Dark
Light

Menilik Pentingnya Kebijakan Satu Data bagi Daerah

2 mins read
September 2, 2019
Dasbor Jakarta Smart City / DailySocial

Apa dampak terburuk dari data yang tidak akurat, tercerai-berai, dan tidak sinkron bagi sebuah negara? Bisa menjadi awal terbentuknya kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai, bahkan bencana nasional. Untuk menyiasati hal tersebut, Indonesia pun tengah dalam perjalanan menciptakan agenda “satu data” yang komprehensif untuk menunjang pembangunan.

Data berperan penting di tiap pengambilan keputusan. Ada berapa banyak warga miskin yang butuh bantuan kesejahteraan, berapa anak yang belum tersentuh pendidikan agar dibuatkan sekolah, atau berapa banyak cadangan beras untuk menentukan kecukupan pangan dalam satu tahun; merupakan contoh bagaimana data bagi pemerintah dalam mengatur hajat hidup orang banyak.

Contoh paling ekstrem mungkin terjadi pada Nigeria pada 2014 lalu. Saat itu tiba-tiba saja Nigeria menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar di Afrika sesederhana karena mereka mengganti metode penghitungannya.

Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho dalam International Lokadata Conference 2019 menceritakan pentingnya kebijakan satu data. Dengan sekian banyak agenda pemerintahan yang sedang dan akan berjalan, data yang tepat jadi kebutuhan terpenting untuk melakukan semua itu.

“Ke depan apa yang kita kerjakan? Infrastruktur diteruskan, SDM dibangun, investasi didorong, reformasi birokrasi, penggunaan teknologi. Tapi untuk melakukan itu semua butuh akurasi data dan ketersediaan data,” ujar Yanuar.

Inilah yang melandasi terbitnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang “Satu Data Indonesia“. Perpres ini diupayakan untuk menghilangkan perbedaan data di lembaga dan kementerian sekaligus menyirnakan ego sektoral yang kerap muncul sehingga kerap timbul data yang tumpang-tindih di tubuh pemerintahan sendiri.

Contoh data tumpang-tindih itu terjadi pada kisruh impor beras yang melibatkan Kementerian Perdagangan dan Bulog pada pertengahan tahun lalu. Saat itu Kemendag bersikeras untuk mengimpor beras karena data menunjukkan ada kekurangan, namun di saat bersamaan Bulog sebagai operator impor tidak setuju karena stok beras nasional dianggap masih mencukupi.

Pihak swasta juga pernah mengkritik pemerintah akibat data pemerintah yang tak akurat itu. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah protes karena data produksi jagung yang ditampilkan Kementerian Pertanian menunjukkan peningkatan, padahal data asosiasi dan citra satelit membuktikan produksi menurun. Imbasnya, harga jagung melambung, harga barang melonjak, ketersediaan pangan defisit, hingga kemungkinan impor.

Efek satu data bagi daerah

Kebijakan satu data tentu bakal berpengaruh hingga ke layanan publik di tiap pemerintahan daerah. Dalam era penyelenggaraan smart city, Staf Khusus Kepala Bappenas Danang Rizki Ginanjar menyampaikan, pemerintahan daerah terjebak dalam konsep smart city yang canggih dengan anggaran yang sangat besar dan ujungnya jadi tidak efisien.

Setelah kebijakan satu data diteken, pemerintah menyiapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Sehingga nantinya pemerintah daerah cukup menduplikasi dan menyesuaikan sendiri dari satu aplikasi yang disiapkan pusat.

“Kalau SPBE ini adalah pilar, di bawahnya harus ada fondasi dulu berupa data yang sama,” ujar Danang.

Wali Kota Padang Panjang Fadly Amran menyepakati bahwa data yang sudah dikalibrasi sangat penting bagi pemerintahan daerah. Padang Panjang merupakan contoh kota yang sudah memakai konsep smart city dalam memecahkan masalah di daerahnya. Masalah utama yang jadi kendala mereka adalah data antara kantor dinas saja dapat berbeda-beda. Padahal hal ini menurut Fadly berpengaruh pada strategi mereka dalam mengentaskan kemiskinan.

“Tujuan Padang Panjang dengan smart city-nya adalah mempunya satu data, satu peta, yang benar-benar terintegrasi dan dipakai semua dinas,” ungkap Fadly.

CEO Qlue Rama Raditya mengatakan konsep smart city makin penting untuk menyelesaikan masalah suatu daerah. Salah satu yang Rama soroti adalah arus urbanisasi yang diperkirakan terus meningkat. Bank Dunia bahkan memperkirakan arus urbanisasi di Indonesia meningkat terus hingga 70 persen pada 2030. Namun seperti diketahui urbanisasi dipastikan membawa masalah baru mulai dari kemacetan, meningkatnya jumlah sampah, dan lain-lain.

“Di DKI sendiri banyak orang yang pikir Qlue sudah tidak ada tapi sebenarnya tindak lanjutnya masih di atas 91 persen dari pemprov, membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah hingga 87 persen,” pungkas Rama.

Menggandeng perusahaan smart city seperti Qlue ini merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil pemerintahan daerah selain membuat platform mereka sendiri. Cara ini terbilang cukup populer dan praktis melihat dari 15 kota yang bekerja sama dengan Qlue dalam mengembangkan smart city di daerah mereka.

Izak Jenie, CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributor to many other tech-related activities, shares his story on making digital companies
Previous Story

Izak Jenie Learned Not to Bite Off More Than What He Can Chew

Ekspansi dan Pendanaan Sorabel
Next Story

Sorabel Mulai Eksperimen Ekspansi ke Sejumlah Negara di Asia Tenggara

Latest from Blog

Don't Miss

Gelar SCSE, Kaohsiung Perlihatkan Berkembang Jadi Smart City

Smart City Summit and Expo yang digelar di Taiwan tidak

Smart City Summit and Expo 2023 Diselenggarakan di Taiwan

Saat ini di Taiwan sedang dihelat sebuah pameran yang mengusung