Dark
Light

Klaim Cyber Park Indonesia Bahwa Bisnis Online Rugikan Indonesia Miliaran Dolar Tidak Masuk Akal

2 mins read
October 3, 2014

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah artikel di Republika, sebuah wawancara dengan CEO Cyber Park Indonesia, Dedi Yudiant. Dalam wawancara tersebut Dedi membuat sebuah pernyataan yang sangat bombastis, dikutip langsung dari situs Republika, “Jika Kementerian Perdagangan menyatakan transaksi perdagangan melalui online mencapai ratusan miliar dolar, bisa dihitung berapa pajak atau PPN transaksi sebesar 10 persen yang hilang sebagai pendapatan negara.”

Wow. Luar biasa.

Saya sempat bingung dengan pernyataan ini, namun setelah saya baca berulang-ulang saya mengambil kesimpulan bahwa Dedi mungkin kurang mengerti konsep e-commerce, atau paling tidak konsep e-commerce yang dianut Dedi berbeda dengan yang saya pikirkan. Mari kita bahas.

Misalnya, Toko Bagus Online menjual berbagai produk mencapai jutaan merek produk, jika produknya di pajang dalam mall sudah mencapai tiga unit mall untuk memajang produknya. “Paling tidak seratus juta miliar dolar negara sudah dirugikan,” ujarnya. ~ link

Paragraf diatas saya ambil dari situs Republika, dan dari situ terlihat beberapa miskonsepsi yang terjadi mengenai “e-commerce” ini. Pertama, Tokobagus sudah berubah menjadi OLX, tapi itu kesalahan yang wajar, banyak juga yang masih belum move-on. Kedua, OLX adalah sebuah marketplace dimana mereka menyediakan tempat untuk orang  lain berjualan di situs mereka. William Henley, salah seorang pemerhati industri internet Indonesia berpendapat, “Kalo kita beli barang via Tokopedia atau OLX (marketplace), yg seharusnya BAYAR pajak si Tokopedia or OLX? Atau pengusaha UKM yang buka lapak di Tokopedia atau OLX?” Pertanyaan ini tentu valid, dan berdasarkan pemahaman Dedi berarti jawabannya adalah Tokopedia/OLX sebagai penyedia lapak berjualan.

Ketiga, “seratus juta miliar dollar”? Semoga saja ini hanya salah kutip.

Masuk akal?

Daniel Tumiwa, Chairman Asosiasi E-Commerce Indonesia juga turut memberikan pernyataan, “Semua pemain e-commerce di Indonesia sudah membayar pajak karena mereka memiliki entitas legal dan warga negara yang sah”.

Ia (Dedi) mengatakan, bisnis online ini sebagaian besar berbasis di Jepang, China, Malaysia, Singgapura, Thailand dan negara lainnya. Jika terjadi transaksi ini tentu ada pajak atau Ppn 10 persen dan pendapatan dari pajak ini lah yang belum dimanfaatkan pemerintah. link

Ya memang seharusnya seperti itu. Kalaupun kita kehilangan uang pajak dari e-commerce, itu adalah karena konsumen Indonesia membeli barang-barang dari luar negeri seperti eBay, Amazon, etc dimana pajaknya justru lari ke pemerintahan dimana perusahaan itu berada. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana kita bisa membujuk konsumen untuk membeli dari situs dalam negeri kalau pemerintah sendiri justru menempatkan banyak beban untuk e-commerce lokal?

“Transaksi e-commerce secara keseluruhan angkanya masih dibawah 5% dari keseluruhan angka perdagangan, dan Kementrian (Perdagangan) mengerti betul dengan hal ini”, Daniel menambahkan. Bukannya tidak boleh diregulasi, tapi industri yang masih kecil dan baru bertumbuh seperti e-commerce ini pastinya sangat unik untuk tiap negara. Daniel mencontohkan bahwa AS menunggu industri e-commerce bertumbuh selama 15 tahun sebelum akhirnya bisa menunjukkan bentuk dan bisa membuatkan regulasi yang cocok untuk mengembangkannya lebih lanjut. “Itupun pemerintah AS masih harus mempelajari tentang perdagangan antar-negara, seperti konsumen di New York membeli barang dari Tiongkok. Kesimpulannya: same tax no matter where, online or offline.” tutup Daniel.

Penting sekali bagi regulator/pemerintah untuk bisa mencari data statistik dan informasi yang benar mengenai e-commerce sebelum membuat regulasi. Benar-benar bertemu dan berbincang dengan orang-orang yang memang kompeten di industrinya, dan jangan sampai dibutakan oleh pernyataan-pernyataan heboh tanpa dasar yang tidak masuk akal yang nantinya juga akan berakibat fatal bagi industri yang baru berkembang ini. Yang juga tidak kalah penting, pemerintah sebaiknya sabar menunggu sembari mempelajari betul model perpajakan seperti apa yang cocok diterapkan di Indonesia. Mengadopsi model pajak negara lain mungkin menjadi tidak bijak kalau ternyata perilaku konsumennya jauh berbeda.

Rama Mamuaya

Founder, CEO, Writer, Admin, Designer, Coder, Webmaster, Sales, Business Development and Head Janitor of DailySocial.net.

Contact me : [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Telkom dan Jasa Marga Sepakat Kembangkan Bisnis Fiber Optik

Next Story

Mandy Marahimin Dobrak Tradisi Keluarga dengan Jadi Entrepreneur Digital

Latest from Blog