Dark
Light

Permintaan Restrukturisasi Hutang yang Membayangi Industri P2P Lending di Indonesia

by
2 mins read
April 14, 2020
Permintaan Restrukturisasi Hutang yang Membayangi Industri P2P Lending di Indonesia

Aktivitas bisnis di Indonesia telah melambat secara drastis bahkan berhenti sepenuhnya di beberapa sektor ketika Covid-19 mulai melanda seluruh negeri. Platform pinjaman peer-to-peer (P2P) kini dihadapkan dengan permintaan restrukturisasi hutang.

Ketua Asosiasi Pemberi Pinjaman Fintech Indonesia (AFPI), Adrian Gunadi, mengatakan kepada KrASIA bahwa sekitar 50% dari anggota organisasi, atau sekitar 80 platform pemberi pinjaman P2P, telah menerima permintaan restrukturisasi. “Asosiasi meminta platform untuk memfasilitasi komunikasi yang baik antara peminjam dan pemberi pinjaman,” ujar Gunadi, mereka tidak dapat mengambil keputusan sepihak terkait restrukturisasi karena dana pinjaman diajukan oleh investor dan pemberi pinjaman, bukan semata-mata wewenang platform itu sendiri.

Perusahaan Gunadi sendiri, Investree, di mana ia menjabat sebagai CEO dan salah satu pendiri, telah berdiskusi dengan tiga pemodal perusahaan yang menyalurkan kurang lebih Rp2 miliar (USD 127.500). Para peminjam adalah bagian dari sektor-sektor yang terkena dampak pandemi langsung — distribusi FnB ke hotel-hotel, konsumen FnB, dan ritel.

“Kami sedang mempertimbangkan beberapa opsi untuk meringankan beban pembayaran peminjam, baik dengan memberikan diskon pembayaran atau memperpanjang jangka waktu angsuran pinjaman. Namun, keputusan ada di tangan pemberi pinjaman,” kata Gunadi.

Didukung oleh perpanjangan tangan investasi MUFG dan BRI Ventures, Investree mengklaim bahwa pihaknya telah mengurangi risiko kredit macet dengan memanfaatkan perlindungan asuransi kredit terhadap pembayaran yang tertunda. Namun, Gunadi mengharapkan usulan yang lebih tinggi untuk pinjaman dari sektor-sektor yang berkaitan dengan perawatan kesehatan dan telekomunikasi.

Demikian juga, beberapa peminjam perusahaan telah berupaya merestrukturisasi hutang untuk pinjaman yang telah mereka ambil di KoinWorks, sebuah platform fintech yang didukung oleh Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan Convergence Ventures (sebelum bergabung dengan Agaeti Ventures). Debitor ini mengoperasikan bisnis yang berhubungan dengan pariwisata, dan jumlah pinjaman jatuh dalam kisaran Rp 200-300 juta (USD 12.700–19.100).

“Kurang dari 5% dari total peminjam kami terkena dampak langsung oleh pandemi. Namun, kami masih menghitung jumlah peminjam yang mengusulkan restrukturisasi, “Frecy Ferry Daswaty, wakil presiden pemasaran di KoinWorks, mengatakan kepada KrASIA.

Daswaty mengatakan bahwa KoinWorks telah memperpanjang periode pembayaran pinjaman untuk mengurangi tekanan pada peminjam. Dalam satu kasus, tenor tiga bulan disusun kembali menjadi jadwal angsuran 12 bulan. KoinWorks akan terus menilai permintaan untuk penyesuaian di antara peminjam mereka.

Dalam rangka menghindari tunggakan (default) oleh peminjam baru, platform ini semakin memperketat persyaratannya. “Kami akan melakukan wawancara telepon atau bahkan panggilan video dengan calon peminjam kami untuk menganalisis laporan keuangan dan penjualan mereka, serta strategi bisnis mereka selama situasi pandemi ini,” jelas Daswaty.

Modalku, sebuah platform pinjaman yang didukung oleh Sequoia Capital dan JWC Ventures, juga semakin ketat dalam proses aplikasi pinjamannya bagi calon peminjam di F&B, industri perjalanan, perdagangan lintas negara, dan industri jasa yang bergantung pada tenaga kerja dari negara-negara yang terkena dampak di Asia Tenggara .

“Modalku akan merespons lebih cepat terhadap situasi ekonomi dengan menyesuaikan batas jangka waktu kredit dan pinjaman. Ini akan disesuaikan dengan jenis pinjaman dan masing-masing profil bisnis, kasus per kasus,” Reynold Wijaya, salah satu pendiri dan CEO Modalku, mengatakan kepada KrASIA melalui pesan teks, menambahkan bahwa ia juga telah berdiskusi dengan beberapa peminjam yang mengusulkan restrukturisasi.

Analis memperkirakan bahwa lembaga pemberi pinjaman — digital atau lainnya — akan terus menerima permintaan yang sama seiring pandemi COVID-19 yang kian menyebar.

Pinjaman UKM paling terdampak

Di antara pinjaman yang dikeluarkan pada platform P2P di Indonesia, 3,92–3,98% macet pada Januari dan Februari, menurut Otoritas Jasa Keuangan Indonesia. Tanpa penyesuaian signifikan terhadap pengaturan pembayaran, angka itu mungkin melonjak dalam beberapa minggu mendatang.

Alvin Cahyadi, rekan investasi di AC Ventures, mencatat bahwa semua jenis pinjaman fintech, baik yang berfokus pada konsumen atau yang berfokus pada UKM, akan mengalami berbagai tingkat restrukturisasi hutang. Namun, dampaknya akan lebih besar pada sisi yang berfokus pada bisnis, karena ukuran pinjaman umumnya jauh lebih besar daripada yang untuk keperluan pribadi.

Menurut Cahyadi, jumlah pencairan akan turun sementara lebih banyak orang mencari pinjaman untuk menjembatani periode kesulitan keuangan.

Pemerintah Indonesia telah menggulirkan pemotongan pajak dan stimulus pinjaman mikro sebesar Rp70,1 triliun (US $ 4,4 miliar), tetapi kebijakan ini tidak akan mencakup bantuan untuk platform fintech.

“Sulit bagi perusahaan fintech untuk mengajukan restrukturisasi hutang karena aplikasi fintech hanyalah agregator pinjaman dari pemberi pinjaman kepada peminjam. Mereka tidak memiliki wewenang untuk memberikan diskon untuk hutang yang sedang berlangsung. Opsi yang dapat diberikan fintech adalah memberikan potongan bunga untuk pinjaman baru atau pinjaman yang belum disetujui oleh pemberi pinjaman,” ujar Naila Huda, seorang peneliti di Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

KooBits Mulai Sediakan Konten Berbahasa Indonesia
Previous Story

Matangkan Ekspansi, Startup Edtech KooBits Mulai Kembangkan Konten Berbahasa Indonesia

PMCO Eropa ditunda
Next Story

Masalah Jaringan, Pertandingan Final PMCO Eropa Ditunda

Latest from Blog