Beribu langkah terus digalakkan oleh berbagai pihak, mulai dari pelaku kreatif, industri kreatif hingga pemerintah untuk menyadarkan masyarakat tentang menghargai hak cipta karya intelektual. Baru-baru ini pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif juga telah meresmikan Satgas Pengaduan Pembajakan. Lalu sebenarnya apa yang melatarbelakangi gelombang pembajakan karya digital di Indonesia?
Banyak yang mengatakan bahwa penetrasi pembajakan, baik musik, film atau karya digital lainnya (termasuk software) karena adanya medium yang mempermudah masyarakat dalam menyebar dan mendapat produk bajakan tersebut. Salah satu cara klasik yang telah dilakukan ialah dengan memblokir situs-situs tersebut. Pada kenyataan situs seperti ini tidak pernah ada habisnya, mati satu tumbuh seribu. Pun selalu ada cara untuk mengaksesnya.
Fokus apa yang sebenarnya ingin diperangi
Musik dibajak, penjualan menurun. Jika melihat lebih dekat masalah yang dialami industri maka demikian. Penjualan yang menurun dikaitkan dengan pembajakan, kendati secara kasat mata memang terlihat meyakinkan, namun sebenarnya masih banyak hal yang akan diperdebatkan di sini. Pembajakan dan menaikkan penjualan karya digital adalah permasalahan yang berbeda, karena segmentasi penikmatnya pun sudah jelas berbeda. Menariknya kadang media bajakan justru menjadi sarana pengenalan yang baik atas sebuah produk.
Mau tak mau industri harus revolusioner. Pahami cara-cara orang untuk mendapatkan konten digital dengan mudah. Jika CD/DVD masih dianggap menjadi media pengantar konten digital yang efisien, bisa saja, yang diperlukan hanya bagaimana membuat orang tertarik membeli CD/DVD, sedangkan melalui media seperti iTunes orang-orang bisa mendapatkan konten yang sama dengan beberapa kali sentuhan.
Penulis sendiri kadang memilih membeli musik dalam bentuk CD, karena adanya nilai ekslusif yang diberikan CD tersebut, seperti desain yang mempesona.
Tidak hanya musik, jika melihat perusahan pengembang software besar sekelas Microsoft, mereka juga melakukan suksesi dalam menyampaikan produk digitalnya. Produk Office misalnya, sebelumnya penjualan dilakukan secara konvensional, yakni dengan media CD/DVD Box yang berisi software tersebut. Meskipun versi media tersebut kini masih ada, namun Microsoft terus mendorong masyarakat dengan menyuguhkan cara pembelian Office yang baru, yakni dengan versi digital dan berlangganan, lengkap dengan penawaran yang lebih banyak ketimbang dengan model lama.
Memberikan akses yang lebih mudah untuk karya legal
Selalu ada cara memanfaatkan celah untuk menanggulangi konten bajakan. Salah satu yang pernah berhasil dipraktikkan dan berhasil adalah metode Free Lunch oleh Pandji Pragiwaksono. Dengan tetap memberikan karya gratis kepada penikmatnya, namun biaya karya dan produksi tetap bisa didapat. Hal serupa juga menjadi sebuah revolusi di Norwegia. Dalam laporan International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) disebutkan bahwa Norwegia berhasil meminimalisir angka pembajakan.
Menariknya cara yang dilaukan tidak semata-mata memerangi pebajakan dengan beringas, namun justru membalikkan keadaan. Masyarakat dibuat lebih mudah mengakses konten legal ketimbang bajakan, dalam hal ini untuk produk musik, yakni layanan digital ala Spotify.
Untuk karya digital ala musik dan film, penyebarannya melalui kanal digital memang menjadi titik terang untuk mempermudah akses di masyarakat. Namun kembali lagi, pola bagaimana masyarakat mengkonsumsi karya digital pun harus disiasati. Contoh sederhana, banyak pengguna mobile menggunakan paket internet berkuota, jadi kurang efisien menjual layanan model steraming online. Beda jika layanan digital tersebut dikonsumsi semisal di SmartTV atau PC, saat pengguna lebih terjamin dengan koneksi unlimited.
Penikmat karya digital, baik itu musik, video, software ataupun lainnya sudah sangat terfragmentasi. Ada yang memang lebih suka membeli musik di iTunes, ada yang suka menggunakan layanan freemium, dan ada yang memilih yang gratis, maka fasilitasi ruang yang ada dengan karya legal yang mudah diakses. Pendekatan terbaik adalah yang mengedepankan nilai positif dari semua pihak, inovator terfasilitasi, industri berjalan, dan konsumen bahagia. Sampai saat ini memang belum ada rumusan pasti untuk merealisasikan hal ini.
Tak ada hal yang bisa kita lakukan selain terus berinovasi dan pelan-pelan mengedukasi masyarakat tentang mengkonsumsi karya legal. Beberapa orang tak sadar kalau yang ia peroleh atau nikmati adalah barang tidak sah. Menariknya jika melihat di lingkungan sekitar (oang-orang terdekat penulis –Ed), dengan membiasakan orang dengan karya legal, maka mata hatinya akan terbentuk dengan sendirinya untuk sesuatu yang legal.
Ini hanya masalah waktu. Saat orang sudah terfasilitasi dan menerima manfaat dari suatu karya digital, mereka akan memilih menggunakannya dengan cara yang benar.