Ketika membuka GoPoints di aplikasi Gojek hari ini, Anda tak lagi menemukan gamifikasi berupa permainan spinner dengan poin yang sempat populer beberapa waktu lalu. Seluruh transaksi Gojek juga sudah tak lagi mendapat poin mulai akhir Januari lalu. Pengguna yang memiliki poin masih bisa menukarkan poinnya hingga 30 Juni 2020. Gojek dikabarkan ingin mengembangkan GoPoints dengan pendekatan berbeda.
GoPoints serupa dengan Ovo Points, TokoPoints, atau Koin Shopee. Program-program ini awalnya dirancang untuk menjaga loyalitas pengguna, tapi pada akhirnya menjadi salah satu variabel pembanding yang menentukan keputusan pembelian selain harga.
Saya mencoba berbincang dengan beberapa pengguna aplikasi digital, semuanya milenial, dan mereka sepakat bahwa mereka sangat mencintai poin-poin ini. Ada yang cinta karena mereka bisa mendapat keuntungan lebih berupa potongan harga, ada pula yang cinta karena poin ini bisa digunakan untuk hal lain–beli pulsa misalnya.
Juli Andrian menggunakan dan memanfaatkan poin dari banyak layanan, seperti GoPoint, GrabRewards, Ovo Point, TokoPoint, Koin Shopee, Ponta, dan I-Saku. Semuanya dikumpulkan sehingga bisa mendapatkan keuntungan lain.
“[Program loyalitas pengguna] Ini menjadi keuntungan buat saya. Dapat timbal balik dari loyalitas kita/banyaknya uang yang kita belanjakan. Jadi merasa dapat keuntungan lebih dari pembelian yang kita lakukan,” terang Juli.
Pendapat Juli ini diamini yang lain. Termasuk dengan adanya berbagai macam poin yang didapat mereka jadi lebih pemilih terhadap sebuah barang/merchant/layanan.
“Selalu, soalnya [saya] anaknya hemat dan ga mau rugi banget,” jelas Galuh Intan.
“[Kalau saya] sangat mempertimbangkan. Bahkan kalau aku mau beli sesuatu cek-cek dulu mana yang cashback paling gede,” timpal Prilita Kamalia.
Lebih setia pada poin, cashback, dan diskon
Masyarakat Indonesia masih sangat sensitif terhadap harga. Kehadiran program loyalitas pengguna seharusnya menjadi jawaban untuk sebuah kesetiaan, tapi justru sebaliknya. Banyak dari pengguna kini juga mempertimbangkan “bonus” dari setiap transaksi yang mereka lakukan. Efeknya, brand harus terus “menawarkan” sesuatu untuk tetap mendapatkan pengguna.
Kondisi ini tidak baik bagi keberlangsungan sebuah layanan/brand/merchant. Mereka yang tak lagi menawarkan benefit bakal keluar dari kelompok pilihan pengguna. Memberikan benefit menjadi sebuah ketergantungan yang tak bisa dihindarkan untuk bisa mendapat pengguna. Menjadi salah kaprah bagi implementasi program loyalitas.
GetPlus, sebuah penyedia layanan program loyalitas, tidak menampik fenomena ini. Mereka percaya bahwa semua konsumen menyukai diskon/cashback/rewards/poin yang diberikan secara gratis. Namun mereka masih percaya bahwa masih ada konsumen yang menyukai atau setia pada beberapa brand dan merchant tertentu.
“Konsumen [yang menyukai beberapa brand tertentu] ini menghargai recognition, bisa memperoleh loyalty rewards dari pembelanjaan mereka dan menikmati pengalaman berbelanja melalui offline store. Hal inilah yang merupakan value proposition dari loyalty program, yaitu sebuah program yang didesain dengan baik dan akan sama menarik layaknya penawaran diskon,” terang Co-Founder & COO GetPlus Adrian Hoon kepada DailySocial.
Adrian juga menjelaskan, saat ini di Indonesia banyak program loyalitas yang diterapkan oleh brand atau merchant, namun sayangnya banyak di antaranya tidak well designed dari segi investasi teknologi, proses, sumber daya, marketing, dan lainnya. Pengelolaannya juga kurang baik sehingga membuat pengalaman pengguna tidak baik dan berdampak negatif pada bisnis.
Sementara itu Co-founder & CEO Member.id Marianne Rumantir menilai, mendapatkan pelanggan yang loyal tak diperoleh dari program loyalitas pengguna, tetapi dari produk dan layanan perusahaan itu sendiri.
