Belum lama ini, saya bertemu salah satu rekan saya yang bekerja di perusahaan produk kosmetik dan perawatan diri asal Prancis. Pekerjaannya mengurus supply-chain, termasuk memikirkan distribusi produk melalui toko ritel dan e-commerce. Dengan intensitas transaksi yang cukup tinggi di online marketplace, rekan saya tadi sesumbar tidak memerlukan anggota tim berjumlah banyak. Pasalnya layanan e-commerce enabler memudahkan bisnisnya untuk mengelola keperluan tersebut, bahkan secara menyeluruh.
Konsep awal e-commerce enabler untuk memudahkan brand principal masuk ke ranah online. Melalui dasbor tunggal, mereka dapat mengelola kehadiran produknya di beberapa layanan online marketplace sekaligus. Tidak hanya itu, beberapa startup bahkan sampai menyediakan solusi fulfillment. Di dalamnya termasuk solusi pergudangan, pengemasan, hingga logistik. Alih-alih hanya sebagai kanal transaksi, e-commerce enabler telah menjadi solusi end-to-end sampai ke proses distribusi.
Masih soal pengalaman rekan saya di atas, pendekatan digital memudahkan perusahaannya untuk mendapatkan data-data tren transaksi, dikatakan itu sangat bermanfaat untuk analisis bisnis. Misalnya, untuk membantu brand principal menghadirkan promo untuk produk-produk yang belum mencapai target penjualan – di tahap ini pun bahkan mitra enabler yang dipakai rekan saya tersebut turut membantu merumuskan strateginya.
Bisa jadi rekan saya itu hanya satu dari banyak pengelola brand (besar) di Indonesia yang merasakan manfaat layanan e-commerce enabler. Ketika melihat daftar klien lewat situs-situs penyedia platform terkait, memang banyak brand besar yang sudah memanfaatkan layanannya, termasuk FMCG, fesyen, bahkan furnitur.
Ekosistem logistik
Dalam laporan bertajuk “Tech Logistics in SEA” dijelaskan mengenai ekosistem logistik yang mendukung bisnis e-commerce saat ini. Layanan yang dibutuhkan sangat beragam, terlebih jika berbincang tantangan spesifik di suatu wilayah. Contohnya di Indonesia, yang secara geografis adalah negara kepulauan, kadang mengharuskan minimal 2 mode transportasi yang digunakan untuk pengiriman, misalnya darat-laut atau darat-udara.
Tantangan tersebut selanjutnya diterjemahkan pemain startup sebagai kesempatan. Beberapa platform akhirnya meluncur dengan layanan yang lebih spesifik, misalnya manajemen kendaraan logistik truk atau kapal. Dengan potensi pendapatan yang menarik, raksasa e-commerce Indonesia mulai mencoba mengupayakan solusi menyeluruh tersebut secara mandiri, misalnya yang dilakukan Tokopedia lewat visi IaaS-nya atau Shopee lewat layanan “Dikelola Shopee”.
Tuntutan pelanggan juga mendorong transformasi sistem logistik e-commerce. Menurut survei yang dilakukan PwC pada tahun 2018, dikemukakan fakta bahwa 51% konsumen lebih memilih pengiriman di hari yang sama (same day delivery) untuk item-item yang mereka beli. Bahkan 74% konsumen rela membayar lebih untuk mendapatkan proses pengiriman cepat tersebut.
Di kota tier-1, khususnya wilayah Jabodetabek, model tersebut sudah cukup masif diimplementasikan pemain e-commerce yang bekerja sama dengan penyedia jasa last-mile delivery. Tantangan baru muncul setelah berbicara pengiriman di kota tier-2 dan tier-3. Jarak tempuh dan keterbatasan pelayanan ekspedisi membuat model sehari sampai belum merata.
Pusat pemenuhan (fulfillment center) yang ditempatkan di wilayah strategis dapat mengakselerasi pemerataan pengiriman sehari sampai. Pengembangannya tentu harus dibekali dengan data-data yang sangat komprehensif, untuk menentukan titik dan juga membantu brand principal menentukan produk apa yang akan “di titipkan” di gudang-gudang pihak ketiga tersebut. Di sisi lain, platform manajemen logistik juga berlomba membangun sistem route planning kendaraan logistik dapat bekerja lebih efisien.
