Bagaimana Esports Mengubah Dunia Motorsport Menjadi Lebih Baik

Usaha FIA dan Polyphony Digital kini membuat motorsport jadi jauh lebih aksesibel

Federasi Otomotif Internasional alias FIA sudah cukup lama menunjukkan dukungan yang kuat terhadap dunia esports. Sejak tahun 2017 lalu misalnya, FIA telah bekerja sama dengan Polyphony Digital untuk menyelenggarakan kompetisi esports internasional berbasis game Gran Turismo Sport. Kompetisi yang berada langsung di bawah sertifikasi FIA itu mencapai puncaknya pada bulan November 2018, dan dimenangkan oleh pemain asal Brasil bernama Igor Fraga.

FIA bukan satu-satunya lembaga otomotif yang mendukung perkembangan esports. Organisasi lain seperti NASCAR, Nissan, dan McLaren juga menunjukkan ketertarikan yang serupa. Akan tetapi terjunnya FIA ke dalam esports bukan semata-mata mengikuti tren atau mencari keuntungan. Menurut mereka esports dapat menjadi bagian terintegrasi dari dunia balap mobil, bahkan membuatnya jadi lebih baik. Bagaimana bisa demikian?

Peran besar Gran Turismo di dunia motorsport

Ikatan antara dunia balap mobil nyata (motorsport) dengan video game adalah ikatan yang terjalin secara perlahan-lahan selama lebih dari dua dekade, dan tak bisa lepas dari peran Polyphony Digital. Perusahaan tersebut merupakan developer di balik seri Gran Turismo, salah satu game balap mobil andalan Sony hingga saat ini.

Sejak Gran Turismo pertama dirilis pada tahun 1997, Polyphony Digital selalu fokus pada satu hal, yaitu realisme. Beda seperti seri game balap mobil lainnya seperti misal Ridge Racer atau Need For Speed, Gran Turismo mengusung tagline“The Real Driving Simulator”. Daya tarik utama seri ini terletak pada simulasi fisika yang akurat, mobil berlisensi dengan desain sama seperti aslinya, serta fitur tuning yang lengkap dan mendetail.

Generasi console PS1 dan PS2 masih memiliki banyak keterbatasan dalam mencapai visi realisme tersebut. Akan tetapi hal itu berubah sejak era PS3. Video game akhirnya mampu menampilkan kualitas visual yang sangat nyata, juga memiliki kemampuan komputasi yang cukup untuk menghasilkan simulasi fisika dengan optimal.

Gran Turismo 5 di PS3 merupakan titik awal penting terhadap hubungan antara video game dan dunia motorsport. Setelah game tersebut dirilis, tepatnya pada tahun 2008, Polyphony Digital kemudian menjalin kerja sama dengan Nissan Europe untuk menciptakan program pendidikan khusus pembalap via medium video game. Program tersebut disebut Nissan GT Academy (atau NISMO PlayStation GT Academy).

Gran Turismo 5, gebrakan besar pada zamannya | Sumber: Polyphony Digital

Nissan GT Academy berhasil menunjukkan bahwa video game bisa melatih seseorang untuk menjadi pembalap sungguhan, berkat tingginya tingkat realisme di dalam Gran Turismo. Tentu saja si pembalap butuh adaptasi ketika berpindah dari kursi gamer ke kursi balap asli, tapi yang jelas potensi itu benar-benar ada. Nissan GT Academy pun terus berjalan selama 10 tahun, dengan salah satu peserta asal Indonesia yaitu Andika Rama Maulana berhasil menjadi juara 2 di GT Academy angkatan 2015.

FIA membuat video game “naik kasta”

Jarak antara video game dan dunia nyata semakin menyempit, dan FIA sebagai organisasi yang membawahi jagat motorsport tak abai akan hal ini. “Menurut federasi (FIA), jelas sekali terlihat bahwa masyarakat berevolusi seiring perubahan zaman,” kata Stephane Fillastre, kepala urusan licensing dan merchandising FIA, dilansir dari Autosport. “Kami butuh kesempatan untuk mengakui dan mensertifikasi video game sebagai bagian dari portofolio kami. Karena (video game) ini adalah bagian besar dari ekosistem (motorsport), bagian besar dari pola hidup para driver, jadi kami jelas ingin memiliki hubungan tersebut.”

