya jelaskan dulu varian Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 agar Anda tidak bingung. Lenovo Legion dan IdeaPad Gaming datang dengan dua varian. Lenovo Legion 5i menggunakan prosesor Intel, sementara Lenovo Legion 5 menggunakan prosesor AMD. IdeaPad Gaming juga sama, IdeaPad Gaming 3i menggunakan prosesor Intel, IdeaPad Gaming 3 menggunakan prosesor AMD. Unit yang saya review adalah Lenovo Legion 5, yang menggunakan prosesor AMD.
Secara penampilan, Lenovo Legion 5 tidak beda dari Lenovo Legion 5i, hanya jeroannya saja yang berbeda. Juga supaya Anda tidak bingung, berikut spesifikasi varian Lenovo Legion 5 yang saya review kali ini:
Lanjut membahas tampilan, salah satu yang membuat saya merasa Lenovo Legion 5 tidak terlihat sebagai laptop gaming adalah warna hitam doff yang disebut sebagai “Phantom Black”. Seperti yang Anda tahu, laptop yang menggunakan embel-embel “gaming” biasanya tampil mencolok, entah dengan lampu RGB, warna-warna cerah, desain ala racing, atau gimmick tampilan lainnya.
Alih-alih menggunakan tampilan yang terkesan kekanak-kanakan, Lenovo Legion 5 malah tampil dewasa dan elegan. Warna tersebut dipermanis dengan logo Lenovo kecil yang nemplok di pojok kiri layaknya pembatas buku kecil, dan logo Legion di pojok kanan yang agak besar, namun tetap kalem dan minimalis. Dahulu logo ini menyala putih, kini diubah menjadi hanya bersifat iridescent, alias berubah warna saat terkena pantulan cahaya.
Oke, soal tampilan mungkin cukup segitu saja. Soal keyboard, mungkin jadi hal yang ingin saya bahas selanjutnya. Saat peluncuran, Lenovo gembar-gembor soal True Strike keyboard sebagai salah satu fitur unggulan. Hal ini membuat saya jadi penasaran dan bertanya “memangnya sebagus dan seenak apa sih True Strike keyboard?”
Ternyata setelah dicoba, saya bisa bilang bahwa keyboard Lenovo Legion 5 ini adalah yang paling enak dibanding dari kebanyakan keyboard laptop yang ada di pasaran. Saya sengaja bilang “enak” karena memang ini memang adalah pendapat subjektif. Seberapa enak? Ya cukup enak sampai membuat saya meninggalkan keyboard mekanik Anne Pro II yang menggunakan red switch, untuk pekerjaan menulis saya.
Bagaimana feel-nya? Solid, tactile, dan lembut. Setiap tombol yang ditekan terasa kokoh tapi luwes. Tombol yang ditekan akan langsung masuk menjadi input, tanpa ada perasaan goyang atau jiggly terhadap tombol yang ditekan. Setiap tombol dilapisi Anti-oil coating, yang juga memberi feel lembut ketika permukaan tuts keyboard disentuh.
Lalu apakah keyboard True Strike bagus? Untuk urusan produktivitas, keyboard ini bagus, karena punya layout full-size, dengan full-sized NumPad, tombol arrow, dan tombol F-row (F1-F12) yang cukup besar. Beberapa laptop gaming mungkin sudah menyediakan ini, tetapi menurut saya yang perlu diapresiasi adalah ukuran setiap tombolnya yang cukup besar sehingga sangat nyaman digunakan untuk urusan produktivitas kerja.
Untuk gaming juga bagus, karena keyboard ini sudah memiliki fitur N-Key Rollover (NKRO) dan anti-ghosting. Dengan dua fitur tersebut, artinya Anda bisa menekan sebanyak mungkin tuts keyboard dan semuanya akan masuk menjadi input. Untuk urusan gaming, NKRO dan anti-ghosting jadi penting, karena pemain kerap kali menekan keyboard dengan cepat, yang bisa menyebabkan apa yang keluar di game tidak sesuai dengan apa yang ditekan, jika keyboard tidak memiliki dua fitur tersebut.
Tapi apakah “enak” untuk gaming? Saya rasa cukup enak, tapi tingkat responnya masih kalah cepat jika dibandingkan dengan keyboard mekanik yang menggunakan red switch, terutama untuk urusan gaming kompetitif. Namun jika Anda main game secara casual saja, saya merasa keyboard laptop Legion Lenovo 5 ini sudah sangat cukup.