Ia menjelaskan, saat ini ada yang namanya transactional loyalty dan emotional loyalty. Transactional loyalty biasanya ada pada saat brand sedang ada diskon atau murah, sedangkan emotional loyalty adalah kondisi di mana pelanggan tetap loyal kepada brand tertentu meskipun harganya naik. Alasannya karena pelangan sudah percaya ke brand itu, dari segi produk dan layanan.
“Untuk program diskon dan cashback misalnya, ini seharusnya dianggap sebagai program akuisisi bukan untuk program retensi. Diskon dan cashback biasa [dan seharusnya] ditawarkan untuk mendapatkan member/user sebanyak-banyaknya di awal, namun setelah itu ada customer journey selanjutnya di mana seharusnya loyalty program bisa menyediakan benefit-benefit lain untuk menghargai konsumennya di luar diskon/cashback. Di sini loyalty program digunakan sebagai retention program,” jelas Marianne.
Bagaimana seharusnya program loyalitas bekerja
Program loyalitas pengguna merupakan program investasi jangka panjang yang berkaitan dengan hubungan baik layanan atau brand dengan pengguna. Di dalam sistemnya, selain bisa menumbuhkan pengguna, program ini bisa digunakan untuk menangkap feedback, melihat gambaran demografi, dan melacak minat pengguna. Seharusnya program ini mengambil peranan penting dalam perjalanan pertumbuhan bisnis.
Marianne berpendapat, ada beberapa tantangan terkait dengan program loyalitas pengguna yang ada di Indonesia saat ini. Dua di antaranya adalah sosialisasi soal program yang kurang menyeluruh dan banyaknya program loyalitas pengguna yang tidak memiliki customer journey yang jelas.
“The best loyalty program is the one that has a well-designed customer journey. Customer journey ini kalo saya gambarkan ada 4 phase, Aspiration. Earning, Benefit, Rewards. Di masing-masing phase ada unsur-unsur yang harus dirancang dan dieksekusi dengan baik tergantung brand dari industri masing-masing,” ujar Marianne.
Pada intinya, menurut Marianne, untuk bekerja dengan baik program loyalitas pengguna harus diikuti dengan produk yang dibutuhkan, harga yang sesuai pasar, dan tingkat layanan.
“Loyalty program lalu dijalankan untuk membantu melengkapi produk dan meningkatkan servis yang sudah ada sehingga dapat membantu menyediakan apresiasi kepada konsumen begitu juga membantu brand untuk mengerti konsumen nya lebih dalam,” imbuh Marriane.
Mendefinisikan ulang program loyalitas
Dampak paling kentara dari kebiasaan pengguna yang lebih selektif terhadap harga dan poin terjadi di bisnis UKM. Awalnya berniat memberikan penghargaan dan pengalaman bagi pelanggan setia mereka, tetapi malah mengubah kebiasaan penggunanya. Mereka menjadi ketergantungan.
Mendefinisikan ulang program loyalitas pengguna harus dilakukan untuk mencegah penyalahartiannya. Marriane dan Adrian menyebut kuncinya ada pada well-designed loyalty program. Tidak asal poin dan cashback, tetapi juga memiliki sistem yang jelas.
Well-designed loyalty program, menurut penjelasan Marriane, merupakan program loyalitas pengguna yang dirancang dengan bertahap dan memiliki fase masing-masing. Marriane menyebutnya sebagai customer journey atau secara sederhana sebuah inisiatif loyalitas pengguna yang dibangun dengan memperhatikan perjalanan pengalaman penggunaan.
Setiap tahap disesuaikan dan memiliki peran masing-masing dalam hubungan dengan pengguna. Seperti kapan harus memberikan poin, kapan harus memberikan cashback, dan bentuk penghargaan lainnya. Model gamifikasi juga bisa jadi alternatif, misalnya untuk pelanggan yang sudah memiliki poin tertentu.
Adrian turut mencontohan program loyalitas pengguna yang menurutnya bagus di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa ada salah satu grup restoran ternama di Indonesia yang sudah menerapkan program loyalitas pengguna dengan baik.
“Program yang mereka jalankan dirancang sedemikian rupa untuk mengenali consumer setelah melakukan reservasi, reward points didapatkan setelah bertransaksi tanpa harus menunjukkan membership ID, rewards bonus ditawarkan berdasarkan riwayat transaksi, dan preferensi restaurant lainnya. Selain itu, terdapat juga occasional surprise rewards. Nah, program seperti inilah yang memengaruhi preferensi terhadap brand, retention, sekaligus menambah pengeluaran yang didorong oleh experience yang luar biasa untuk mencapai tantangan, rewards bonus, dan lain-lain,” terang Adrian.