Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Enterpreneurship memang bukan untuk semua orang. Hal ini membutuhkan kerja keras bertahun-tahun, tanggung jawab yang tidak sedikit, resiko tinggi serta banyak pengorbanan lainnya. Namun, semua itu tidaklah menjadi isu ketika Anda memiliki tujuan yang konkret. Setidaknya, prinsip ini yang dipegang Natali Ardianto, yang pernah memimpin sebuah tim teknologi di salah satu layanan OTA ternama, Tiket.com, sepanjang perjalanannya mengarungi bahtera industri teknologi.
Saat ini, Natali menjabat sebagai Co-founder dan CEO PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama beberapa rekan setelah menjajal beberapa sektor industri. Mulai dari tata kota, bisnis OTA, fintech, lalu healthtech, masing-masing mengajarkan hal beragam yang telah membentuk pribadinya sebagai seorang pakar industri .
Sebagai seorang penggiat teknologi serta maniak komputer, ia sempat berjibaku dengan isu introvert kronis sampai pada akhirnya bisa bangkit lalu berhasil menguasai kemampuan berkomunikasi. Salah satu kuncinya adalah memiliki tujuan yang jelas, konkret, sesuatu yang bisa dipegang teguh dan terukur.
Seperti tertulis di profil profesionalnya, “Life is a journey, not a destination”(Hidup adalah sebuah perjalanan, bukan hanya soal tujuan), DailySocial berkesempatan untuk menggali lebih dalam tentang perjalanan karir seorang Natali Ardiante, berikut rangkumannya.
Dimulai dari posisi saat ini sebagai Co-founder & CEO di Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan terakhir.
Ini merupakan startup ke-5 saya, sebuah perusahaan teknologi kesehatan bernama PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Kami menawarkan solusi digital yang berfokus pada produk suplemen. Mengunakan teknologi achine learning yang sepenuhnya mempersonalisasikan data untuk memberikan rekomendasi suplemen terbaik untuk kesehatan Anda. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa healthtech?
Sederhananya, apakah Anda menganggap kesehatan sebagai kebutuhan primer atau sekunder? Sejujurnya, kebanyakan orang akan menempatkan kesehatan di atas segalanya, kesehatan akan selalu diposisikan pertama. Padahal, itu [kesehatan] adalah kebutuhan pokok yang membuat orang rela merogoh kocek. Sementara industri hiburan serta yang lainnya memerlukan perhitungan menyeluruh karena itu bukan kebutuhan utama. Dari segi keuntungan, memang lebih bagus. Karena pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) dapat meningkat beberapa kali lebih tinggi daripada industri hiburan lainnya. Dengan kata lain, suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan usaha lebih sedikit.
Duabelas tahun yang lalu, ketika pertama kali terjun ke dunia startup, apa yang ada dalam pikiran Anda? Bagaimana anda memulai perjalanan bisnis ini?
Pada tahun 2008, ketika startup belum hype, kami hanya berpikir untuk membangun perusahaan digital. Adapun, memiliki perusahaan telah menjadi impian saya sejak saya masih kecil. Pengalaman pertama saya terpapar teknologi dan jatuh cinta pada komputer ada di kelas 5 SD, saya juga mulai coding sekitar usia tersebut. Saya lalu menetapkan fokus pada teknologi sampai saya berhasil masuk ke Ilmu Komputer di Universitas Indonesia.
Pada tahun 2003, saya sudah memulai beberapa proyek freelance lintas wilayah. Saat startup mulai populer pada tahun 2010, saya mengalami kesulitan dengan Urbanesia, perusahaan pertama di mana saya belajar banyak setelah 13 bulan pengembangan. Saya memiliki pola pikir bahwa hidup adalah tentang menyelesaikan masalah. Ketika kita memecahkan masalah berulang-ulang, kita akan menguasai ilmu tersebut. Kemudian, yang terjadi selanjutnya pada perusahaan kedua saya hanya membutuhkan 8 bulan pengembangan, lalu kami membangun Tiket.com dalam waktu 3 bulan.
Apa yang ingin saya lakukan sangat jelas dari awal. Saya melabeli diri saya sebagai hardcore engineer. Namun, saya sadar bahwa insinyur tanpa pengetahuan dasar komunikasi tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Apalagi jika Anda ingin menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah segala hal tentang mengarahkan dan mendelegasikan, itu membuat komunikasi sangat penting.
