Ajang Photokina 2018 telah usai per tanggal 29 September kemarin. Tidak bisa dipungkiri pengumuman yang paling mencuri perhatian dari event tersebut adalah Lumix S1R dan S1, yang tidak lain merupakan kamera mirrorless full-frame pertama Panasonic. Entah kebetulan atau tidak, akan tetapi kedua kamera ini diungkap sekitar 10 tahun sejak Panasonic memulai tren mirrorless.
Sejarah mencatat bahwa Lumix G1 yang diperkenalkan di Photokina 2008 adalah kamera pertama yang datang membawa istilah “mirrorless“. Jauh sebelum itu, sebenarnya sudah ada Epson R-D1 yang secara teknis merupakan kamera mirrorless pertama, namun istilah itu belum dipakai sebab tujuannya berbeda.
Lewat Lumix G1, Panasonic di sisi lain sebenarnya ingin menyoroti hasil kolaborasinya bersama Olympus, yakni standar Micro Four Thirds, yang pada dasarnya merupakan standar Four Thirds tapi tanpa cermin yang memantulkan gambar dari sensor ke viewfinder. Sejak itulah jargon mirrorless mulai digunakan, meski awalnya juga masih banyak sebutan yang lain, macam “Compact System Camera” (CSC) misalnya.
Tujuan dari Micro Four Thirds, yang kala itu merepresentasikan kategori mirrorless, adalah memberikan pengalaman yang serupa dengan kamera DSLR (bisa digonta-ganti lensanya), tapi dalam kemasan yang jauh lebih ringkas secara menyeluruh. Seringkas apa memangnya? Coba Anda lihat Lumix GM1 yang dirilis di tahun 2013, yang masih memegang titel kamera mirrorless termungil.
Jadi jelas, Panasonic (dan Olympus) adalah yang berjasa memulai tren kamera mirrorless. Kendati demikian, trennya sudah berbeda sekarang, dan di sini yang berpengaruh luar biasa besar adalah Sony.
Sony mendefinisikan ulang mirrorless lewat full-frame
Kembali ke Lumix S1R dan S1 tadi, apa yang akhirnya mendorong Panasonic untuk mengembangkan kamera mirrorless full-frame? Jawabannya sudah pasti popularitas seri Sony a7, yang saat ini terdiri dari Sony a7R III dan Sony a7 III. Berbekal sensor full-frame, kedua kamera itu boleh dianggap mewakili kualitas gambar terbaik yang bisa disuguhkan oleh sebuah kamera mirrorless saat ini.
Melalui seri a7, Sony pun berhasil mendefinisikan ulang tren mirrorless. Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena hampir semua pengguna kamera mirrorless full-frame adalah fotografer maupun videografer profesional. Kondisinya sangat berbeda ketika kamera mirrorless full-frame belum eksis 8 – 10 tahun yang lalu.
Kala itu, kamera mirrorless yang ada di pasaran, baik bikinan Panasonic maupun Olympus, nyaris semuanya ditujukan buat konsumen yang ingin upgrade dari smartphone atau kamera saku, tapi keberatan dengan bongsornya DSLR. Fotografer profesional memang juga ada yang ikut beli, tapi jelas bukan untuk dijadikan kamera utama.
Sekarang, tidak sedikit fotografer profesional yang menggunakan Sony a7R III sebagai kamera utamanya dalam berbagai kebutuhan. Fotografer olahraga yang mementingkan performa super-cepat juga punya opsi mirrorless macam Sony a9.
Nikon dan Canon ikut ‘latah’
Tidak terlalu jauh sebelum Panasonic mengumumkan Lumix S1R dan S1, Nikon dan Canon sebenarnya sudah lebih dulu mengumumkan sesuatu yang berpotensi membuat Sony khawatir, yakni Nikon Z 7 dan Z6, serta Canon EOS R. Ketiganya, seperti yang kita tahu, adalah kamera mirrorless bersensor full-frame.
Ketika dua produsen DSLR terbesar memutuskan untuk serius di segmen mirrorless, maka Anda bisa menilai sendiri betapa pentingnya segmen ini di industri kamera. Jauh sebelum ini, baik Nikon dan Canon sebenarnya sudah punya lini kamera mirrorless, tapi itu masih mengikuti tren mirrorless lama yang dipelopori Panasonic – Nikon bahkan memilih jalur ekstrem dan memensiunkan lini mirrorless lamanya.
Lini mirrorless baru ini sudah jelas mengikuti tren yang dimulai Sony. Bahkan pola yang diambil pun sama seperti Sony – setidaknya untuk Nikon – yakni meluncurkan dua kamera mirrorless full-frame sekaligus; satu beresolusi ‘super’ (Nikon Z 7) seperti Sony a7R III, dan satu lagi beresolusi standar tapi tetap full-frame, plus lebih jago soal video (Nikon Z 6) seperti Sony a7 III.
Juga penting untuk diperhatikan adalah, Nikon dan Canon sama-sama tidak mau main-main; keduanya sama-sama merancang dudukan lensa (mount) baru, dan menjanjikan ekosistem lensa yang cukup luas khusus buat kamera mirrorless full-frame bikinannya masing-masing.
