Musik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Pernah membayangkan dunia tanpa musik? Tak perlu heran jika khayalan Anda terhadap dunia tanpa musik terlalu suram. Itulah yang menyebabkan industri ini, tak pernah mati. Mungkin kalau untuk kasus Indonesia bisa dibilang memang pernah mati suri. Tetapi saya di sini tak ingin membicarakan sejarah musik Indonesia, namun lebih kepada gaya hidup yang selalu mengikuti zaman, termasuk cara kita menikmati musik.
Musik tak pernah mati, meski cara menikmatinya selalu berkembang dan berubah-ubah. Mulai dari piringan hitam, kaset berpita, CD hingga tiba saatnya era format digital yang diwarnai booming format MP3, dan hingga saat ini terus menerus berkembang.
Belakangan ini streaming musik menjadi salah satu alternatif mendengarkan musik dan menurut para pelaku teknologi, metode streaming ini lebih menguntungkan banyak pihak, berbeda dengan format-format sebelumnya yang selalu erat dengan kontroversi pembajakan.
Keuntungan yang bisa didapat dari streaming musik ini ada beberapa macam, sebut saja untuk sisi pendengar; kemudahan mendapatkan dan mendengarkan jutaan lagu baru tanpa perlu memiliki media penyimpanan yang besar. Sedangkan untuk sisi pencipta dan musisi, ini merupakan sebuah langkah monetisasi untuk karyanya yang bisa menggairahkan industri musik lebih jauh.
Layanan streaming musik asing, Deezer, Rdio, dan Guvera, pun akhirnya satu persatu resmi masuk di Indonesia. Padahal, bukankah infrastruktur internet di Indonesia masih tergolong payah untuk mengakses layanan streaming semacam ini?
Indonesia, dengan penetrasi internet yang pesat dan pasar yang begitu menggiurkan, ternyata membuat layanan musik asing juga tergoda untuk mencicip besarnya pasar Indonesia. Sebenarnya, apa yang membuat para penyedia streaming asing yang sudah bernama tersebut melirik Indonesia?
Sebenarnya agak menyedihkan bila harus selalu mengulang-ngulang bahwa alasannya adalah Indonesia adalah pasar potensial. Karena fakta bahwa Indonesia adalah pasar potensial itu sudah jelas. Lihat saja jumlah populasi yang besar pertumbuhan kelas menengah, dan seterusnya. Jadi apa lagi yang harus dibicarakan jika melihat begitu banyaknya layanan luar negeri yang masuk ke sini? Nyatanya, itu memang salah satu alasan utama para pelaku asing masuk Indonesia. Bukan hanya di sektor streaming musik, tetapi juga hampir di semua sektor terutama e-commerce.
“Di Asia Tenggara, pasar terbesarnya di Indonesia, jadi mereka harus balapan bikin user growth,” ujar Ario Tamat founder Ohdio.
Tetapi bukankah Indonesia masih terkendala oleh faktor infrastruktur internet dan karakter pengguna internet yang sebagian besar masih enggan menggunakan layanan berbayar? “Monetisasi sih umumnya akan dihitung 1% saja dulu dari total user. Tapi kalau user-nya jutaan kan tetap lumayan. Nilai perusahaan mereka juga akan naik dengan user yang banyak, karena kalau sudah skala segitu, monetisasi itu masalah uji coba harga, sudah bukan soal cari customer lagi,” lanjut Ario.
Lahan Hijau
Saat berbincang-bincang dengan Widi Asmoro, Microsoft Entertainment Manager Southeast Asia, Nokia Mix Radio Indonesia memang dipandang sebagai lahan hijau yang masih bisa digarap sehingga justru punya potensi untuk terus berkembang. Segala kekurangan-kekurangan yang ada, semisal koneksi internet yang relatif lamban, justru dilihat sebagai peluang di masa mendatang.
“Kalau masalah koneksi internet yang lamban itu bukan hambatan melainkan tantangan. Karena itu bukan masalah fixed yang bisa diperbaiki. Lain lagi jika ada masalah fixed, misalnya adanya aturan pemerintah yang melarang,” ujarnya.
Akhirnya, memang terjawab mengapa layanan-layanan streaming besar seperti Dezeer, Rdio, dan Guvera ramai-ramai menyerbu Indonesia padahal notabene infrastruktur internetnya masih relatif payah untuk layanan jenis ini. Masa depan yang cerah di lahan hijau yang belum tergarap secara optimal.
“Dalam lima tahun ke depan, perkembangan jaringan 3G dan 4G yang pesat di seluruh dunia ditambah dengan peningkatan jumlah pengguna smartphone, akan mendorong pertumbuhan besar-besaran streaming hingga 75 persen. Tidak heran jika fokus dan medan pertempuran para penyedia layanan ini adalah kepada jumlah pengguna baru di negara-negara non-english speaking, yang pasarnya sedang tumbuh pesat,” cetus Jyrki Rosenberg, VP Entertainment Microsoft seperti dikutip dari situs Nokia Mix Radio.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]