Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.
Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.
CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”
DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.
Kesiapan startup
Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.
Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.
Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.
“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”
Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.
“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.
Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.
“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.
Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”
Dukungan perusahaan modal ventura
Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.
CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.
“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.
Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.
“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.
Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.
Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.
“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.
SPAC sebagai jalur go public alternatif
Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.
“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.
SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.
“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”
Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.
“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.