Saat terjadi wabah besar di London sekitar tahun 1665-1666 yang membunuh hampir 20% populasi, Sir Isaac Newton harus berdiam di rumah seperti yang kita semua alami saat ini. Saat itu dia masih mahasiswa di Trinity College di Cambdridge dan terpaksa harus menghabiskan waktu di rumah, penuh ketakutan terhadap wabah. Tidak banyak yang bisa dia lakukan, kecuali membaca dan menyibukkan diri untuk menyelesaikan banyak masalah. Salah satu yang dia berhasil dia selesaikan adalah teori tentang gravitasi, yang konon dia temukan karena kejatuhan buah apel.
Cerita tentang buah apel dan teori gravitasi Sir Isaac Newton sangat menginspirasi. Sejak masa WFH, saya banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dan mengamati bagaimana mereka belajar dan bagaimana guru-guru mereka mengajar. Tentu saja sangat tidak ideal dan banyak kekurangan. Kemampuan para guru menjelaskan topik sains dan teknologi yang sangat terbatas sangat berpotensi membuat siswa justru tidak tertarik sama sekali. Ini bukan saatnya untuk mencari kambing hitam, melainkan memberi solusi.
Sudah ada beberapa materi pembelajaran online yang berkualitas dunia, seperti Khan Academy. Tetapi karena berbahasa Inggris, tidak banyak siswa yang mampu mengikutinya karena keterbatasan kemampuan bahasa, termasuk anak-anak saya. Mirisnya, solusi serupa berbahasa Indonesia dijadikan komoditas yang berbayar, yang tentu saja bukan solusi yang tepat saat krisis seperti ini.
Pendidikan sains dan teknologi itu tidak bisa dipisahkan karena semua pencapaian manusia dalam teknologi adalah hasil eksplorasi sains sebelumnya. Sudah banyak data yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sains dan teknologi kita di Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia. Ini sangat menyedihkan, apalagi mengingat tingginya biaya pendidikan di sekolah-sekolah terbaik.
Tidak semua anak Indonesia memiliki kesempatan untuk masuk ke sekolah-sekolah terbaik tersebut. Fakta ini sangat menganggu tidur malam saya dan mengingatkan masa kecil di Poso, kabupaten kecil di Sulawesi Tengah. Jutaan anak Indonesia masih mengalami masalah yang sama hingga saat ini. Tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Saya tidak melihat solusi untuk memberikan kemerdekaan belajar, apalagi yang bisa menginspirasi siswa dalam sains dan teknologi. Tingkat pemahaman matematika, fisika dan komputasi yang sangat rendah tidak akan melahirkan inovator di masa depan. Yang ada hanya menghasilkan golongan kaum pekerja praktikal dan Indonesia hanya menjadi pasar bagi teknologi-teknologi baru, bukan perintisnya.
Ketertarikan terhadap sains dan teknologi harus diawali dari masa pendidikan K12, tidak hanya di Universitas. Yang sangat mengkhawatirkan, di semua tingkatan pendidikan, kondisinya sama buruknya. Pemahaman sains dan teknologi kita termasuk paling rendah di dunia. Ada ilusi bahwa kita sudah berhasil melahirkan perusahaan-perusahaan teknologi yang berstatus unicorn, tapi pada dasarnya mereka hanya menjalankan bisnis biasa dengan teknologi digital. Jumlah paten dan kontribusi riset teknologi kita masih sangat-sangat rendah.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk mengubah kondisi ini, bahkan mungkin tidak banyak yang peduli untuk memikirkan solusinya. Masalah ini sudah sangat menganggu pikiran kami sejak lama jauh sebelum pandemi.
Di tahun 2008, bersama Prof. Rosari Saleh dan murid-muridnya dari Universitas Indonesia, kami membuat Kucing Fisika, kanal pembelajaran online gratis untuk mendidik siswa mengenai fisika eksperimen. Kucing Fisika telah merilis ratusan video untuk 6 ribuan guru dan siswa belajar secara online dengan alat-alat sederhana yang ada di rumah. Kontribusi tersebut tentu saja tidak cukup untuk mempersiapkan sains dan teknologi bagi siswa K12 dan guru-gurunya.
Tahun 2020 adalah titik balik untuk kembali ke visi awal. Kami ingin berkontribusi nyata ke perkembangan sains dan teknologi. Kali ini bukan untuk fisika eksperimen, tetapi untuk matematika, fisika dan komputasi. Ketiga disiplin tersebut adalah satu kesatuan yang perlu diajarkan dengan baik sejak dini. Dengan kondisi pendidikan kita saat ini, saya percaya bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah kontribusi nyata dari orang-orang yang masih peduli.
Kami merilis RAM School, sebagai kanal pembelajaran matematika, fisika dan komputasi yang disusun berdasarkan kurikulum Cambridge. RAM School berisi rekaman proses belajar dan mengajar yang saya lakukan di rumah dengan anak-anak. Materinya dirancang untuk memberikan pemahaman yang baik tentang sains dan teknologi bagi siswa setingkat SMP dan SMA. Semoga dengan karya sederhana ini kami bisa berkontribusi untuk pendidikan yang lebih baik.
–
Disclosure: artikel tamu ini ditulis oleh Risman Adnan Mattotorang. Risman adalah Direktur R&D di Samsung R&D Institute Indonesia. Ia bisa dikontak melalui laman LinkedIn.