Gelaran Startup Asia minggu lalu dapat dikatakan dipenuhi bahasan tentang e-commerce. Pemberitaan mengenai Tokopedia yang mencetak sejarah sejak perolehan pendanaan dari SoftBank dan Sequoia Capital menepis keraguan tentang investasi di Indonesia. Saat ini dunia juga semakin memerhatikan Indonesia dan mulai membandingkannya dengan India, Brazil, atau Tiongkok. Di tahun 2015, indikator e-commerce Indonesia menunjukkan sinyalemen yang semakin cerah.
Founder Rebright Partners Takeshi Ebihara dalam salah satu panel diskusinya mengatakan bahwa e-commerce merupakan gerbang awal pertumbuhan ekosistem. Bila e-commerce matang, maka bisnis Internet lainnya akan ikut terangkat, termasuk sektor travel, kesehatan, dan lainnya.
Pertumbuhan e-commerce yang matang akan diikuti dengan perkembangan enabler bisnis lainnya, seperti online payment, fullfilment, dan logistik. Kemajuan segmen tersebut akhirnya akan mendorong industri Internet lainnya untuk ikut berkembang.
Redwing memperkirakan nilai pasar e-commerce di Indonesia antara $1 miliar hingga $10 miliar pada 2015. Diprediksikan dalam tiga tahun ke depan pangsa pasar e-commerce Indonesia akan tumbuh sebesar 250 persen.
Pasar e-commerce di Indonesia, bila berbicara soal potensi tentu saja sangat besar. Seminar e-commerce bertajuk “E-Commerce Indonesia Menuju AFTA 2015” yang diselenggarakan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) di Jakarta kemarin (4/12), mengungkapkan bahwa penetrasi Internet Indonesia yang mencapai 74 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 102 juta tahun 2016.
Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, rata-rata penetrasi Internet terhadap total populasi di Asia Pasifik adalah 32 persen. Di Indonesia angkanya masih di kisaran 29 persen. Dari pengguna Internet di Indonesia yang sebanyak 74 juta tersebut, menurut riset idEA hanya 7 persen yang berbelanja online. Bandingkan dengan Tiongkok yang memiliki 32 persen pengguna Internet menghabiskan waktu online dengan berbelanja.
Meskipun demikian, riset juga menunjukkan bahwa orang Indonesia juga sudah mulai nyaman berbelanja produk mahal, seperti gadget dan peralatan rumah tangga, meski fashion masih menjadi primadona yang paling banyak dibeli.
Apakah tahun depan e-commerce di Indonesia akan tetap menjadi primadona? Jawabannya hampir pasti dikatakan iya. Indikatornya adalah pasar yang menjanjikan, peningkatan jumlah pengguna Internet, dan bisnis yang mudah di-scalable.
Pilihan pembayaran secara COD dan transfer antar rekening bank yang masih tinggi menjadi pengganjal karena penetrasi kartu kredit yang masih rendah. Masalah lain yang harus diperbaiki adalah soal logistik. Infrastruktur jalan yang buruk, kurang rincinya peta dan alamat jelas membuat jasa pengiriman barang menjadi menantang.
Di sisi lain, sarana transportasi yang buruk malah berperan untuk mendorong keputusan membeli secara online dibanding harus bersusah payah pergi ke toko.
Indonesia menuju MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
Dalam seminar tersebut juga dibahas tantangan yang akan dihadapi Indonesia memasuki AFTA atau MEA 2015. Pada acara pembukaan seminar, Ketua Umum idEA Daniel Tumiwa mengatakan bahwa para pelaku industri e-commerce jangan hanya melihat hal ini sebagai tantangan, tapi juga sebagai peluang. Pasar bebas akan menyebabkan Indonesia diserbu oleh arus produk, bahkan tenaga ahli dari luar, namun ia juga melihat ini peluang bagi Indonesia untuk memasarkan produknya ke negara-negara tetangga.
Layanan e-commerce muslimah Hijup misalnya, menurut sang pendiri Diajeng Lestari, telah menerima pesanan dari Brunei Darussalam sejak pertama kali meluncur. Diajeng menyebutkan, “Produk kita punya keunikan tersendiri, hal itu merupakan daya jual yang kuat.”
Para pebisnis luar negeri sadar sepenuhnya bahwa untuk bisa sukses di pasar Indonesia mereka harus melokalisasi bisnisnya sesuai dengan selera pasar Indonesia.
Raksasa digital Tiongkok Baidu mengakui pentingnya bekerja sama dengan perusahaan lokal dan merekrut sebanyak mungkin pekerja dari Indonesia. “Saat ini 90 persen dari tim Baidu Indonesia adalah orang Indonesia. Sangat penting untuk bekerja sama dengan developer lokal dan mengikuti selera konsumen lokal,” jelas Managing Director Baidu Indonesia Bob Bao.
Founder dan CEO VIP Plaza Tesong Kim menambahkan hal itu justru merupakan kunci yang bisa menentukan sukses atau tidaknya sebuah bisnis asal asing di Indonesia. “Perusahaan-perusahaan lokal merupakan pihak yang paling mampu untuk memimpin pasar, sebab mereka faham konsumen di sini. Itulah mengapa Baidu bisa mengalahkan Google atau Taobao mengalahkan eBay di Tiongkok,” ungkapnya.