Sebagai seorang maniak teknologi, apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam berkomunikasi? Apa yang bisa Anda bagikan pada para engineer di luar sana?
Ini sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan berbicara dengan orang. Di sini bukan cuma perkara literatur, namun sebuah proses belajar sambil bekerja. Setelah dua tahun mengajar, saya menjadi lebih baik dalam pemasaran. Masalah yang ada pada kebanyakan teknisi adalah mereka tidak bisa melakukan pemasaran. Saya beruntung memiliki mitra untuk membantu saya belajar cara menghadapi orang dan berbagi wawasan penting.
Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi, ditambah pengalaman di berbagai sektor industri, mulai dari tata kota, OTA, fintech dan sekarang healthtech. Bagaimana anda mendeskripsikan masing-masing perusahaan?
Saya seorang penganut industri agnostik, startup pertama saya berfokus pada direktori kota tanpa latar belakang terkait. Perusahaan kedua saya bernama Golfnesia, padahal faktanya, saya belum pernah bermain golf dalam hidup saya. Selanjutnya, di perusahaan ketiga saya, Tiket, tidak ada dewan direksi yang memiliki latar belakang terkait layanan OTA. Sebelum ini, adalah perusahaan fintech bernama Pluang [dulu EmasDigi], dan sekarang kapal saya berlabuh di industri healthtech.
Di antara semua ini, ada hikmah yang dirasakan, sebuah pencapaian sebagai seorang pakar industri. Hal ini bukan hanya tentang latar belakang pendidikan, kepribadian, atau keluarga. Untuk mencapai tahap itu, seseorang harus melalui hampir semua hal.
Saya sendiri percaya pada rahasia ilahi. Ada sesuatu yang disebut RAS (Reticular Activating System) di otak kita yang dapat menyaring pikiran hal-hal penting. Ketika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar Anda inginkan dan tanam di kepala Anda sejernih dan sejelas mungkin. Pada akhirnya, Anda bisa mendapatkannya.
Dalam empat perusahaan terakhir, Anda memimpin tim teknisi, sementara saat ini Anda menjabat sebagai CEO. Bagaimana Anda melihat gap dalam transisi ini? Apakah hal ini membutuhkan kemampuan khusus?
Dalam gambaran besar ketika kami memulai Tiket, saya membuat dek lapangan dan rencana keuangan. Saya selalu bekerja bagian bisnis untuk CEO kadang-kadang. Juga, saya memiliki latar belakang sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan. Jika harus saya katakan, saya selalu menjadi CTO yang berorientasi bisnis. Saya sangat sadar akan anggaran dan angka.
Kebanyakan CTO sangat high maintenance dalam hal teknologi. Mereka hanya ingin menggunakan teknologi terbaru dan paling keren, tetapi berbiaya tinggi, Sementara itu, Anda masih bisa menciptakan sesuatu yang berdampak dengan teknologi sederhana yang ada. Saya membuat sistem Tiket dengan sistem yang sangat korporat dengan detail finansial. Setiap transaksi tercatat, menghindari penipuan dan korupsi. Saya adalah tipe orang yang suka belajar sesuatu, oleh karena itu saya tidak bisa hanya fokus pada teknologi, tetapi juga bisnis.
Namun, beberapa orang salah kaprah hanya karena mereka belajar sepotong demi sepotong, bukan ujung ke ujung. Sistem agile cukup menarik tetapi tanpa visi hal itu tidak akan menjadi efektif.
Memiliki pemikiran strategis. Sebagai CEO, kata kuncinya adalah Anda tahu apa yang akan Anda capai dalam 5 hingga 10 tahun. Beberapa CTO masih bertahan dengan rencana selama 6 bulan hingga 2 tahun karena industri yang dinamis. Adapun, yayasan seperti hukum, keuangan, bisnis merupakan target yang terpenting. Saya beruntung memiliki mentor yang baik dan pengalaman selama sebelas tahun. Jujur, hari ini saya agak merasa lega, karena mengambil keputusan sudah menjadi proses yang berulang. Ketika Anda sudah tahu strateginya, selanjutnya adalah untuk mengulangi proses yang sama.
Dalam hal bisnis dan kehidupan pribadi, siapakah yang menjadi role model anda? Mungkin sebagai mentor, pendamping, seseorang yang menemani anda samapai pada tahap seperti ini.
