Judul di atas awalnya muncul ketika saya iseng membuat pertanyaan sambil mencoba layanan polling online, namun saya pikir pertanyaan tersebut relevan untuk ditanyakan dan menjadi tulisan tersendiri. Ada beberapa alasan yang membuat saya ingin untuk membahasnya menjadi artikel, pertama adalah perkembangan yang terjadi di universitas, pendekatan brand atas developer serta obrolan singkat saya dengan Dr. Serkan Toto, yang beberapa waktu lalu datang ke Bandung.
Pertanyaan tersebut bisa jadi menjadi pertanyaan klasik, dalam arti sering ditanyakan pada Anda, sebagai pelaku startup, developer atau mahasiswa yang sedang bersiap menyelesaikan masa studi. Mana yang menjadi pilihan, mendirikan atau bekerja di startup (perusahaan baru) atau bekerja di perusahaan teknologi/internet besar yang sudah established?
Rama, beberapa waktu lalu menuliskan tentang peran yang harus ditingkatkan dari Universitas untuk mendukung lahirnya wirausaha atau pebisnis (dibidang teknologi web, internet dan mobile) dengan salah satunya mengubah pola pikir dari mencari pekerjaan menjadi menciptakan pekerjaan.
Universitas memberikan peran penting karena di sanalah sebagian besar usia produktif dalam berkarya berada, memang banyak juga pendiri startup yang tidak datang dari wilayah universitas dalam arti yang tidak atau keluar dari jenjang pendidikan, namun universitas tetap menjadi pilihan paling besar dalam menuntut ilmu dan mempersiapkan dalam menggunakan usia produktif dari masyarakat Indonesia. Perusahaan teknologi yang bergerak di bidang mobile juga internet sudah dan terus mengelola hubungan mereka dengan para mahasiswa untuk mendapatkan lulusan atau orang terbaik bagi perusahaan mereka.
Sebagai contoh BlackBerry yang mulai mengadakan developer event di Kampus (ITB) dan akan terus menjalankan program ini, Nokia juga sudah dan terus mengadakan event di kampus, Blaast – cloud-powered mobile platform – juga mendekati komunitas dan mahasiswa dalam memperkenalkan produk mereka, belum lagi Microsoft dan perusahan lain. Berbagai event dengan ‘genre’ web – internet – mobile juga menyasar para mahasiswa sebagai market, karena di sinilah sebagian besar developer berada.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah para mahasiswa ini mau mendirikan startup atau bekerja di perusahaan besar dan mapan? Sejauh yang saya tahu, beberapa universitas telah memiliki acuan dan strategi sendiri dalam mendorong wirausaha di lingkungan kampus mereka, berbagai program termasuk inkubasi, sesi sharing, kuliah umum yang mendatangkan praktisi terus dihadirkan. Namun, bisa jadi hanya beberapa dari universitas yang menjalankan hal ini dan penerapannya pun belum terlalu masif atau masih dalam tahap pengembangan jadi masih belum tampak menarik bagi mahasiswa untuk memulai usaha mereka sendiri.
Masalah modal, pengalaman dan stigma juga bisa menjadi hambatan, bahwa membuat usaha atau bekerja di startup mempunyai masa depan yang lebih tidak aman dari bekerja di perusahaan mapan/besar.
Padahal jika kita berbicara kualitas, developer Indonesia sama sekali tidak buruk, malah termasuk yang dicari oleh investor, startup atau perusahan mapan. Saya sendiri sering ditanya, oleh startup yang berdomisili di luar Indonesia, mereka mencari developer lokal untuk mengembangkan startup yang mereka dirikan, yang berarti kualitas developer kita bagus.
Kondisi tentang pilihan bekerja atau mendirikan startup dan bekerja di perusahaan besar atau mapan juga menjadi hal yang menarik di Jepang, Dr. Serkan Toto dalam obrolan santai menjelaskan bahwa di Jepang mahasiswa atau developer di sana lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan besar, sehingga banyak dari startup asal Jepang yang mencari karyawan dari luar Jepang karena mereka sangat kekurangan developer. Bisa jadi ini mirip juga dengan kondisi di Indonesia beberapa tahun lalu, namun saya pikir sudah semakin bergeser karena pilihan untuk membuat usaha sendiri semakin menjadi pilihan di sini.
