Tahun 2014 silam, industri game developer Indonesia meroket namanya berkat sebuah game horor bernama DreadOut besutan Digital Happiness (DH). Kala itu, game ini mendapatkan respon yang positif bahkan dari pasar internasional sekalipun. Dari 3116 review di Steam, 2358 menilai game ini positif. Game ini pun sudah diunduh sebanyak 1 juta kali di semua platform.
Game DreadOut memang istimewa mengingat kebanyakan pemain (developer ataupun publisher) di industri game Indonesia kala itu memang masih seputar 2D ataupun Free-to-Play. DreadOut sudah menawarkan grafis 3D dan menjadi game berbayar karena mungkin memang mengincar target pasar internasional. Sungguh, game ini memang fenomenal di jamannya karena game-game lain dari pasar Indonesia saat itu bahkan masih kesulitan menyuguhkan model 3D yang masuk akal. DreadOut bahkan sudah satu langkah lebih jauh dengan menyuguhkan atmosfir horor yang begitu kental.
4 tahun berselang, 2018, DreadOut diumumkan akan diangkat ke layar lebar. Kali ini, franchise ini menjadi game Indonesia pertama yang diangkat jadi film. Hybrid pun berbincang dengan Rachmad Imron, Co-Founder Digital Happiness dan Game Producer untuk DreadOut, untuk cari tahu cerita bagaimana game-nya bisa jadi film dan rencana ke depannya.
Imron pun bercerita bahwa tim dari DH sendiri memang pada awalnya melihat potensi besar dari DreadOut diangkat ke layar lebar. Selama masa development-nya pun timnya sering bergurau tentang siapa sutradara yang tepat untuk adaptasi filmnya dan mereka setuju bahwa The Mo Brothers (Timothy Tjahjanto dan Kimo Stamboel) adalah pilihan terbaik.
“Tidak lama setelah itu, beberapa production house dan sutradara approach ke kami namun karena kurang satu visi akhirnya kami tidak berjodoh. Sampai pada satu saat Kimo Stamboel approach ke kami via email dan akhirnya beliau datang ke Bandung, ke studio kami.
Long story short, setelah bolak balik konsultasi tentang DreadOut universe, kenapa begini kenapa begitu, dan kesibukan masing-masing, dan gerilya untuk mendapatkan partner investasi yang tepat, yawes akhirnya alhamdulillah akhirnya match made in Hell.” Cerita Imron semangat.
Satu hal yang pasti, adaptasi game jadi film itu kemungkinan besar mengecewakan terlepas dari siapapun produser ataupun sutradaranya karena memang lebih ke bentuk media penyampaian narasi ataupun informasinya. Muasalnya, game menjadi bentuk penyampaian narasi dan informasi paling kompleks yang ada sekarang ini dan pasti ada berbagai elemen yang absen ketika format tersebut disederhanakan jadi film.
Imron pun sadar betul dengan hal tersebut mengingat ia memang sudah punya pengalaman banyak sebagai kreator game dan ia jugalah sang pencipta dunia DreadOut.
Menurut pendapat pribadinya, film DreadOut dinilai cukup menghibur, tidak terlalu seram namun seru sekali; sangat sesuai dengan target milenial yang dikejar.
“Untuk detail elemen-elemen yang hilang, hal itu sangat wajar karena 7 jam gameplay di game yang coba diadaptasikan jadi 96 menit di film pasti sangat sulit. Belum lagi lore universe kita yang luas.” Ungkap Imron.
Namun ia juga mengaku salut dengan Kimo yang akhirnya memutuskan film DreadOut menjadi sebuah prequel untuk game-nya dan sanggup mengemasnya dengan apik dan solid sehingga mudah dimengerti untuk audiens yang lebih luas, baik untuk gamer yang sudah memainkan game-nya ataupun penonton yang belum tahu soal DreadOut sama sekali.
“Intinya, it’s fun to watch, roller coaster emotion; dari ketawa, kaget takut, (dan) penasaran… Semoga penonton terhibur.”
Saat ini, franchise DreadOut sudah berkembang menjadi berbagai format. Selain film, DreadOut juga punya bentuk komiknya di CIAYO Comics yang bertajuk DreadOut: The Untolds. Rencananya, menurut pengakuan Imron, franchise DreadOut juga akan diadaptasi untuk jadi novel.
Ternyata, pelebaran franchise ini memang sudah jadi bagian dari rencana Imron. “Tujuan kami adalah IP based games developer dan publisher jadi, mau gimana-gimana juga, harus kita maintain dan terus dikembangkan existing IP kami (Dread Universe) dan juga mempersiapkan IP baru yang layak dikembangkan lebih lanjut di samping DreadOut.”
Sampai artikel ini ditulis, franchise Dreadout menjadi salah satu franchise berbasis game pertama asal Indonesia yang paling banyak diadaptasi dalam berbagai format lainnya (game, komik, film, dan, rencananya, novel) dan DH sendiri juga berencana akan merilis DreadOut 2 yang masih dirahasiakan tanggal rilisnya. Namun apakah DH juga berencana untuk membuat game baru lagi selain franchise DreadOut?
“Tentunya iya. Namun tentunya bukan hal yang mudah dikarenakan kami masih independen dan bootstrapping company. Kami akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk dapat scale up secara massive dan cepat.” Jawabnya.
Imron juga menambahkan bahwa Digital Happiness sangat terbuka soal investasi baik itu yang berbasis project ataupun keseluruhan perusahaan. Walaupun memang ia juga menyadari bahwa investasi akan membuat Digital Happiness membutuhkan penyesuaian.
“Memang yang challenging adalah berimbang antara idealisme dan komersilnya.” Tutup Imron.
Melihat sekilas perjalanan DH ke belakang, setidaknya dari perspektif saya yang berada di luar, perusahaan ini memang membuat gempar industri game Indonesia saat meluncurkan DreadOut karena kualitas dan pengalaman bermain yang disuguhkannya. Namun beberapa tahun berselang, DH seolah tenggelam dan tak terdengar lagi sampai 4 tahun kemudian mereka kembali membuat gempar industri kreatif Indonesia.
Tentunya, suntikan dana dari investor akan membuat DH lebih aktif dan produktif membentuk industri game Indonesia karena rekam jejak mereka yang membuktikan bahwa mereka memang bukan pengekor. Namun di satu sisi, bisa jadi juga DH akan kehilangan keistimewaannya jika, naasnya, terlibat dengan investor yang mungkin tak sejalan dengan romantisme ataupun idealisme awal perusahaan yang berbasis di Bandung ini.
Jadi? Kita tunggu saja bersama bagaimana sepak terjang Rachmad Imron dan Digital Happiness ke depannya ya!