Kekurangan dari keyboard True Strike di Lenovo Legion 5 ini hanyalah tombol-tombol besar, seperti Enter dan Shift, yang cenderung terasa keras. Lagi-lagi, pendapat ini muncul, mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa dengan keyboard mekanik red switch, yang memang sangat ringan ketika ditekan. Oh iya, laptop ini juga hanya memiliki backlight warna putih. Untuk saya, ini sih bukan kekurangan tapi mungkin akan jadi dealbreaker jika Anda adalah seorang penggila RGB.
Tampilan sudah, keyboard sudah, sekarang kita beralih ke I/O ports dan monitor. Anda mungkin sudah sempat melihat ulasan dari beberapa YouTuber dan melihat rancangan I/O port Lenovo Legion. Laptop ini meletakkan hampir semua colokan di bagian belakang.
Walau membuat meja jadi kelihatan bersih, namun tetap ada plus-minus terhadap rancangan seperti ini. Minus-nya adalah, Anda mungkin akan sulit setup laptop jika ukuran meja Anda tidak begitu besar. Rancangan ini jadi sulit untuk anak kosan seperti saya, yang harus terima nasib menggunakan meja kecil fasilitas kosan, namun punya banyak gadget tambahan yang dicolok ke laptop… Hehe.
Soal monitor, saya menggunakan varian Lenovo Legion 5 yang memiliki tingkat kecerahan display sebesar 250nits dan Refresh-Rate 120Hz. Jujur, 250 nits sih terasa kurang, apalagi jika Anda adalah seorang gamers FPS kompetitif atau pekerja multimedia.
Dengan tingkat kecerahan 250nits, monitor laptop masih kalah dengan cerahnya matahari, terutama saat pagi hingga siang hari. Refresh-rate 120Hz terasa sangat enak. Bukan hanya untuk gaming, tetapi juga membuat berbagai animasi Windows 10 jadi terasa lebih halus.
Bagaimana untuk gaming? Berhubung saya adalah reviewer kere-hore, jadi saya belum pernah mencoba monitor dengan Refresh-Rate yang lebih tinggi lagi. So? 120Hz terasa baik-baik saja, sangat enak untuk bermain game FPS yang banyak gerakan seperti Apex Legends. Namun satu hal yang pasti, Refresh Rate tersebut ternyata tidak berhasil membuat saya jadi lebih jago saat main VALORANT, tetap saja saya mengisi posisi Bottom Frag… Haha.
Performa Tanggung Dengan Kemampuan Thermal yang Mantap
Unit Lenovo Legion 5 yang saya review ini menggunakan prosesor AMD Ryzen R5-4600H yang dilengkapi dengan GPU GeForce GTX1650Ti 4GB GDDR6. Dari sini, Anda yang geeky soal hardware mungkin sudah punya gambaran atas performa laptop ini. Namun, mari kita lihat hasil pengujian saya terhadap performa Lenovo Legion 5.
Untuk urusan gaming, saya cuma bisa bilang bahwa Lenovo Legion 5 ini “Esports Ready”. Tapi untuk gaming AAA? Sepertinya nanti dulu. Kenapa saya bilang Esports Ready? Karena display 120Hz dari laptop ini sangat menunjang kebutuhan gaming kompetitif. Juga, game multiplayer kompetitif cenderung tidak terlalu demanding dari segi hardware. Jadi saya rasa, AMD Ryzen R5-4600H dan GTX 1650Ti sudah lumayan cukup untuk mencapai 60++ FPS pada beberapa judul game kompetitif.
Seperti sebelumnya, saya menggunakan PUBG (Steam) dan Apex Legends sebagai alat untuk menguji kemampuan laptop dalam menjalankan game multiplayer kompetitif. Kenapa game tersebut yang saya pilih? Karena dua game tersebut bisa dibilang sebagai dua game multiplayer kompetitif paling berat untuk saat ini. Untuk metode, pada pengujian ini saya bermain dengan beberapa preset pengaturan grafis, demi menemukan pengaturan yang paling optimal dengan display Refresh Rate 120Hz.