Tren pebisnis
Awalnya, platform online marketplace dihadirkan untuk memfasilitasi transaksi customer to customer (C2C). Namun penetrasi internet berhasil mendongkrak secara signifikan pengguna e-commerce di seluruh negara. Mau tidak mau, brand (besar) pun harus memikirkan ulang strateginya, dengan mencoba memanfaatkan kanal-kanal distribusi lewat online. Hasilnya efektif, bahkan terus ditingkatkan kehadiran brand tersebut di online marketplace.
Riset bertajuk “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” mengemukakan data-data menarik. 86% respondennya, yang merupakan merchant e-commerce, mengatakan menjual dagangannya di lebih dari satu kanal. Tidak sedikit juga yang menjual melalui media sosial. Di waktu mendatang, 69% merchat berencana terus meningkatkan kanal-kanal penjualan online untuk meningkatkan potensi. Pemanfaatan sistem fulfillment akan menjadi salah satu jurus yang dilakukan.
Banyak faktor yang akan meningkatkan relevansi pemain enabler dan fulfillment. Masih dari riset yang sama, merchant memiliki banyak alasan untuk mempercayakan layanan tersebut ke pihak ketiga. Keahlian, teknologi, layanan pelanggan, dan kapabilitas untuk mengelola multi-kanal menjadi yang paling banyak disampaikan.
Terlepas dari praktik bisnis yang dilakukan, pola-pola tersebut secara tidak langsung mengubah tatanan e-commerce. Jika sebelumnya C2C diidentikkan dengan pembelian ke merchant individu atau UKM, sekarang brand besar pun mulai turut andil. Bahkan secara masif akan melampaui. Kami belum menemukan survei konsumen yang memvalidasi ini, tapi setidaknya sudah ada pola-pola yang mengarah ke sana. Misalnya, adanya kanal khusus di e-commerce yang didedikasikan untuk brand principal (misalnya LazMall, ShopeeMall, BukaMall, TokoMall) atau fitur yang memudahkan pengguna menyaring produk yang dijual brand pincipal.
Sekitar era awal pertumbuhan e-commerce, mungkin kita sempat melihat adanya tren perusahaan yang berbondong-bondong bikin e-commerce mereka sendiri. Namun jika melihat statistik kunjungannya, sepertinya sistem online marketplace cenderung lebih cocok diadopsi untuk menjangkau pangsa pasar online. Untuk pengelolaan stok dan pemenuhan, solusi pihak ketiga juga terus terdorong naik.
Beberapa waktu terakhir, pemain e-commerce enabler mulai perluas layanan mereka ke sistem fulfillment. Yang terbaru ada TokoTalk yang baru mengenalkan layanannya. Sebelumnya ada Sirclo, GudangAda, Jet Commerce yang juga makin menguatkan sistem fulfillment mereka.
Fase selanjutnya: cross-border?
Di tingkat lokal di suatu negara, mungkin sistem enabler dan fulfillment yang ada sekarang sudah mencukupi. Namun sekat-sekat perdagangan yang mulai kabur mendorong merchant maupun brand principal untuk mulai melakukan cross-border commerce atau perdagangan lintas negara. Di Asia Tenggara, beberapa platform sudah mencoba hadir memfasilitasi kebutuhan tersebut, misalnya aCommerce, Boxme, Anchanto, Janio, Perpule, dan Qxpress.
Potensi tersebut dilihat baik, termasuk oleh investor. Salah satunya MDI Ventures yang cukup intensif memberikan dukungan untuk Anchanto. Anchanto menyediakan produk berbasis SaaS yang memudahkan bisnis mengelola operasional e-commerce. Di dalamnya termasuk sistem pengelolaan warehouse dan inventory. Saat ini mereka sudah beroperasi di Singapura, India, Malaysia, Filipina, Australia, Korea Selatan, dan Indonesia.