Gagasan mendigitalisasikan bisnis UKM yang berjumlah puluhan ribu di Nusantara telah terdengar lama gaungnya belakangan ini. Namun kesiapannya kini ditujukan untuk para retailer perihal kesiapannya untuk turut terjun ke industri e-commerce di tengah pasar yang kini kian ramai dipadati. Disampaikan oleh CTO PT Inovasi Informasi Indonesia (ICUBE) Muliadi Jeo, kini saatnya industri mendorong retailer untuk segera menancapkan kukunya di pasar digital yang memiliki ekosistem berbeda dengan konvensional.
“Jangan sampai mereka [pemain retail] telat untuk go online. Jika sebelumnya yang sedang hangat itu tech-startup, venture capital, dan UKM, sekarang fokus kami adalah empowering retailer untuk mulai terlibat. Pertanyaannya bukan ‘jika’, tetapi ‘kapan’ mereka siap?” kata Muliadi ditemui DailySocial siang tadi (27/10).
Bertajuk “Customer 360 – from offline to online How To Get Your Company Ready” yang digagas oleh ICUBE dan Magento, ide utama diselenggarakan acara ini adalah untuk menggarisbawahi peran industri e-commerce yang memberikan pengalaman baru para konsumen. Meski pada akhirnya belanja secara online tidak akan menggantikan berbelanja offline sepenuhnya, namun keberadaan toko online jelas memberikan pengalaman dan mengubah perilaku konsumen dalam berbelanja.
“Kami berharap dengan acara ini para retailer memiliki pengetahuan untuk mempersiapkan diri mereka menghadapi lansekap konsumen yang telah berubah, serta cara dan waktu yang tepat untuk berinvestasi secara strategis di e-commerce,” paparnya.
Menurut Muliadi tantangannya masih seputar mindset bahwa belanja online itu merupakan sebuah hal yang beresiko. Masih banyak pihak yang penuh pertimbangan untuk menyelami industri ini lebih dalam, bahkan tidak sedikit yang lebih memilih membuka toko cabang daripada menginvestasikan teknologi dan infrastruktur.
Dalam presentasinya, Muliadi memberikan contoh kasus toko buku Borders yang telah beroperasi selama empat puluh tahun di Amerika Serikat. Borders menjalin kerja sama dengan Amazon selama tujuh tahun sebelum menyadari potensi pasar yang lebih besar di industri digital. Setelah memutuskan untuk berdiri sendiri, bisnisnya justru berhenti beroperasi pada tahun 2011.
“Sekarang pemain retail yang besar-besar mungkin sudah mulai paham ke online. Gelombang berikutnya ialah menunggu yang middle-sized. Mereka masih menimbang apakah saat ini tepat untuk go online atau tidak? Ekosistemnya siap, tetapi keputusan kembali lagi ke retailer. Kami hanya tak ingin mereka telat dan bernasib seperti Borders,” kata Muliadi.
National Payment Gateway yang belum terlalu dibutuhkan
Jika mindset masih menjadi hambatan, tentu faktor keamanan memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan pemain retail untuk masuk ke e-commerce. Kami sempat menyinggung apakah jika nantinya national payment gateway telah tersedia, hal tersebut lantas mengikis skeptisme para pemegang kepentingan tentang metode pembayaran yang lebih aman dan mudah digunakan.
“Jika tujuannya untuk mempermudah dan memberikan keamanan itu jelas akan membantu, karena itu akan membantu semua pihak. Tetapi jika diberlakukan hanya untuk sebagai kontrol yang pada akhirnya memperpanjang urusan birokrasi, national payment gateway tidak dibutuhkan saat ini,” tandasnya.