Mengingat spesifikasi minimum PUBG yang lebih tinggi daripada Apex Legends, maka tidak heran jika usaha untuk mendapat 100++ average FPS di PUBG jadi lebih sulit ketimbang di Apex Legends. Bahkan PUBG dengan preset Very Low saja, tidak bisa menembus angka 100 Average FPS. Kenapa begitu penting mencapai 100++ FPS? Karena game FPS kompetitif cenderung mengutamakan respon. Visual kerap kali dipinggirkan dalam game kompetitif seperti PUBG. Bahkan hampir kebanyakan pemain CS:GO professional menggunakan pengaturan rendah, demi mendapat FPS sebanyak mungkin.
Tapi jika Anda adalah tipe pemain PUBG yang main santai, dan ingin menikmati indahnya pancaran matahari di map Vikendi ataupun Erangel 2.0, Lenovo Legion 5 masih kuat menjalankan PUBG dengan pengaturan Ultra.
Namun cukup sulit untuk main kompetitif dengan preset grafis Ultra, karena Lenovo Legion 5 cuma bisa dapat 51,1 average FPS, dengan 28,4 min FPS, dan 63,4 max FPS. Dalam keadaan yang umum, seperti masuk ke rumah untuk looting, atau rotasi dengan kendaraan, FPS berada di kisaran 30an. Max FPS sendiri baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit.
Pengaturan Medium membuat PUBG lebih playable untuk kompetitif dengan 78 average FPS, 58,5 min FPS, dan 106,4 max FPS. Seperti pengaturan Ultra, pemandangan standar bisa akan mendapatkan angka yang tidak jauh dari min FPS. Sementara angka max FPS baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit, atau menatap pemandangan yang minim konten visual.
Pengaturan Very Low baru bisa membuat PUBG jadi lebih “Esports Ready” dengan 93,9 average FPS, 43,8 min FPS, dan 166,4 max FPS. Saya cukup bingung kenapa catatan minimum FPS-nya lebih rendah daripada Medium. Mungkin sempat terjadi stutter ketika saya baru masuk game, atau saat baru terjun payung. Namun angka tersebut terbilang tak perlu terlalu dikhawatirkan, karena sepengalaman saya PUBG bisa berjalan di rata-rata 90++ FPS jika menggunakan preset grafik Very Low.
Apex Legends lebih mudah untuk dapat 100++ average FPS. Bahkan game ini masih bisa dimainkan secara kompetitif pada pengaturan Ultra. Menggunakan preset pengaturan Ultra, Apex Legends bisa mendapatkan 76,3 average FPS, 39,3 min FPS, dan 117,9 max FPS. Saya merasa Apex dengan preset Ultra masih berjalan cukup mulus dalam berbagai skenario baku tembak. Angka min FPS sendiri didapatkan ketika awal terjun, dan pada skenario baku tembak yang penuh kekacauan dengan serangan dari berbagai arah, dan ledakan di mana mana.
Tetapi jika Anda bermain Apex Legends secara lebih kompetitif, preset grafis Medium akan lebih baik. Dengan pengaturan Medium, Apex Legends mendapatkan 101,8 average FPS, 58,6 min FPS, dan 144,8 max FPS. Lagi-lagi, angka min FPS saya dapatkan ketika awal terjun. Mungkin karena kartu grafis harus memproses seluruh bagian map. Namun bisa dipastikan bahwa dalam rata-rata skenario permainan, Apex Legends bisa berjalan di 100++ FPS.
Lalu bagaimana dengan game AAA? Hasil benchmark yang saya dapatkan menjadi alasan kenapa saya bilang, untuk urusan gaming, laptop ini cuma sampai status “Esports Ready” saja. Spesifikasi hardware yang disajikan ternyata masih cukup keteteran untuk menjalankan game AAA dengan preset grafis Ultra.
Kebutuhan grafis game AAA biasanya berbanding terbalik dengan game esports. Para PC Master Race seperti Editor kami, Yabes Elia, biasanya punya keinginan untuk menggunakan preset grafik Ultra demi mendapat kenikmatan visual. Kebutuhan Frame Rate biasanya tidak terlalu tinggi pada game AAA. 60FPS sudah cukup, setidknya agar game berjalan lebih mulus, tidak seperti… Uhuk! PlayStation yang cuma bisa 30 FPS saja.
Untuk game AAA saya menguji laptop ini dengan menggunakan Metro Exodus (2019) dan Assassin Creed: Odyssey (2018). Pengujian untuk Metro Exodus dilakukan dengan menjalankan game menggunakan beberapa pengaturan grafik, dan melihat perolehan FPS yang didapat. Sementara untuk Assassin’s Creed: Odyssey, saya menggunakan in-game benchmark.