Aliansi full-frame Panasonic, Leica dan Sigma
Panasonic juga boleh kita anggap latah, tapi setidaknya mereka masih memegang prinsip kolaboratif seperti saat mengumumkan Lumix G1 sepuluh tahun lalu. Lumix S1R dan S1 yang dipamerkan di ajang Photokina 2018 kemarin menggunakan dudukan lensa L-mount bikinan Leica, yang berarti konsumen nantinya dapat menggunakan lensa besutan Panasonic maupun Leica.
Di samping itu, Sigma juga termasuk dalam aliansi full-frame ini, dan mereka juga siap merancang lensa untuk digunakan oleh konsumen Lumix S1R dan S1. Di saat yang sama, mereka juga berniat membuat kamera Foveon versi full-frame menggunakan dudukan lensa yang sama.
Aliansi atau kolaborasi ini merupakan salah satu kunci kesuksesan Panasonic dalam memulai tren mirrorless dulu. Konsumen dibebaskan memakai lensa Micro Four Thirds bikinan Panasonic atau Olympus, dan skenario itu kembali diulang untuk lini mirrorless full-frame miliknya.
Bicara soal Olympus, di mana mereka sekarang? Sepertinya mereka masih berpegang teguh pada Micro Four Thirds. Saya ingat perbincangan saya dengan salah satu petinggi Olympus Indonesia beberapa tahun lalu. Kala itu beliau menjelaskan bahwa Micro Four Thirds superior soal ketajaman gambar dari ujung ke ujung ketimbang full-frame, disebabkan oleh jarak antara lensa dan sensor yang lebih dekat.
Olympus memang tidak bisa dianggap sebagai major player di pasar mirrorless, tapi mereka tetap mitra Panasonic untuk sistem Micro Four Thirds, dan sistem ini juga tidak akan Panasonic tinggalkan begitu saja dengan masuknya mereka ke segmen full-frame.
Lebih lanjut, kalau bukan karena Olympus, mungkin kita akan terlambat berjumpa dengan sistem image stabilization 5-axis yang tertanam pada sejumlah kamera mirrorless terbaru. Kurang populer bukan berarti boleh disepelekan.
Mana mirrorless full-frame dari Fujifilm?
Fujifilm, seperti yang kita tahu, jauh lebih populer di kategori mirrorless ketimbang Olympus. Lalu apakah mereka tidak tertarik mengikuti jejak kompetitornya? Mana kamera mirrorless full-frame dari mereka?
Jawaban singkatnya: belum ada. Ya, di saat satu per satu pabrikan kamera mengikuti jejak Sony di segmen full-frame, Fujifilm rupanya belum tertarik. Bagi mereka, full-frame terkesan ‘nanggung’, sehingga mereka pun menyiapkan opsi upgrade yang dianggap lebih ideal, yakni medium format – lebih ideal karena lompatan kualitas gambarnya lebih jauh.
Kamera mirrorless medium format pertamanya, Fujifilm GFX 50S, dirilis setahun yang lalu. Kemudian pada Photokina 2018, mereka mengumumkan dua kamera mirrorless medium format baru sekaligus: GFX 50R, serta GFX 100 yang masih dalam tahap pengembangan. Berbekal tiga kamera, Fuji tentu tidak menganggap remeh segmen ini.
Sederhananya, daripada harus ikut bertarung di segmen full-frame yang sekarang semakin ramai, Fuji lebih memilih untuk mendominasi segmen lain meskipun lebih niche; di segmen mirrorless medium format, musuh mereka barulah Hasselblad X1D. Untuk segmen mainstream, toh mereka masih punya lini X-Series dengan sensor APS-C yang laku keras di pasaran.
Kesimpulan
Artikel ini sama sekali tidak saya buat untuk membandingkan apakah brand A lebih baik daripada brand B. Saya hanya ingin menyoroti pergeseran tren pada kategori mirrorless, dari yang tadinya ditujukan untuk konsumen umum, sekarang menjadi konsumen profesional dengan gencarnya segmen mirrorless full frame.
Ketika Anda memulai sesuatu, belum tentu selamanya orang lain yang bakal mengikuti Anda. Apple boleh memulai tren smartphone berlayar sentuh kapasitif dengan iPhone, tapi pada akhirnya mereka jadi yang paling terlambat mengimplementasikan wireless charging.
Analogi tersebut semestinya bisa menggambarkan kondisi Panasonic sekarang: dari pencetus ide menjadi pengikut. Sony sendiri sampai di titik ini (diusik dominasinya di segmen full-frame) bukanlah tanpa perjuangan; jauh sebelum Sony a7, mereka punya lini kamera mirrorless Sony NEX yang kurang sukses dan akhirnya diganti menjadi branding “a (alpha)” seperti sekarang.
2019 bakal menjadi tahun yang menarik untuk industri kamera. Saya pribadi penasaran bagaimana Sony bakal merespon rival-rival barunya di segmen yang mereka pelopori ini. Canon sendiri sudah menegaskan bahwa EOS R kemarin baru yang pertama, sedangkan Panasonic juga baru akan memasarkan Lumix S1R dan S1 tahun depan.