Kehadiran aplikasi kendaraan online Uber dan GrabCar di Indonesia sempat tersandung polemik regulasi. Pegawai taksi konvensional sempat melancarkan aksi demo untuk meminta pemerintah melarang kedua layanan tersebut beroperasi. Tak tinggal diam pemerintah dikabarkan akan segera mengeluarkan regulasi mengenai hal tersebut. Pemerintah sudah menyusun sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi layanan aplikasi kendaraan online agar sah secara hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurut Direktur Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto Iskandar, syarat-syarat yang keluarkan pemerintah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) No 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek yang dikeluarkan pada 1 April 2016.
“Permen itu mengatur angkutan tidak dalam trayek, seperti taksi, angkutan sewa, pariwisata, dan lainnya,” Pudji seperti diberitakan Kompas, Rabu (20/4/2016).
Dalam pemberitaan lain, Pudji juga menuturkan bahwa dua layanan aplikasi kendaraan online (Uber dan Grabcar) diminta untuk memiliki izin penyelenggara angkutan umum. Antara lain dengan membuat badan usaha tetap yang bertanggung jawab terhadap operasional armada masing-masing dan membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selain itu kedua perusahaan juga wajibkan untuk mendapatkan izin operasional. Salah satunya dengan cara memiliki minimal lima kendaraan yang dibuktikan dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama perusahaan, memiliki pool, adanya fasilitas perawatan, dan pengemudi dengan SIM umum. Dijelaskan Pudji, batas akhir pemenuhan persyaratan tersebut jatuh pada tanggal 31 Mei 2016 mendatang.
“Ya kita lihat dulu nanti tanggal 31 Mei. Apakah saat itu mereka sudah memenuhi persyaratan atau belum. Kalau belum ya tidak (ilegal),” ungkap Pudji.
Selain legalitas, pemerintah rencananya juga akan mengatur soal tarif angkutan berbasis aplikasi. Perusahaan dan koperasi diperbolehkan membahas tarif yang akan diberlakukan di layanan, tetapi keputusan untuk menerapkan tarif tersebut tetap harus berdasarkan kesepakatan pemerintah.
Dalam pemberitaan Kompas disebutkan Pemerintah berencana mengatur ulang batas tarif atas dan tarif bawah untuk angkutan berbasis aplikasi. Rencana ini juga akan diberlakukan pada perusahaan taksi konvensional. Nantinya, saat surge pricing karena permintaan yang sedang tinggi, bakal ada nilai maksimum batas atas yang ditetapkan Pemerintah.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan bahwa penerapan batas baru berguna untuk menciptakan iklim usaha yang setara. Sehingga angkutan berbasis aplikasi tidak bisa seenaknya mengatur tarif.
Saat ini kebijakan tarif batas bawah dan atas masih belum selesai dibahas. Andri menjelaskan, pihaknya tengah mengajak berbagai pihak untuk berunding mengenai penetapan tarif ini. Termasuk mengajak para ahli teknik dan ekonomi untuk menemukan tarif yang wajar.
“Sekarang ini mereka (Uber dan GrabCar) belum bayar pajak jadi tarifnya bisa murah. Kalau sudah ada PPn 10 persen dan penentuan tarif pasti harganya berubah,” katanya.
Persyaratan mempengaruhi model bisnis
Sementara itu, dikutip dari pemberitaan Kontan, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kamadibrata menilai Permen No 32 tahun 2016 ini akan meresahkan pengemudi dan juga akan berpengaruh pada model bisnis yang ada di industri ride sharing selama ini.
Ridzki menjelaskan bahwa Grab sampai saat ini masih mempelajari soal detil-detil dalam Permen tersebut. Saat ini mereka sedang memastikan para mitra koperasinya memenuhi arahan pemerintah dengan merujuk pada peraturan sebelumnya.
“Kami akan selalu berusaha untuk memenuhi segala ketentuan dan aturan lokal yang berlaku, terutama terkait keamanan dan pajak,” terangnya.
Keresahan yang diutarakan Ridzki cukup masuk akal, terutama pada persyaratan mengenai keharusan STNK kendaraan harus atas nama perusahaan. Seperti diketahui layanan seperti Uber dan Grabcar selama ini hanya menyediakan aplikasi, kendaraan yang beroperasi adalah kendaraan milik mitra. Sebuah persyaratan yang mengganggu model bisnis.