Metro Exodus tidak memiliki preset grafik, jadi untuk grafik Ultra saya ubah semua opsi jadi rata kanan, dan Medium di rata tengah. Dengan pengaturan grafik Ultra, Metro Exodus ternyata jadi tidak playable. Game besutan 4A Games berubah jadi gambar stop motion dengan 19,9 average FPS, 9,3 min FPS, dan 32,1 max FPS.
Cukup menyedihkan memang. Iya sih, pengaturan Ultra membuat game jadi nikmat secara visual. Tapi juga jadi menyebalkan kalau baru mulai game karakter kita sudah mati dimakan mutant, gara-gara Frame Rate rendah membuat kita kesulitan merespon serangan.
Game tersebut baru bisa dimainkan dengan pengaturan Medium, yang berhasil mendapatkan 52,1 average FPS, dengan 41,4 min FPS, dan 68,9 max FPS. Permainan berjalan dengan cukup lancar, dan kini saya berhasil berjalan lebih jauh dibanding saat menggunakan pengaturan Ultra.
Dalam pertarungan, Frame Rate berada di kisaran 45-50 FPS, cukup untuk merespon musuh berupa AI yang sudah diprogram. Sementara itu max FPS didapatkan ketika Anda menghadapi pemandangan yang minim konten visual, contohnya saat Artyom (karakter utama Metro Exodus) dibawa ke markas Metro.
Selanjutnya Assassin’s Creed Odyssey. Game besutan Ubisoft ini sendiri terbilang masih playable dengan menggunakan pengaturan Ultra. Assasin’s Creed Odyssey berhasil mendapatkan 29 average FPS, dengan 17 min FPS, dan 49 max FPS.
Jadi, walau Anda cuma bisa mendapat Frame Rate layaknya bermain di konsol, tapi setidaknya Anda bisa bermain dalam keadaan visual yang ciamik. Namun memang, Assassin’s Creed Odyssey terbilang lebih ringan jika dibanding Metro Exodus. Dengan pengaturan High, Anda masih bisa mendapat 55 average FPS, 28 min FPS, dan 108 max FPS. Sementara preset Medium memberikan Anda 66 average FPS, 28 min FPS, dan 130 max FPS.
Jadi, apakah konfigurasi jeroan Lenovo Legion 5 versi Ryzen 5-4600H ini memang hanya sekadar cukup saja? Untuk mengetahui performanya saya lalu menguji kemampuan laptop dengan menggunakan 3DMark dan PCMark. Jika berdasarkan dua software penguji tersebut, konfigurasi Lenovo Legion 5 dengan CPU Ryzen 5-4600H dan GPU GTX1650Ti ini terbilang cukup tanggung.
Skor 3DMark Time Spy dan Fire Strike laptop ini masing-masing adalah 4032 dan 9377. Kalau menurut kedua software tersebut, semua skor ini lumayan ketinggalan dibanding dengan “Gaming Laptop 2020”. Menurut 3DMark “Gaming Laptop 2020” adalah laptop dengan prosesor Intel Core i7-9750H dengan kartu grafis GeForce RTX 2060. Menurut catatan 3DMark, Gaming Laptop 2020 bisa mendapat skor sebesar 5730 pada Time Spy, dan 13771 pada Fire Strike. Perbedaan yang cukup jauh?
Sementara untuk produktivitas, skor PCMark Lenovo Legion 5 malah bisa menyalip si Gaming Laptop 2020 dengan cukup jauh. Gaming Laptop 2020 hanya mendapatkan skor sebesar 4515 saja, sementara Lenovo Legion 5 bisa mendapatkan skor sebesar 5687. Kontestan Lenovo Legion 5 dalam urusan produktivitas ini malah Gaming PC 2020. Walau saya tahu tidak adil membandingkan laptop dengan desktop, namun menurut PCMark, Gaming PC 2020 dengan CPU AMD Ryzen 7 3700X, GPU AMD Radeon RX 5700 XT mencatatkan skor sebesar 6739, masih beda cukup tipis dibanding Lenovo Legion 5.
Memang kalau melihat dari sisi GPU, GTX1650 Ti tentu akan ngos-ngosan jika dibandingkan dengan RTX 2060. Mungkin hal ini jadi alasan kenapa skor 3DMark unit Lenovo Legion 5 yang saya uji masih kalah saing. Tetapi kalau untuk urusan produktivitas, Ryzen 5 4600H masih bisa diadu dengan dan Intel Core i7-9750H, yang mana keduanya sama sama memiliki 6 core 12 thread.
