Tidak berlebihan rasanya jika menyebut 2020 sebagai tahun kejayaan bagi bitcoin. Cryptocurrency terpopuler di dunia menembus US$20.000 atau hampir Rp280 juta untuk satu kepingnya. Nilai Bitcoin naik drastis dari awal tahun yang masih di angka US$9.545 saja atau tumbuh satu kali lipat.
Namun yang akan kita bahas di sini bukanlah bitcoin melainkan blockchain. Sebagai teknologi yang memungkinkan keberadaan cryptocurrency seperti bitcoin, bisa dikatakan blockchain tak begitu dikenal oleh telinga masyarakat umum. Namun seperti banyak disebut dalam komunitas teknologi, blockchain adalah inovasi enabler yang akan mengubah banyak hal seperti yang dilakukan internet sejak 1990-an hingga saat ini.
Apa kabar blockchain
Nama blockchain ikut terangkat ketika harga bitcoin mulai populer. Sejak saat itu berangsur-angsur sejumlah pihak, bisnis maupun pemerintah, melirik dan mengadopsi teknologi pencatatan digital tersebut untuk memecahkan masalah mereka.
Kami berbicara dengan Oham Dunggio dan Pandu Sastrowardoyo dari Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) untuk mengetahui perkembangan terbaru penerapan blockchain di Indonesia.
Oham yang saat ini menempat posisi Chairman ABI mengatakan sudah cukup banyak institusi yang memanfaatkan blockchain. Namun kebanyakan penerapannya masih sebatas eksperimen. Menurut Oham, industri keuangan, khususnya perbankan, jadi yang paling getol melakukan eksperimen dengan blockchain ini.
“Mereka secara under the hood sudah eksperimen blockchain untuk mempermudah proses onboarding nasabah,” ucap Oham.
Salah satu produk industri ini yang dekat dengan masyarakat dan sudah menggunakan blockchain adalah QR Code Indonesia Standar (QRIS). Oham bercerita pemerintah mengembangkan QRIS dengan blockchain dalam jangka panjang hingga 2025. “Makanya waktu awal digunakan bisa scan satu QR Code saja,” imbuhnya.
Selain keuangan, sektor logistik juga sudah cukup familiar dengan penerapan blockchain. Oham mengatakan saat ini sudah ada beberapa perusahaan logistik yang mengadopsi blockchain untuk meningkatkan kelancaran pengantaran barang.
Contoh bagus diperlihatkan Direktorat Jenderal Bea Cukai Indonesia. Ditjen Bea Cukai menggandeng IBM Indonesia dan AP Moller – Maersk dalam mengaplikasikan TradeLens, platform blockchain, ke dalam sistem kerja mereka. Sebagai negara dengan ongkos logistik yang terbilang masih tinggi dibanding negara-negara lain, Ditjen Bea Cukai menyadari besarnya efisiensi yang bisa dicapai dari penerapan blockchain yang pada akhirnya bisa memangkas ongkos logistik di dalam negeri.
“Di Indonesia ongkos logistiknya tinggi sehingga competitiveness-nya rendah. Dengan adanya ini juga pasti akan memangkas biaya logistik,” ujar Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Agus Sudarmadi seperti dilansir Antara pada Februari 2020.
Sudah jadi pengetahuan bersama bahwa biaya logistik di Tanah Air tergolong besar. Saat ini biaya logistik mencapai 23,5% PDB. Indonesia menargetkan menekan angka itu hingga 17% dalam beberapa tahun ke depan.
Potensi lain yang tak bisa diabaikan
Pandu, yang saat ini menempati posisi VP of Consulting di Blocksphere, menatap dua sektor yang jauh dari bisnis komersial sebagai masa depan blockchain di Indonesia: pemilu dan media sosial.
Nilai utama blockchain adalah desentralisasi, transparansi, dan kekal. Dalam pemilu, Pandu berpendapat hasil penghitungan suara bisa dicatat ke dalam node blockchain. Dengan demikian kecurangan hingga perselisihan data perolehan suara bisa dihindari.
“Tapi sebaiknya penggunaan blockchain hanya untuk tabulasi saja, voting digital itu justru yang lebih tidak aman,” terang Pandu sembari mencontohkan Estonia dan Jepang sebagai negara yang sudah mengaplikasikan blockchain ke dalam pemilu mereka.
Dari lingkup media sosial, Pandu melihat penggunaan blockchain sebagai alternatif dalam mengakali penyensoran dan bias politik tiap platform media sosial. Mastodon, Teem, Hive.org adalah sedikit contoh media sosial yang telah mengadopsi blockchain. Nilai utama yang mereka tawarkan adalah desentralisasi, bahwa tak ada satu pun pihak yang punya kuasa lebih tinggi mana yang boleh ditampilkan ke publik dan mana yang tidak.
Terlalu cepat muncul
Oham Dunggio menaksir penggunaan blockchain akan semakin mainstream pada 2025 nanti. Menurutnya penerapan blockchain saat ini masih di tahap pertama merujuk kepada jumlah produk berbasis blockchain masih terbatas dan proyek-proyek yang bersifat eksperimen.
Di antara itu semua ada beberapa proyek blockchain yang justru muncul lebih cepat dari waktu seharusnya. Oham menyebut produk blockchain dari Hara sebagai contohnya. Hara yang beroperasi sejak 2015 dinilai punya konsep dan implementasi yang baik. Hanya saja Oham merasa kemunculan Hara terlalu cepat untuk sektor pertanian dalam negeri yang masih berjarak dengan pemanfaatan teknologi digital.
“Contoh di lapangan yang ingin mereka pecahkan itu kan pendanaan petani yang transparan dan lebih tepat sasaran, tapi kenyataannya di lapangan petani masih lebih suka berurusan dengan tengkulak. Dan tengkulak ini punya dampak positif dan negatifnya,” jelas Oham.
Melewati siklus hype
Jika merujuk pada Gartner Hype Cycle for Emerging Technologies, blockchain termasuk inovasi yang sudah melewati puncak ekspektasinya sejak 2018. Pandu pun merasa siklus overhype sudah selesai di Indonesia.
Sebagai orang yang kesehariannya mengurus blockchain, Pandu mengaku masih kerap melihat segelintir solusi berbasis blockchain yang tak melihat business value. Di samping itu, ia merasa makin banyak solusi enterprise mengandalkan blockchain. Faktor enterprise ini juga yang menurutnya menyebabkan banyak orang tak banyak tahu perkembangan inovasi blockchain di Indonesia.
“Bahkan ada beberapa solusi yang di back-end sudah pakai blockchain, tapi front-end masih sama saja. Konsumen cuma akan merasakan layanannya sudah lebih cepat. The hype will finish once everybody punya solusi yang tepat,” pungkas Pandu meyakini blockchain segera menjadi teknologi mainstream di Tanah Air.
Sementara itu Oham Dunggio melihat regulasi yang tepat tinggal menjadi penentu kapan solusi blockchain dapat segera membanjiri Indonesia. Oham bercerita ABI saat ini sedang membantu Kementerian Komunikasi dan Informatika menggodok regulasi yang tepat untuk produk-produk berbasis blockchain.
Setidaknya ada dua hal yang membuat Oham yakin regulasi blockchain akan segera keluar di Indonesia. Pertama adalah implementasi digital currency oleh JPMorgan. Kedua adalah dibukanya bursa jual-beli cryptocurrency oleh DBS di Singapura.
“Saya bisa sebutkan ada empat perbankan besar yang sudah mulai eksperimen. Saya rasa tinggal menunggu regulasi saja. Kalau sudah ada tinggal mereka gas,” tutup Oham.