Dark
Light

Pembelajaran MDI Ventures saat Tentukan Hipotesis Investasi

2 mins read
June 4, 2020
DailySocial merangkum catatan terkait hipotesis investasi MDI Ventures, termasuk soal "new normal", kolaborasi startup-korporasi, dan strategi "exit"
DailySocial merangkum catatan terkait hipotesis investasi MDI Ventures, termasuk soal "new normal", kolaborasi startup-korporasi, dan strategi "exit"

Industri venture capital (VC) di Indonesia mengalami perkembangan signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Kini korporasi besar juga memiliki corporate venture capital (CVC) sebagai akselerator pengembangan inovasi perusahaan.

Selama periode waktu itu, hipotesis VC dalam menyeleksi portofolio semakin berkembang. Dulu mungkin karisma founder dan latar pendidikan menjadi salah satu kriteria investor dalam menyeleksi calon portofolionya.

Kini kriteria tersebut tidak selalu relevan bagai VC. Hal ini mungkin juga didasari  keinginan untuk mencari startup yang benar-benar dapat men-scale up bisnisnya. Investor semakin selektif dalam memberikan pendanaan.

Sebagai salah satu CVC terdepan di Indonesia, MDI Ventures telah mengantongi sejumlah pembelajaran selama beroperasi selama enam tahun terakhir, termasuk bagaimana menyeleksi portofolio yang layak didanai. CVC milik Telkom ini kini memiliki basis operasi di Jakarta, Singapura, dan Silicon Valley.

Berikut ini DailySocial merangkum catatan penting terkait hipotesis investasi MDI Ventures mengacu pada (1) situasi “new-normal“, (2) arah navigasi Donald Wihardja sebagai CEO baru, dan (3) pengalamannya di industri digital Indonesia.

Navigasi Donald Wihardja sebagai CEO baru

Donald Wihardja menggantikan Nicko Widjaja yang kini sudah berlabuh ke BRI Ventures. Adapun, Donald sebelumnya menjabat sebagai Partner di Convergence Ventures yang kini berubah nama menjadi AC Ventures pasca merger dengan Agaeti Ventures.

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa kehadiran CEO baru ini tidak akan terlalu mengubah strategi navigasi investasi perusahaan tahun ini. Menurutnya, bergabungnya Donald Wihardja ke dalam jajaran direksi MDI Ventures juga tidak serta-merta mengubah hipotesis perusahaan dalam menyeleksi founder.

Ia menilai kehadirannya justru akan semakin mengakselerasi investasi ke ekosistem startup. Meski demikian, situasi “new normal” tentu akan berpengaruh terhadap operasional dan outlook investasi MDI Ventures pada tahun ini.

“Posisinya akan membantu kami untuk melanjutkan pertumbuhan dan pengembangan bisnis MDI ke tahap selanjutnya untuk menuju visi kami sebagai perusahaan ventura terkemuka di dunia,” paparnya kepada DailySocial.

Saat ini alokasi dana putaran pertama MDI Ventures selama empat tahun sudah habis. Diperkirakan, rencana investasi perusahaan akan agresif sejalan dengan pembentukan Centauri Fund dan rencana dua dana kelolaan baru di tahun ini.

Seleksi tahap pendanaan dan kaitannya terhadap bisnis korporasi

Eksistensi perusahaan selama enam tahun terakhir di industri VC dinilai melahirkan pembelajaran yang dapat membantu menavigasi rencana investasi. Saat ini, MDI Ventures memang fokus pada pendanaan startup growth dan later stage. Namun, poin ini bukan tanpa alasan.

Kenneth menilai investasi pada startup early stage memiliki nilai sinergi yang terbatas bagi korporasi. Pasalnya, startup di tahap ini masih berupaya mengembangkan dan memperbaiki produk mereka dan belum siap diintegrasikan ke ekosistem Telkom yang luas.

Menurutnya, langkah terbaik bagi CVC dan korporasi adalah masuk ke startup yang produknya sudah matang dan stabil. Selain itu, karakter korporasi besar kurang menyukai “kejutan” pada pengembangan produk yang acapkali cenderung terjadi pada startup di tahap awal.

“Dengan masuk ke pendanaan startup later stage, mereka sudah memiliki produk dan manajemen yang matang. Saya rasa di Indonesia, Astra melakukan hal yang hebat dengan masuk sebagai investor Gojek. Dengan produk Gojek yang sudah kuat, Astra dapat menciptakan sinergi dalam jangka pendek maupun panjang,” jelasnya.

Sinergi korporasi-startup harus dua arah

Kenneth juga menilai bahwa aksi pendanaan harus menciptakan sinergi dua arah, baik untuk korporasi maupun startup. Untuk mengarah sana, korporasi harus berpikir “bagaimana kami dapat membantu mereka (startup)?”, bukan sebaliknya “bagaimana mereka (startup) dapat membantu kami?”.

Pola pikir ini menjadi esensial karena bisnis teknologi pada dasarnya adalah bisnis disrupsi. Pola pikir yang tradisional, seperti pendekatan defensif, justru dinilai akan memperlambat sesuatu keniscayaan. “Contoh analoginya, jika Anda akan dilanda banjir setinggi 10 meter, apakah Anda membangun dinding di sekitar rumah atau membeli perahu?” tanyanya.

Poin di atas juga menjadi salah satu tantangan untuk menyelaraskan CVC dan korporasi. Sebelumnya, Kenneth sempat mengungkapkan bahwa di awal MDI Ventures berdiri, masih banyak organisasi di Telkom yang belum memahami startup atau venturing. 

Strategi “exit” tetap penting

Kenneth juga menekankan pentingnya portfolio memiliki strategi exit ke depan untuk membuktikan bahwa investasi tersebut memberikan hasil. Saat ini, MDI Ventures telah mengelola 35 portfolio yang tersebar di 10 negara, di mana tujuh di antaranya sudah exit.

Exit itu tetap penting bagi pendanaan startup. Ini membuktikan bahwa investasi yang diberikan dapat menghasilkan kinerja yang baik. Exit bukan semata hanya impian mewah,” tuturnya.

Previous Story

SEGA Umumkan Game Gear Micro, Berisi Empat Game

lenovo legion 5
Next Story

Lenovo Perkenalkan Legion 5, Legion 5i, dan IdeaPad Gaming 3i

Latest from Blog

Don't Miss

MDI Ventures to Lead Series B Round for mClinica Healthtech

MDI Ventures is reported to have reinvested in Singapore-based healthtech
mClinica sudah hadir di Indonesia sejak 2014 dengan badan hukum PT mClinica Health Solutions

MDI Ventures Dikabarkan Pimpin Pendanaan Seri B Startup Healthtech mClinica

MDI Ventures dikabarkan kembali berinvestasi untuk startup healthtech asal Singapura