Hampir semua vertikal industri kini mulai terdisrupsi oleh teknologi, termasuk properti. Bisnis ini umumnya dikuasai oleh pemain veteran, sehingga seluruh metodenya masih dilakukan secara tradisional, termasuk dalam proses penjualan dan sewa unit.
Kehadiran startup berbasis teknologi menjadi jawaban untuk proses menyeluruh yang lebih efisien. Alhasil, berbagai solusi ditawarkan dengan payung dasar sebagai portal marketplace. Intinya bagaimana memudahkan orang-orang yang ingin menjual, menyewa, bisa dipertemukan dengan target konsumen.
Di Indonesia, berbagai portal properti dari asing bermunculan. Ada 99.co (akuisisi Urbanindo), Rumah.com (bagian dari PropertyGuru Group), Lamudi, Rumah123 (bagian dari REA Group), dan OLX. Pemain lokal juga ada, seperti Rumahku.com dan BTN Properti.
Model bisnisnya kurang lebih seragam, menjembatani bertemunya penjual dengan calon pembeli. Bentuknya kebanyakan iklan baris dengan model berlangganan. Kekurangannya, mayoritas portal ini hanya bisa diposting oleh agen properti saja.
Melihat ke Singapura, negara maju tersebut memiliki beragam pemain startup properti dengan model bisnis yang menarik. Salah satunya Ohmyhome. Dia menawarkan pendekatan platform D-I-Y untuk menjual dan membeli rumah. Semuanya dapat dilakukan secara mandiri, tanpa agen.
Ohmyhome belum hadir di Indonesia. Tapi sudah mulai merambah ke Malaysia dan Thailand sejak awal tahun ini untuk perluasan bisnis.
Untuk melihat lebih dalam bagaimana Ohmyhome menawarkan solusi yang mendisrupsi industri properti, Echelon Asia Summit 2019 mengundang Co-Founder Ohmyhome Race Wong untuk berbagi banyak mengenai perusahaannya yang barumur tiga tahun tersebut.
Tawarkan solusi yang terlokalisasi
Race menjelaskan, Ohmyhome hadir untuk menyelesaikan isu komisi yang terlalu tinggi untuk agen. Ditambah lagi, untuk memiliki rumah prosesnya panjang dan melelahkan, bisa sampai 10 tahap. Mulai dari negosiasi harga, perjanjian kredit, sampai pertemuan 1-on-1.
Di sana, 90% masyarakat tinggal di perumahan Housing and Development Board (HDB). Perumahan milik negara yang berkepadatan tinggi karena berbentuk apartemen dan harganya murah.
Ohmyhome memotong jalur agen sehingga proses bisa jauh lebih cepat. Kendati, perusahaan tetap memiliki agen yang direkrut secara khusus untuk membantu setiap keluhan pembeli.
“Kami bukan marketplace, tidak menjual saran apapun, tidak menyediakan iklan baris, melainkan lebih fokus ke solusi end to end. Tidak peduli bagaimana kamu mau membeli properti, apabila ada yang menghubungi kamu lewat Ohmyhome dapat langsung kamu selesaikan sendiri transaksinya dan tidak dipungut biaya,” terang Race.
Dia melanjutkan, apabila pembeli butuh bantuan teknis di lapangan yang selama ini ditangani oleh agen, bisa dibantu lewat tim Ohmyhome. Komisinya tetap tergantung layanan yang diambil. Apabila transaksi jual beli, mulai dari SGD2.888 untuk layanan penuh, SGD1.688 untuk meet-up dan dokumentasi. Untuk sewa, biayanya mulai dari SGD988 untuk layanan penuh, $98 untuk layanan lite.
“Model seperti ini cukup baru di Singapura. Jadi kami tidak punya kompetitor langsung karena model bisnisnya berbeda. Kami charge dengan harga tetap karena kami ingin semua orang punya kesempatan yang sama di setiap layanan yang mereka butuhkan.”
Ketika ekspansi ke Malaysia, model bisnis yang dilatarbelakangi oleh HDB ini tidak bisa diterapkan sama sekali oleh Ohmyhome. Mereka menerapkan sistem komisi dengan persentase untuk transaksinya karena di Negeri Jiran tersebut, isunya mengenai kepercayaan bukan harga.
Makanya, perusahaan bekerja sama dengan pengembang untuk menemukan calon pembelinya. Sebab pengembang tidak percaya dengan agen dan pembeli tidak percaya agen. Banyak kasus penipuan, unit rumah yang dibeli pembeli lewat agen ternyata ditempati oleh imigran ilegal dan sebagainya. Agen properti di sana konsepnya freelance, rentan dengan risiko penipuan.
Tetap memiliki agen properti
Kendati seluruh back-end sistem Ohmyhome sudah berbasis teknologi, namun perusahaan tetap memerlukan sentuhan manusia dengan menghadirkan agen properti. Mereka secara khusus direkrut, tidak secara freelance, untuk melayani kebutuhan para pembeli.
Agen memiliki peranan yang penting untuk bantu orang dalam mengambil keputusan besar dan menjadi elemen yang tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, membeli rumah bukanlah keputusan yang umum dilakukan setahun sekali. Makanya, peran agen tidak bisa dihilangkan.
“Namun apabila kamu ingin jual rumah ke orang yang sudah dikenal, apakah masih butuh peran agen? Tentunya tidak. Paling agen itu hanya dibutuhkan untuk proses dokumentasinya.”
Race menyebut perusahaan telah memfasilitasi 2.00 unit rumah senilai lebih dari SGD1 miliar. Bila dibandingkan, ada lebih dari 1000 perusahaan agen properti di Singapura. 10 perusahaan teratas, memiliki sekitar 300 sampai 600 agen di tiap perusahaan.
Namun melihat dari jumlah transaksi, Ohmyhome berada di posisi kelima, tapi hanya memiliki 20 agen saja. Padahal, untuk menjual 2500 unit butuh ratusan agen bila dilakukan secara tradisional.
“Kami percaya bisa lebih efisien lagi dengan terus menyempurnakan proses automasi di dalam sistem. Sebab selama ini industri perumahan ini masih tradisional dan manual, butuh proses tatap muka untuk bangun relasi.”
Diklaim secara rerata proses transaksi di Ohmyhome butuh waktu sebulan, ada yang tercepat hanya sehari. Di industri proses beli rumah itu butuh waktu sampai tiga bulan.
Melihat konsep bisnis yang ditawarkan Ohmyhome ini tentunya sangat menarik bagaimana solusi yang ditawarkan sesuai dengan apa yang terjadi di negara tersebut. Semoga di Indonesia, para pemain startup properti bisa lebih inovatif dalam menghadirkan solusinya agar tidak sekadar portal marketplace saja.