Iming-iming fasilitas juga menjadi salah satu strategi bagi perusahaan besar/mapan dalam merekrut orang terbaik untuk bekerja bersama mereka, dalam sebuah diskusi di acara Echelon 2011 kemarin, Michael Smith dari Yahoo! juga secara jujur mengatakan bahwa berbagai fasilitas, selain gaji, seperti suasana kerja yang kreatif, alat permainan, dan lain sebagainya menjadi daya tarik dalam mendapatkan pekerja potensial.
Namun jika dilihat dari sisi lain perusahaan besar atau mapan juga memberikan manfaat berupa pengalaman, mereka yang ingin mendirikan startup bisa menimba pengalaman bekerja di perusahaan besar sebelum mendirikan atau bekerja di startup.
Mendirikan startup, sebagai usaha baru memang tidak semudah yang dibayangkan, saran saya jangan terlena dengan entry barrier yang mudah, startup adalah sebuah bisnis yang perlu strategi untuk bertahan, meskipun strateginya untuk exit.
Bisa jadi ini tentang pilihan, artinya tergantung dari pribadi masing-masing untuk memilih apakah akan mendirikan atau bekerja di startup atau memilih untuk mengembangkan karir di perusahaan mapan atau besar, namun saya sendiri lebih melihat dari sisi kemandirian dan wirausaha dan tentu saja peluang untuk menciptakan pekerjaan bagi orang lain, selain tentu saja peluang yang bisa didapatkan dari sisi bisnis. Banyak peluang bisa dihasilkan dari pemecahan masalah yang bisa jadi tidak dilihat oleh perusahaan besar.
Atas dasar beberapa alasan tersebut saya lebih memilih untuk bekerja dan membangun startup, bagaimana dengan Anda?
Artikel yang menarik. Pertanyaan ini juga sering saya diskusikan dengan teman-teman kuliah, baik saat di kampus, maupun sekarang. Bekerja di perusahaan besar adalah impian sebagian besar mahasiswa, apalagi saat kami kuliah perusahaan-perusahaan tersebut sering mengadakan kompetisi, memberi beasiswa, memberi kesempatan internship, dan sebagainya. Sangat sulit menjawab pertanyaan mengapa kita harus membuat start-up saat itu.
Jawaban yang paling meyakinkan buat saya adalah ‘show’ bukan ‘tell’. Harus ada lebih banyak success story dari berbagai startup, terutama yang berasal dari lingkungan yang dekat dengan para mahasiswa, misalnya senior atau alumni.
Untungnya, ekosistem startup di Indonesia sekarang semakin membaik. Entrepreneurship juga sudah jadi istilah yang cool, paling tidak di kampus saya kuliah. Tapi butuh waktu untuk bisa seperti Stanford, di mana bekerja untuk start-up, atau malah membuat start-up sendiri, lebih cool dari pada yang bekerja di perusahaan besar.
Pada akhirnya, saya selalu respect dan salut sama para founder start-up yang berani memulai dan menjadi inspirasi buat calon founder start-up lainnya, juga buat yang berani meninggalkan pekerjaan utamanya di perusahaan multinasional untuk membesarkan start-up. They’re definitely cool! 🙂
gw pernah baca di satu artikel, seorang dosen amerika bertanya ke siswa2nya di singapura, “berapa orang di antara kalian yg berminat jadi entrepreneur?” dan ada beberapa orang, tidak sampai sepuluh, dari 60 siswanya, yg mengacungkan tangan.
dosen ini bisa dibilang kaget, karena kultur asia ternyata berbeda dg di negaranya. di amerika, dia bilang, bakalan ada 61 orang yang mengacungkan tangan. orang yg lagi ada di hallway bakal lari ke ke kelas hanya untuk mengacungkan tangan.
dan keliatannya di indonesia lebih parah lagi. di amerika 12% warganya adalah entrepreneur, sementara di indonesia cuma 0,2%. there’s still a lot of work to be done to make this country a country of entrepreneurs.
wkwkwk… harus mengedit draft artikel nih, beberapa poin yang dibahas sama 😀
Untuk artikel ini saya merekomendasikan artikel2 dan buku dari Paul Graham.
