Berdasarkan informasi yang dirilis Direktorat Jendral Pajak (DJP), disebutkan sebanyak 70% APBN berasal dari pajak negara. Salah satu usaha meningkatkan perolehan pajak negara, bagi DJP, adalah melakukan penarikan kewajiban pajak kepada pelaku UKM yang mulai banyak memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk berjualan. Pajak yang dikenakan DJP untuk UKM dengan pendapatan kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun adalah 1%.
Diakui DJP, saat ini masih kesulitan untuk mendata siapa saja pelaku UKM yang tersebar jumlahnya di seluruh Indonesia dan memanfaatkan media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, Line, BlackBerry Messenger (BBM), dan WhatsApp untuk menjual produk dagangannya. Untuk itu, seperti yang ditegaskan oleh Kepala Sub Direktorat Pengembangan Penegak Hukum Direktorat Jendral Pajak Yulianingsih, pemerintah akan mengejar kewajiban pajak dari transaksi yang dilakukan di media sosial.
“Sekarang banyak yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Kita akan kejar pajak dari transaksi yang dilakukan di platform itu,” ungkap Yulianingsih kepada Indotelko.
Menurut Yulianingsih, setiap penjual diwajibkan untuk membayar 1% pajak dari omset penjualan Rp 4,8 miliar setahun. Peraturan ini berlaku untuk semua ritel offline dan online. Diharapkan semua penjual online yang memanfaatkan media sosial, yang menjual secara spontan (sewaktu-waktu) dan masih memanfaatkan media sosial, untuk mendaftarkan data diri mereka ke DJP.
“Pedagang pun nantinya diharuskan mendaftar supaya kami memiliki datanya, ini buat ketertiban bersama,” kata Yulianingsih.
Data yang dihimpun Bank Indonesia menyebutkan sepanjang tahun 2014 nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai $2,6 miliar atau sekitar Rp 36 triliun.