Oke, gaming sudah, pengujian dengan software juga sudah. Berikutnya kita akan membahas soal suhu. Soal thermal atau suhu juga jadi hal lain yang dibanggakan dari produk Lenovo Legion 5 ini, lewat teknologi yang disebut sebagai ColdFront 2.0.
Tapi, apa benar teknologi ini bisa membuat Lenovo Legion 5 jadi adem? Melihat dari kulit luar, rancangan sirkulasi udara Lenovo Legion 5 memang membuat saya kagum.
Jika Anda melihat ke bawah, Anda bisa melihat hampir setengah bagian Laptop hanya berisikan lubang udara yang dibuat dengan menggunakan rancangan circular atau bulat-bulat. Lalu beralih ke bagian samping dan belakang, Anda bisa melihat empat buah ventilasi udara: satu di kiri, dua di belakang, dan satu di kanan. Ketika berjalan dalam performa tinggi, laptop akan menyedot udara dingin dari bawah, dan mengeluarkan udara panas ke kiri, kanan dan belakang.
Hasilnya? Rancangan ColdFront 2.0 memang cukup baik namun tidak berhasil menahan suhu tertinggi yang mengkhawatirkan saat digunakan untuk memainkan Metro Exodus.
Namun demikian, setidaknya suhu hangat terkumpul di bagian tengah laptop saja. Jadi tak perlu khawatir tangan terasa panas saat sesi gaming, atau bekerja dengan durasi panjang saat menggunakan laptop ini.
Oh saya hampir lupa, baterai! Ini juga jadi aspek yang tidak kalah penting dalam urusan laptop. Saya menguji performa baterai dengan memainkan video HD 1080p mulai dari baterai penuh 100%, dan membiarkannya berjalan berulang-ulang sampai laptop mati sendiri.
Dengan menggunakan metode tersebut Lenovo Legion 5 bisa bertahan selama 2 jam 40 menit (160 menit). Dengan kapasitas 60.000mWh, daya tahan baterai Lenovo Legion 5 terbilang sudah cukup. Walau memang, jika dibandingkan dengan daftar Best Gaming Laptop menurut PCMag angka ini terbilang cukup rendah.
Tapi baterai seharusnya bisa bertahan lebih lama untuk skenario penggunaan sehari-hari, seperti mengirim surel, mengerjakan dokumen, dan lain sebagainya. Tapi tentu akan beda cerita jika Anda menggunakannya untuk tugas yang berat seperti mengedit video atau gambar.
Lenovo Legion 5 juga memiliki fitur Rapid Charge Pro yang cukup signifikan meningkatkan kecepatan charging. Fitur ini sendiri harus dinyalakan terlebih dahulu lewat software Lenovo Vantage. Tanpa Rapid Charge, Lenovo Legion 5 butuh 2 jam 7 menit (127 menit) untuk charging dari 0-100%. Rapid Charge berhasil memangkas 30 menit waktu charging, membuat proses dari 0-100% jadi hanya 1 jam 33 menit saja (93 menit).
Torehan daya tahan baterai dan proses charging saya dapatkan dengan menggunakan Performance Mode. Ini artinya daya tahan baterai seharusnya bisa lebih lama, dan proses charging bisa lebih cepat lagi jika Anda mengaktifkan Quiet Mode dengan menggunakan Lenovo Q Control 3.0 yang akan menurunkan CPU Voltage dan fan speed.
Fitur-Fitur Pelengkap Lenovo Legion 5
Dari semua fitur-fitur tambahan, satu lagi yang menarik untuk dibahas mungkin adalah software Lenovo Vantage. Saya akui, pengalaman saya mengulas produk laptop memang belum banyak. Namun saya merasa software ini menjadi nilai tambah yang sangat membantu untuk keseharian. Seperti saya sebut tadi, Lenovo Vantage adalah semacam pusat kendali untuk fitur-fitur tambahan dari Lenovo Legion 5, fitur Rapid Charge salah satunya.
Tetapi selain itu, software ini juga akan membantu Anda untuk melakukan update terhadap driver laptop, mengatur Lenovo Q Control, dan mengaktifkan Hybrid Mode.