Sebelumnya memang sudah ada beberapa game balap mobil yang bekerja sama dengan organisasi motorsport, misalnya Codemasters yang bekerja sama dengan Formula 1. Tapi FIA ingin menawarkan sesuatu yang lebih. Mereka ingin menyediakan sebuah platform yang tersertifikasi dan memiliki regulasi layaknya regulasi motorsport milik FIA selama ini.

Pucuk dicinta ulam tiba, visi FIA yang begitu besar bertemu dengan Polyphony Digital yang telah memiliki pengalaman 10 tahun di Nissan GT Academy. Mereka pun menciptakan program baru, FIA-Certified Gran Turismo Championship. Program ini punya perbedaan besar dari Nissan GT Academy. Bila Nissan GT Academy bertujuan mengubah gamer menjadi pembalap sungguhan, FIA-Certified Gran Turismo Championship adalah program balap virtual murni. Dengan kata lain, sebuah program esports.

“Sepuluh tahun sudah berlalu sejak (peluncuran GT Academy) itu. Dan ketika kami berbicara pada para kompetitor sekarang, tidak semuanya ingin menjadi pembalap sungguhan. Sebagian dari mereka ingin, tapi tidak semua. Dan saya pikir bagus bila ada pilihan lain,” kata Kazunori Yamauchi, produser seri Gran Turismo pada Autosport.

Visi tersebut kini menciptakan hubungan yang unik antara video game dengan motorsport. Dengan adanya program esports seperti FIA-Certified Gran Turismo Championship, FIA dan Polyphony Digital telah menaikkan “kasta” video game ke posisi yang setara dengan motorsport. Tidak hanya batu loncatan, balap video game kini menjadi sesuatu yang profesional, sama profesionalnya dengan motorsport.

Perbedaan besar motorsport dengan olahraga lain

Hubungan video game (juga esports) dengan motorsport tergolong unik. Mereka memiliki kedekatan yang tidak ada dalam cabang-cabang olahraga lain. Penyebabnya, karena mengemudikan mobil virtual dan mengemudikan mobil asli adalah dua hal yang sangat serupa.

Dibandingkan dengan sepak bola misalnya, serealistis apa pun Pro Evolution Soccer 2019, kita tetap hanya bermain menggunakan controller, bukan berlari dan menendang bola sungguhan. Begitu pula dengan bola basket, tenis, atau golf. Sehebat apa pun teknologinya, bahkan dengan bantuan VR atau AR, tetap sulit menyajikan pengalaman seperti olahraga asli (kecuali bila seseorang berhasil menciptakan NerveGear dalam waktu dekat).

Sementara itu, dengan perlengkapan racing wheel dan monitor berkualitas, ditambah game yang mumpuni, pengalaman menyetir bisa sangat mirip dengan aslinya. Memang ada beberapa hal yang tidak bisa disimulasikan, seperti g-force atau pengaruh cuaca terhadap fisik pemain. Tapi dibandingkan olahraga lain, kemiripannya jauh lebih tinggi.

Balap virtual dan balap sungguhan, tidaklah jauh berbeda | Sumber: Nissan

“Saya rasa jembatan dan transisi antara dunia virtual dan dunia nyata sangat jelas. Salah satu contohnya yaitu perilaku dan bahasa tubuh pemain-pemain kita, yang mana pada dasarnya sudah persis sama dengan pembalap ketika berada di mobil sungguhan, ini sesuatu yang tidak Anda miliki di, misalnya, turnamen sepak bola,” kata Stephane Fillastre pada Autosport.

Kemiripan tersebut, dan tingkat realisme yang sudah begitu tinggi di video game, kini menciptakan aksesibilitas terhadap dunia motorsport yang belum pernah ada sepanjang sejarah.Motorsport dulunya adalah olahraga yang mahal dan sulit dilakukan. Paling minimal, kita butuh sebuah mobil dan sebuah sirkuit. Tidak semua orang bisa mendapatkan keduanya, apalagi di usia muda. Tapi kini gamer bisa mendapatkan pengalaman menyetir mobil yang sangat nyata lewat video game. Dan lewat esports bersertifikasi seperti FIA-Certified Gran Turismo Championship, mereka bisa merasakan kompetisi motorsport sama seperti aslinya. Perihal apakah si pemain akan jadi atlet esports/motorsport profesional nanti, itu terserah dia.