Dalam hal pendamping, tentunya adalah istri saya. Saya bertemu dengannya pada tahun 2002 pada saat masih mengalami introvert kronis. Sebenarnya, dia turut membantu saya berubah, dan mengajarkan banyak hal tentang cara berkomunikasi, berpakaian bagus, serta yang lainnya. Saat ini ia sudah meraih gelar master dalam psikologi konseling. Istri adalah mitra belajar saya, terutama dalam memahami orang.
Kata kunci dalam hal kepemimpinan adalah kemampuan memahami pribadi orang. Anda harus bisa menemukan cara untuk membuat mereka tetap tinggal, meskipun apa yang Anda tawarkan tidak sebesar perusahaan raksasa di luar sana. Saya mencoba memahami dan memenuhi celah emosional tidak hanya secara finansial. Karena kami berusaha membuat yayasan tidak hanya berdasarkan uang. Masalahnya, ketika orang punya uang, mereka mencoba menyelesaikan semuanya dengan membayar. Untuk bisa memecahkan masalah adalah dengan belajar menjadi orang yang efektif. Ketika Anda menjadi orang yang efektif, secara tidak langsung Anda menjadi orang yang efisien.
Secara pribadi, dalam hal menjalankan perusahaan, Jonggi Manalu dari Tiket menjadi salah satu inspirasi saya. Secara umum, Larry Page & Sergey Brin akan selalu menjadi contoh terbaik, walaupun pada 11 tahun pertama, Eric Schmidt yang menjadi eksekutif berpengalaman dan membuat google sangat korporat. Saya menyebutnya dengan corporate agility, korporasi adalah dasar dari sebuah perusahaan sedangkan agile adalah bagaimana kita menjalankan perusahaan. Mengapa sebuah perusahaan harus korporat? Karena saya sering menemukan perusahaan yang mengalami kesulitan dengan keborosan, korupsi, kelemahan finansial, masalah hukum, dan kekurangan manajemen.
Menjalankan startup berarti menjalankan perusahaan, bukan hanya produk. Anda bisa saja membuat produk, namun ketika Anda tidak tahu apa-apa tentang pemasaran, pengembangan bisnis, serta hal-hal yang berkaitan dengan korporasi, semua itu tidak akan berhasil. Saya menemukan dua hal yang dapat membuat perusahaan gagal, yaitu ketika pendiri menyerah dan kehabisan uang.
Diantara beberapa industri yang telah dijelajahi, manakah yang paling menantang? Apa pelajaran terbesar yang ada dapatkan dari berbagai pengalaman ini?
Dalam entrepreneurship, kuncinya adalah waktu. Menjalankan perusahaan yang tidak berbasis jual-beli benar-benar sulit. Untuk mendapatkan satu transaksi, margin yang besar atau kecil membutuhkan usaha yang sama besar.
Dalam menjalankan sebuah perusahaan, saya lebih suka menyebutnya sebagai hardship. Ketika menjalankan sesuatu untuk mendapatkan profit, semuanya akan terbatas oleh anggaran. Sebagai contoh, ketika saya berada di industri OTA, dengan tim kecil saat ini bersaing melawan raksasa pesaing kami adalah satu perjuangan yang sangat berat. Dalam kasus ini, bukanlah sebuah titik terendah, tetapi sebuah kesulitan. Ketangguhan dalam mencoba menjalankan perusahaan yang profitable.
Apa yang menjadi target Anda selanjutnya? Apakah ada mimpi yang belum terwujud ataukah sesuatu yang diidam-idamkan selama ini?
Setelah “lulus”dari Tiket.com, saya ingin menikmati masa “pensiun” selama satu tahun. Saya dan istri bepergian keliling 5 benua, lebih dari 30 kota. Namun, saya tidak menikmati pensiun seperti itu sama sekali. Akhirnya, pada bulan ke-7, saya membantu teman membangun startup baru. Membangun sesuatu dari awal dan mengubahnya menjadi hal besar selalu menjadi hasrat saya. Sepertinya, saya tidak mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika harus melakukan hal ini sampai berusia 70 tahun, saya masih akan melakukan hal yang sama. Menciptakan produk hebat yang digunakan dan dicintai semua orang. Juga, suatu hari saya ingin mengejar gelar Ph.D. dalam kewirausahaan atau e-commerce.
–
Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian