Perusahaan startup berkonsep budidaya makhluk hidup kini makin menunjukkan geliatnya di Tanah Air dengan berbagai macam variasinya. Kini muncul IWAK, sebuah platform digital yang menghubungkan investor dengan keluarga pembudidaya ikan lele. Kondisi terkini IWAK, sedang mengalami kelebihan investor. Calon investor pun kini diharuskan rela mengantre di daftar tunggu.
Dalam laman IWAK diumumkan pendaftaran investor baru ditutup untuk sementara tertanggal 5 Juli – 15 September 2016. Investor yang ingin masuk ke daftar tunggu diwajibkan untuk mengisi data diri dalam link yang disediakan.
Seperti dikutip dari portal berita Kedaulatan Rakyat, Rushan Faizal, pendiri IWAK, menceritakan sudah ada 50 investor yang sudah terdaftar dalam waiting list. Alasan pihaknya menutup sementara dikarenakan IWAK tengah melakukan pengembangan sistem dan manajemen.
Terhitung, per tahun lalu jumlah investor yang sudah bergabung mencapai 279 orang. Hasilnya 68 kolam ikan telah terpasang dan 15 keluarga petani hidup sejahtera. Secara nilai investasinya, pada Maret 2016 telah mencapai 500 juta Rupiah. Sementara itu, per Juli 2016 nilainya telah mencapai 900 juta Rupiah.
IWAK menargetkan sampai akhir tahun ini pihaknya bisa membangun 100 kolam dan mengelola dana investor sebesar 1,5 miliar Rupiah. Ditambah, ingin mengembangkan diri untuk budidaya ikan jenis lain di luar lele.
Kondisi ini terbalik bila dibandingkan saat IWAK baru pertama kali digagas oleh Rushan dan Hestyriani Anisa bersama tiga temannya mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) sekitar setahun lalu. Pada saat itu, dia mengaku sulit sekali menemukan investor mengingat statusnya masih sebagai mahasiswa.
Konsep awal yang ia tawarkan ke calon investor adalah sharing economy, menghubungkan orang yang punya lahan dengan investor, namun banyak menemui kebuntuan. Akhirnya mereka mulai menjaring investor dari kalangan keluarga sendiri dan tim IWAK hingga terkumpullah modal awal 30 juta Rupiah.
Rushan menjelaskan, komitmen yang diberikan kepada investornya adalah transparansi. Setiap hari dikirimkan SMS mengenai waktu pemberian makan, kondisi ikan, persediannya, dan lain-lain. Kemudian, tim IWAK juga menawarkan teman-temannya sebagai investor baik lewat jalur media sosial tapi hasilnya belum memuaskan.
Cara lain akhirnya ditempuh dengan cara door to door. Berbagai tanggapan pun diterima, ada yang hanya memuji, curiga takut dikira ingin menipu. Dari pengalaman tersebut, akhirnya IWAK bisa memilah investor yang potensial.
“Investor IWAK rata-rata adalah anak muda yang baru mulai bekerja dan ingin investasi. Mereka tertarik berinvestasi di kami karena minimal investasinya hanya 150 ribu Rupiah. Selain itu, mereka juga tertarik karena visi misi kami bukan semata mencari uang tapi karena ada keluarga yang harus dibantu,” ujar Anisa.
Dia menjelaskan, sistem bisnis IWAK adalah bagi hasil antara investor, petani dan IWAK sebagai pengelola. Persentasenya 50% untuk petani, 40% untuk investor, dan 10% untuk IWAK.
Untuk menjaga kredibilitas IWAK dimata investor, IWAK menyediakan laporan harian secara real time tentang kolam mereka masing-masing, keluarga petani, operator, besaran investasi, kondisi kolam, dan laporan keuangan secara transparan. Seluruh informasi bisa diakses melalu situs IWAK.
Ide awal IWAK
Ide awal mendirikan IWAK, sambung Rushan, terjadi saat dia sedang berkunjung ke rumah pamannya di Nganjuk, Jawa Timur. Di sana banyak sekali lahan kosong yang tidak dimanfaatkan. Sedangkan, segi kesejahteraan masyarakatnya sangat kurang. Dari situ, muncullah ide untuk membuat usaha rintisan berupa kolam portbale ikan lele. “Ikan lele dipilih karena mudah perawatannya dan cepat panennya,” kata Rushan.
Dengan ilmu yang ia dapat dari bangku kuliah jurusan Ilmu Komputer UGM, ia ingin melakukan hal yang tak sekedar bisnis saja tapi juga memiliki manfaat untuk orang yang membutuhkan. Terciptalah sensor yang bisa mengukur suhu kolam, Ph, hingga pemberian pakan secara otomatis.
Selain IWAK, di Indonesia juga ada perusahaan startup serupa berkonsep budidaya, yaitu iGrow. iGrow memiliki misi mengembangkan pertanian secara organik secara global. Platform ini memungkinkan orang-orang dapat bertani tanpa harus memiliki lahan atau keahlian bercocok tanam.
[Baca Juga: Platform Pembangun Pertanian Organik iGrow Bukukan Pendanaan Awal dari East Ventures dan 500 Startups dan iGrow Mudahkan Masyarakat Berinvestasi di Pertanian]
iGrow bekerja langsung dengan petani dan pemilik lahan. Pengguna mendaftar, memilih lahan dan pohon, lalu menginvestasikan sejumlah uang untuk proses pertanian. Kemudian, lahan digarap dan saat panen tiba dijual hasil produksinya. Hasil penjualan dibagi dengan persentase 40% untuk pengguna layanan, 40% untuk rekanan pengelola kebun, dan 20% untuk iGrow.
Kini sudah lebih dari 800 pengguna yang berinvestasi di iGrow dengan empat lahan luas di Jawa dan Bali.