Karena startup harus dibangun oleh maksimal 2 orang, paling tidak pada awalnya.
Dan ini membutuhkan jiwa-jiwa expert.
Expert itu diusahakan, bukan bakat lahir.
Tambahan
Saya yakin sekali Anda sudah paham betul mengenai Small is The New Big.
Nah untuk benar2 merealisasikannya kita butuh orang2 expert.
Kenapa? karena Small is The New Big berarti Anda memulai dari kecil, atau bahkan sendirian.
Keuntungan dari menjadi kecil tentu saja bisa bergerak cepat, fleksible, dan rendahnya biaya memulai.
Ini adalah cara terefektif untuk berkompetisi dengan perusahaan2 besar, yaitu menjadi expert.
Istilahnya : Uang vs Expert.
Jika Anda tidak expert Anda memerlukan lebih banyak uang, thats it.
Dan ini membutuhkan jiwa2 expert.
Itulah alasan saya mengapa saya sangat sangat merekomendasikan buku2 Paul Graham.
Bisa kasih tahu ke kita judul buku nya apa kk? 😀
Judulnya : Hackers and Painters –Paul Graham
Atau situsnya Paul Graham . Dan ikuti semua link-nya.
Atau baca semua postingan Joel Spolsky dan ikuti semua link-nya.
Baca semua postingan Derek Sivers dan buku referensininya dan review setiap bukunya oleh Derek.
Baca semua dokumentasi dari situs2 resmi.
Baca semua posting setiap blog yang Anda anggap bagus, dan jg podcastnya.
Tapi jangan percaya sepenuhnya 😛
Misal di podcast 37Signals “programming roundetable” programmernya Matt bilang “Apa ada yang menggunakan PC?”
“Oh tidak.. jika ada yang menggunakan PC dia akan dipecat.”
Ya ini hanya gurauan orang2 fanatik Mac.
Ada sebuah kutipan dari Mark Cuban :
“Everything I read was public. Anyone could buy the same books and magazines.
The same information was available to anyone who wanted it. Turns out most people didn’t want it.”
Percayalah bahwa kutipan itu benar 100%. Itu terjadi dimana-mana. Jangan menjadi pengikut mahasiswa yang bangga karena dia tidak belajar sebelum ujian. Tidak ada yang membanggakan dari mahasiswa yang malas membaca dan praktek.
Expert butuh latihan dan melewati kesalahan.
Baca juga buku referensi Derek : Talent Code –Daniel Coyle
Saran terakhir : Jika tidak ada bukunya di toko buku… ya download 😛
Jika ada bukunya di toko buku saya lebih baik membeli, tapi jika tidak, saya tetap harus punya.
Dipermudah sedikit pertanyaannya: Mampukah saya mendirikan startup saat ini? (kalau iya jawabannya panjang, kalau tidak ada pilihan lainnya)
Saya setuju bahwa success story itu perlu. Sederhananya begini, seorang dengan orang tua pengusaha akan lebih memilih mendirikan usaha pula. Nah kalau sangat sedikit cerita sukses? Kebanyakan akan cari aman seperti saya 🙁
i wanna leave legacy for my son, that’s why i built my won business 🙂
success story! ini juga menjadi saran untuk beberapa kolega yang menanyakan ‘program apa yang harus saya lakukan selanjutnya.’ menemukan role model bisa jadi adalah problem tersendiri tetapi jika telah menemukan bisa menjadi salah satu cara untuk memompa semangat.
sepertinya para alumni yang sukses juga harus mulai ‘kembali’ ke kampus mereka dan berbagi kisah.
Sudah terlanjur keluar.. Action sendiri sadja :))
nice post..