Terkait Hybrid Mode, saya ingin sedikit membahas soal dampaknya pada performa. Awalnya saya cukup bingung dengan fungsi Hybrid Mode, bagaimana dampaknya terhadap performa jika saya nyalakan? Lenovo sendiri menjelaskan bahwa dalam mode ini, sistem akan mendeteksi apakah GPU dibutuhkan atau tidak. Jika tidak maka sistem akan secara otomatis dimatikan dan menggunakan Integrated Graphics Processor.
Karena penasaran, saya lalu mencoba melakukan sedikit benchmark untuk mengetahui dampaknya pada performa. Menariknya, Hybrid Mode justru menurunkan skor benchmark jika laptop digunakan sambil dicolok ke listrik. Masih menggunakan 3DMark, skor benchmark menurun jadi 9203 dibanding sebelumnya, yaitu 9377 saat Hybrid Mode tidak digunakan.
Tapi di sisi lain, performa laptop jadi meningkat saat melakukan benchmark dengan menggunakan baterai. Skor 3DMark Hybrid Mode dengan menggunakan baterai adalah 6638, sementara skor benchmark tanpa Hybrid Mode dengan menggunakan baterai hanya 6307 saja.
Hal lain yang patut jadi catatan adalah, Refresh Rate monitor akan bertahan di frekuensi 120Hz meski sedang menggunakan baterai, jika Hybrid Mode dinyalakan. Sementara jika Hybrid Mode dimatikan, Refresh Rate monitor akan otomatis turun ke frekuensi 60Hz ketika menggunakan baterai. Jadi? Hybrid Mode atau tidak? Saya rasa Hybrid Mode akan cocok jika di sekitar Anda tidak ada colokan listrik, namun Anda sedang butuh performa untuk task berat seperti edit video.
Terakhir Lenovo juga memberikan nilai tambah lain berupa Accidental Damage Protection dan Onsite Warranty selama dua tahun. Garansi tersebut bisa digunakan untuk berbagai kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian pengguna. Tak hanya itu, paket penjualan Lenovo Legion 5 juga sudah menyertakan Windows 10, dan juga paket Microsoft Office Home & Student 2019.
Kesimpulan
Jadi apakah Lenovo Legion 5 layak beli? Secara price-to-performance, Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dan GPU GeForce GTX1650Ti ini terbilang tanggung. Apalagi mengingat masih ada laptop gaming lain yang punya spesifikasi hardware serupa, namun memiliki harga yang lebih terjangkau.
Tetapi, saya merasa nilai jual Lenovo Legion 5 ini sebenarnya datang dari desain produk laptop ini secara keseluruhan dan juga fitur-fitur tambahan yang disematkan.
Apakah keyboard yang diberikan bisa solid dan lembut seperti keyboard dengan teknologi True Strike atau tidak? Saya juga penasaran dan ingin bisa menjawab pertanyaan tersebut. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk melakukan review terhadap laptop dengan spesifikasi serupa, agar bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Selain itu, hal lain yang menurut saya jadi nilai jual dari Lenovo Legion 5 ini adalah rancangan tampak luar yang elegan, sleek, dan minimalis. Jadi jika Anda adalah datang dari kalangan profesional yang suka main game, laptop ini masih bisa digunakan untuk keseharian, karena tetap membuat Anda tampil smart, dan profesional saat digunakan di lingkungan kerja.
Menurut saya, pesaing Laptop Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dengan GeForce GTX1650Ti ini malah adalah versi Lenovo Legion 5 yang punya konfigurasi hardware lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga antar versi Lenovo Legion 5 yang beda-beda tipis.
Versi yang saya review dibanderol dengan harga Rp16.499.000. Sementara di sisi lain, Lenovo Legion 5 versi lain yang menggunakan konfigurasi hardware berupa AMD Ryzen R7-4800H dengan GeForce GTX1660Ti, ditambah dengan Refresh Rate monitor 144Hz, dibanderol dengan harga Rp18.499.000. Lalu jika kita mengintip versi Intel, harga Lenovo Legion 5i versi Core i7-10750H dengan NVIDIA GTX1660Ti juga cuma Rp21.999.000.
Apakah beda performanya signifikan? Saya sendiri belum sempat mencobanya. Tetapi untuk penggunaan jangka panjang, saya rasa tidak ada salahnya untuk lebih sabar, menabung 5,5 juta lagi, demi mendapat konfigurasi hardware tertinggi, agar laptop bisa menjadi investasi masa depan yang future-proof.
Tapi jika dana Anda terbatas, dan butuh segera membeli laptop, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen 5 4600H dengan GeForce GTX1650Ti.