Smart city dengan konsep dan tujuan untuk mengurai permasalahan-permasalahan kota nyatanya tidak sesederhana yang dikira. Smart city tak hanya tentang teknologi dan masyarakatnya, tapi tentang keseluruhan sistem yang ada di kota tersebut termasuk pendidikan.
Pembicaraan smart city di Indonesia sedang hangat-hangatnya. Beberapa perusahaan teknologi seperti Huawei dan Ericsson sudah menyatakan kesediaannya berperan serta membangun smart city di kota Bandung dan Jakarta. Ya, kedua kota tersebut memang digadang-gadang sebagai kota terdepan dalam penerapan konsep smart city.
Selain sama-sama memiliki pemimpin yang tanggap tentang manfaat teknologi sebagai salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya, Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok) memang punya visi untuk memperbaiki kota masing-masing dengan teknologi.
Di Bandung, selain Bandung Command Center dan layanan perizinan online, Ridwan Kamil juga sedang proses membangun “Silicon Valley” versi Bandung di kawasan Gedebage yang banyak diberitakan sebagai Bandung Technopolis. Pun demikan juga dengan Jakarta yang sudah meluncurkan beberapa aplikasi yang layanan yang sejalan konsep ini. Namun pada kenyataannya satu hal yang tak kalah penting selain infrastruktur dan teknologi dalam konsep smart city adalah pendidikan.
Saya pribadi membayangkan smart city sebagai sebuah kota dengan semua elemen-elemen di dalamnya masuk dalam kategori “cerdas”, baik itu pemerintahan, pelayanan, masyarakat termasuk juga sistem pendidikan di dalamnya.
Sistem pendidikan harus lebih inovatif dan kreatif
Sistem pendidikan yang terdapat dalam kota yang “cerdas” harus lebih inovatif, kreatif dan lebih maju satu atau dua langkah dari kota-kota yang tidak masuk dalam kategori smart city. Kurikulum dari semua tingkat pendidikan pun harus berbeda. Mulai dari standar, kurikulum, hingga fasilitas-fasilitas yang mendukung adanya inovasi di bidang penelitian teknologi dan sains. Selain tuntutan masyarakat yang cerdas, smart city juga turut dituntut melahirkan banyak penelitian yang inovatif.
Di Silicon Valley ada sebuah lembaga non-profit Silicon Valley Education Foundation yang menyediakan program dan sumber daya yang dapat dioptimalkan para siswa dan pengajar untuk memperdalam ilmu sains, matematika, dan teknologi. Saya membayangkan gagasan serupa untuk menyempurnakan pergerakan smart city di Indonesia.
Ridwan Kamil dan Ahok selaku pemimpin harus mulai memperhatikan pendidikan sebagai salah satu faktor dalam smart city. Jalan terdekat untuk mewujudkannya adalah dengan terus memperbaiki kualitas pendidikan dan penelitian di universitas-universitas di kota masing-masing (Jakarta dan Bandung).
Fasilitas-fasilitas penunjang pemerintah juga diharapkan mampu membuat sebuah program untuk merangsang lahirnya penelitian-penelitian yang berkelas di kalangan universitas. Setelah peningkatan kualitas di level universitas, perbaikan harus terus dilanjutkan hingga level pendidikan dasar.
Tentu kita semua berharap mencuatnya isu smart city tak hanya menjadi bahan “proyekan” sebagian orang. Kita berharap smart city menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah yang ada di kota-kota besar di Indonesia sekaligus sebagai solusi memperbaiki permasalahan di sektor pendidikan kita. Ridwan Kamil dan Ahok masih ada di jalur yang benar untuk mewujudkan smart city, tetapi masih membutuhkan dukungan dan saran dari banyak pihak.