Dark
Light

Menyikapi Polemik Penyedia Jaringan Internet dan Pelaku Layanan OTT

2 mins read
February 28, 2014

Polemik soal apakah seharusnya pelaku layanan Internet Over The Top (OTT) membayar sejumlah biaya kepada penyedia jaringan internet, baik layanan kabel maupun nirkabel/operator seluler, ternyata tidak cuma terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, penyedia layanan streaming video Netflix telah menyetujui pembayaran khusus untuk memperoleh traffic langsung dengan penyedia jaringan Internet kabel terbesar di sana, Comcast. Di Singapura, CEO SingTel baru saja membuat geger dengan usahanya memperoleh biaya dari layanan messaging populer WhatsApp (yang baru saja diakusisi Facebook dengan nilai fantastis) dan Skype.

Kehadiran OTT dari sudut pandang penyedia layanan Internet cenderung menjadi beban dan hambatan ketimbang keuntungan. Pendapatan dari panggilan telepon berkurang, pendapatan dari pengiriman pesan singkat/SMS menjadi sangat berkurang, dan kualitas layanan data selalu dirasa kurang karena layanan-layanan yang haus data terus menggerogoti bandwidth. Penyedia jaringan Internet malah terus “dipaksa” untuk memperbarui kualitas jaringannya, sampai kualitas LTE atau bahkan Gigabit Internet untuk mengakomodasi kebutuhan ini.

Intinya kehadiran layanan OTT telah mengambil “jatah makan siang” penyedia jaringan Internet, tanpa timbal balik yang setimpal. Apakah pendapatan dari langganan data sebanding dengan investasi yang telah dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur?

Banyak pihak yang selalu mengkaitkan net neutrality dalam hal ini dan meskipun saya sesungguhnya setuju dengan prinsip net neutrality, di area abu-abu ini belum ada larangan bagi siapapun yang menginginkan layanannya mendapat prioritas dan insentif dengan kompensasi sejumlah biaya. Bisa dibilang wilayah ini ada pasar freemium — gratis untuk semua, tapi jika ada yang mau membayar untuk kelebihan tertentu ya boleh-boleh saja.

Penyedia layanan Internet memang harus kreatif beradaptasi di era serba cepat ini. Salah satunya adalah membuat layanan OTT-nya sendiri. Layanan VoIP Skype misalnya memperoleh pendapatan terbesar dari pembelian credit untuk penggunaan VoIP ke seluruh dunia. Kenapa operator, meskipun memiliki layanan serupa, tidak mengadopsi langkah yang sama? Apakah mengkapsulasinya menjadi suatu aplikasi bakal membuat konsumen lebih tertarik menggunakannya?

Pun begitu halnya dengan layanan messaging, meskipun operator bisa memberikan paket SMS tanpa batas per bulan dengan harga kompetitif supaya konsumen tidak berpikir dua kali jika ingin menggunakan SMS. Di Amerika Serikat, meskipun layanan messaging berbasis Internet mulai populer, penggunaan SMS masih tetap nyaman karena konsumen yang diberikan fasilitas SMS tanpa batas tidak dipusingkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan jika penggunaan pengiriman pesannya semakin besar.

Langkah lain yang dipuji oleh banyak pengamat adalah bagaimana operator Jepang Softbank melalui perusahaan investasinya banyak mengambil saham perusahaan-perusahaan berbasis Internet yang potensial. Tahun lalu Softbank bahkan menghebohkan dunia industri dengan investasi besar-besarannya di Supercell yang membuat permainan mobile dengan pendapatan terbesar tahun 2013 Clash of the Clans. Dengan memiliki jumlah saham signifikan — bahkan mayoritas — di startup potensial seperti ini, setiap profit dan perolehan dana melalui IPO yang dilakukan oleh startup tersebut bakal mendatangkan pendapatan yang berlipat bagi operator.

Cara lain yang mungkin bisa dicontoh adalah kerja sama Comcast dan Netflix. Netflix yang membutuhkan layanan Internet prima untuk streaming videonya berinisiatif untuk bekerja sama lebih jauh dengan mengambil traffic pelanggan yang menggunakan jaringan Comcast secara langsung, tanpa mengganggu kualitas Internet standar yang sudah ada. Ini suatu bentuk prioritas yang menjadi win-win solution bagi (hampir) semua pihak. Di luar kedua pihak dan konsumen, pasti ada pihak perantara yang “dirugikan” dengan kerja sama seperti ini.

Sangat sulit bagi penyedia jaringan untuk terus-menerus menyalahkan pelaku layanan OTT yang terus mengurangi jatah pendapatannya. Jaman telah berubah dan mereka harus terus mengasah kreativitas supaya tetap relevan dan mempertahankan ARPU (Average Revenue Per User)-nya selama ini. Siapa yang bertahan adalah yang paling kreatif dalam melakukan diversifikasi produk dan investasi.

[Ilustrasi foto: Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

SpeedUp Gandeng Quality One Wireless, Pasarkan Produk ke Amerika Latin dan Utara

Next Story

Layanan Wifi Connection Untuk Nintendo Wii dan DS Akan Ditutup

Latest from Blog

Don't Miss

WhatsApp Kembangkan Fitur AI untuk Membuat Avatar

Rencana Meta dalam mengintegrasikan AI generatif ke dalam berbagai produknya

Pesta Hadiah IM3 2023 Digelar, Hadirkan Lebih Banyak Hadiah

Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) melalui merek IM3 telah