Manfaat besar dua arah

Akses terhadap motorsport jauh lebih mudah hanyalah salah satu manfaat yang bisa dirasakan oleh para “motorhead” (penggemar otomotif). Masih ada banyak manfaat lain, salah satunya yaitu munculnya oportunitas baru bagi penyandang difabilitas.

Perbedaan fisik sering kali menghalangi seseorang untuk melakukan suatu olahraga. Andai bisa pun, olahraga tersebut tetap memiliki perbedaan dari versi aslinya (contoh: bola basket dan basket kursi roda). Tidak demikian dengan dunia motorsport. Bagaimana pun kondisi fisik seseorang, asal ia bisa menggerakkan roda setir dan menekan pedal, ia dapat ikut berkompetisi, setara dengan atlet motorsport lainnya.

Billy Monger, pembalap F4 British Championship | Sumber: Autosport

Kesetaraan ini tidak terbatas pada kaum difabel. Faktor-faktor lain seperti gender atau usia juga bisa dieliminasi, dan semua orang bisa berkompetisi pada level yang sama asalkan mereka memiliki kemampuan dan kekuatan mental untuk melakukannya. Namun untuk membuktikan kemampuan itu langsung di sirkuit aspal tentu sulit. Di sinilah esports berperan, sebagai jembatan sekaligus fasilitas tempat siapa saja bisa unjuk keahlian, dan akhirnya, mendapat lisensi pembalap dari FIA.

Manfaat yang muncul dari esports ini berlaku dua arah, tidak hanya terhadap pembalap tapi juga terhadap dunia balap atau asosiasi balap itu sendiri. Bahwasanya esports dapat membantu motorsport menjangkau pasar yang lebih luas itu sudah jelas, tapi Fillastre juga memikirkan kegunaan lain.

Saat kompetisi terjadi di sirkuit, orang yang bekerja bukan pembalap saja. Ada juga peran teknisi, petugas track safety (track marshal), organizer atau steward, dan sebagainya yang jumlahnya sangat banyak. Esports dapat menjadi sarana latihan bagi pemegang peran-peran tersebut, baik latihan teknis atau latihan komunikasi.

FIA juga dapat memanfaatkan esports untuk menguji coba regulasi dan format-format balapan baru. Hal-hal seperti panjang balapan baru, perubahan posisi grid, pemberat mobil (weight ballast), dan sebagainya, sangat kompleks serta mahal untuk diuji coba di balapan sungguhan. “Video game adalah sebuah cara untuk mensimulasikan adaptasi regulasi-regulasi baru seperti itu, dan untuk melihat apakah masuk akal untuk diterapkan. Apakah dapat menjamin keamanan? Apakah dapat menjamin kesetaraan sportivitas? Apakah itu membuat motorsport makin diminati?” ujar Fillastre.

F1 Australian GP 2016, menggunakan sistem kualifikasi yang aneh | Sumber: Formula 1

Ide tentang pemanfaatan esports sebagai lahan uji coba tidak hanya ada di benak FIA, tapi juga diinginkan oleh para pelaku Formula 1. “Kami tertarik menggunakan lingkungan virtual untuk menguji beberapa regulasi baru ini. Kemudian, apa yang kami lakukan adalah melihat data statistik. Ini akan memberikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang biasanya tidak bisa disimulasikan secara mudah,” ujar Pat Symonds, analis Sky Sports F1, dilansir dari Motorsport.com.

Symonds berkata bahwa pernah terjadi kekacauan di dunia Formula 1 pada tahun 2016 gara-gara regulasi yang belum teruji. Saat itu Formula 1 menerapkan sistem kualifikasi baru di mana seorang driver bisa teriliminasi walaupun balapan belum selesai. Aturan baru itu menuai protes besar, dan baru satu bulan berjalan, Formula 1 langsung membatalkannya. Symonds ingin agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Hubungan antara video game, esports, dan motorsport kini memasuki babak baru, dan masih banyak potensi yang belum tergali di dalamnya. Entah inovasi apa lagi yang akan muncul di bidang ini nantinya, akan tetapi satu hal yang jelas. Esports sedang mengubah dunia motorsport, dan perubahan itu masih akan terus berjalan.

Sumber: Autosport, Motorsport.com, Polyphony Digital, BBC, Formula 1, Nissan