Ada satu perdebatan menarik yang pernah terjadi antara saya dengan istri. Tatkala sang istri memiliki hobi seperti kaum hawa pada umumnya yang gemar belanja pakaian baru setiap waktunya, saya pun sempat memberikan saran kepadanya kalau kenapa tak mencoba saja belanja pakaian yang ia suka melalui berbagai situs e-commerce fashion yang banyak kita kenal saat ini.
Tanggapan yang saya peroleh ternyata juga menarik, menurutnya terlepas dari kemudahan yang akan ia peroleh ketika berbelanja pakaian di situs-situs semacam Zalora, BerryBenka, PinkEmma, dan lain sebagainya, rupanya ada beberapa hal yang tak bisa tergantikan, seperti misalnya ada pengalaman mencoba pakaian langsung di ruang ganti, berdesak-desakkan ketika sedang ada gelaran diskon, sampai bernegosiasi harga dengan si penjual pakaian. Hmm, alhasil saya pun sempat berfikir, perlukah situs e-commerce membuka toko fisik (offline) agar bisa menarik pengalaman belanja yang sama?
Dalam konteks ini, saya tertarik membahas salah satu situs e-commerce fashion terbesar di Indonesia yakni, Zalora. Dengan berada di bawah induk perusahaan Rocket Internet yang ternyata hingga kini belum berhasil jadi perusahaan e-commerce terdepan di Indonesia, Zalora cukup dikenal oleh khalayak pebelanja online Indonesia secara luas. Waktu kemunculannya pertama kali di Indonesia, Zalora pun sempat rajin beriklan di televisi, dan dari waktu ke waktu, platformnya kian matang dan sempat sukses pula meraup performa bisnis yang meyakinkan dari ranah mobile. Terakhir, Zalora sempat dikabarkan bakal membuka offline store-nya di bilangan Blok M, Jakarta Selatan.
Walau tak ada informasi pasti mengenai kapan Zalora akan membuka toko fisiknya yang konon akan berlokasi di salah satu plaza yang lumayan lawas di Jakarta, Zalora mungkin akan menjadi pemain digital kedua, setelah pemain e-commerce fashion serupa yakni ShopDeca yang lebih dulu memutuskan untuk membuka toko fisik demi meningkatkan awareness pasar dan tentu performa bisnisnya.
Di pasar e-commerce Indonesia, nama Zalora jelas jauh lebih besar ketimbang ShopDeca, setidaknya ini berdasarkan pantauan singkat di platform Alexa yang menempatkan Zalora pada posisi ranking 108, dan ShopDeca yang hanya bisa bertengger di ranking 3135. Lalu sebenarnya apakah perlu bagi Zalora yang sudah sedemikian rupa tersebut untuk membuka toko fisiknya di Jakarta?
Tekad Zalora sendiri saat ini untuk memiliki wujud toko fisik sepertinya sudah mulai bulat. Di Singapura, Zalora pun telah resmi hadir sebagai toko fisik yang memajang jejeran gantungan pakaian dan meja kasir di kawasan shopping centre, ION Orchard. Walau hanya berwujud sebagai pop store dan hanya akan buka sampai Januari tahun depan, kehadiran toko Zalora ini bisa mengindikasikan bahwa Zalora benar-benar serius bakal menjalankan bisnis offline store-nya.
Saya yakin, tak ada alasan lain selain pihak Zalora ingin memacu segala kepentingannya, seperti aspek kepercayaan konsumen, customer acquisition, dan mungkin bahkan ingin mengenalkan lebih jauh perihal produk in-house dari Zalora bernama Ezra yang sempat diluncurkannya beberapa waktu lalu. Pun demikian, hal serupa ternyata sempat diungkapkan oleh pihak Zalora sendiri yang ternyata juga mengingkatkan saya akan pernyataan istri yang sempat saya bahas di atas.
Seperti dalam blog yang dimuat di situs Wall Street Journal, Tito Costa, Regional Managing Director Zalora mengatakan, konsep dasar pengembangan toko fisik Zalora (di Singapura) sebenarnya simpel, ingin memberikan pengalaman belanja produk fashion yang mungkin “hilang” saat berbelanja secara online, sekaligus sebagai upaya sosialisasi tren e-commerce.
“Idenya adalah, Anda dapat merasakan produknya, mencobanya, dan membelinya dari toko, kemudian produk tersebut akan dikirimkan ke rumah. Ada banyak orang yang belum familiar dengan Zalora atau bahkan e-commerce. Zalora store mempermudah kami untuk menarik minat pelanggan,” ujar Tito dikutip dari sumber yang sama.
Jika berpegangan pada strategi yang dikatakan Tito tadi, semestinya pembukaan offline store Zalora bisa menjadi inspirasi tolak ukur bahwa pebisnis online tak melulu melakukan aktivitas yang juga online. Toh, saya sendiri juga meyakini bahwa toko fisik Zalora ini bisa menjangkau pasar di berbagai tingkat ekonomi di Indonesia, sembari juga diharapkan bisa mengisi ruang kosong pemasaran internet yang baru menyentuh sepertiga jumlah penduduk Indonesia.
Saya tak ingin muluk-muluk jika langkah ini mungkin saja bisa diikuti oleh pebisnis e-commerce lainnya. Selain proses riset pasar yang jauh berbeda dengan pemasaran online, investasi dana yang tak sedikit dan budget return yang tak sebentar, langkah persis seperti yang dilakukan Zalora ini sebaiknya dipikirkan secara matang terlebih dahulu. Namun, jika modal dan intuisi sudah memiliki fondasi yang kuat, tentu sah-sah saja jika pebisnis e-commerce membuka toko fisik.
[Ilustrasi: Shutterstock]