Baru-baru ini pemerintah dikabarkan sedang mewacanakan mengenai kebijakan pajak cuma-cuma terhadap model bisnis e-commerce, di antaranya model classified ads, marketplace, daily deals dan online retail. Pajak cuma-cuma ini konsepnya pemerintah akan mengenakan pajak (dalam bentuk PPN) kepada model bisnis yang disebutkan tadi.
Jika regulasi ini benar-benar diterapkan, artinya ketika ada orang yang akan mengiklankan produknya di layanan iklan baris digital atau online marketplace, seperti OLX atau Tokopedia misalnya, maka akan dikenakan pajak. Padahal selama ini proses tersebut gratis.
Sontak hal ini mendapatkan pertentangan keras dari hampir semua pemain di industri digital. Salah satunya diutarakan Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) sekaligus CEO OLX Indonesia. Daniel mengutarakan bahwa pajak cuma-cuma tak cocok diterapkan di bisnis online.
Semangat kemunculan internet adalah memberikan efisiensi, salah satunya memberikan layanan gratis untuk berbagai hal, termasuk mengiklan. Berbeda dengan bisnis konvensional, semuanya dilakukan dalam step yang panjang, sehingga memerlukan transaksi di sana-sini, yang bisa saja dikenakan pajak.
Hal serupa disampaikan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya pajak cuma-cuma ini ujung-ujungnya akan membuat para pemain e-commerce bingung. Dalam pernyataannya ia tegas mengungkapkan, bahwa para pemain e-commerce siap untuk membayar pajak, dengan dasar hukum yang jelas dan alokasi yang tepat.
Terkait pajak cuma-cuma sendiri Hendrik menyampaikan bahwa itu sama saja tidak adil. Menurutnya proses bisnis iklan digital atau marketplace ini dari ujung ke ujung sudah gratis, artinya dari konsumen ke konsumen dalam mengiklan tidak ada yang ditarik biaya, maka tidak ada pajak yang seharusnya dibayarkan.
CEO Bukalapak Achmad Zaky turut menanggapi seputar wacana pajak cuma-cuma ini. Menurutnya jika pemerintah menerapkan peraturan tersebut, maka para pelapak (sebutan bagi pengiklan di portal marketplace Bukalapak) menjadi kurang kompetitif. Mereka bisa saja kembali ke model underground, misalnya kembali melalui Facebook atau BBM. Model seperti itu akan kembali membawa pasar pada proses jual beli yang kurang terstruktur, karena tidak ada perantara yang memastikan transaksi aman dan nyaman.
Masyarakat sudah teredukasi sejak hype internet muncul bahwa ia menawarkan berbagai layanan gratis. Hal tersebut yang ditekankan oleh Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. William mengungkapkan:
“Harapan kami jika ada pajak baru, aturan tersebut tidak sampai membunuh model bisnis tertentu yang sangat dinamis di industri internet dan memberikan ruang inovasi bagi pemain lokal agar mampu bersaing di era internet yang borderless dan global. Harapan ke depannya, Indonesia tidak hanya menjadi negara pasar, namun mampu mengambil peran dalam potensi ekonomi digital yang ditargetkan pemerintah tercapai pada 2020.”
Sebagai perantara antara pemain industri digital dan kreatif dengan pemerintah, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun turut menyayangkan wacana pemerintah ini. Ketua Bekraf Triawan Munaf menyampaikan bahwa sejatinya pemerintah perlu melakukan diskusi lebih intensif dengan para pemain industri. Menurutnya kebijakan yang kurang pas bisa mematikan para pemula. Tugas pemerintah adalah mendukung bertumbuhnya perusahaan rintisan, bukan mengganggunya.
“Jangan sampai ekonomi kreatif yang masih bertumbuh dihambat oleh peraturan yang sebenarnya masih bisa diubah, peraturan harus dapat disesuaikan dengan perubahan zaman,” ujar Triawan.
Pemikiran konvensional tak cocok regulasikan dinamika digital
Startup men-disrupt model bisnis konvensional dan menghasilkan pemasukan besar dengan inovasi. Pemerintah men-disrupt tatanan bisnis yang sedang bertumbuh dengan regulasi yang kurang tepat sasaran.
Ungkapan itu mungkin cocok jika pajak cuma-cuma memang benar-benar diterapkan. Pola pikir yang lebih segar penting untuk menjadi bagian dalam perumusan kebijakan. Terlebih untuk mewadahi sebuah proses bisnis yang dinamis.
Regulator harus paham betul mengenai dinamika pasar yang ada. Tak bisa begitu saja menyamaratakan antara model bisnis konvensional dan digital. Internet banyak menghadirkan cara-cara baru yang memicu masyarakat untuk bisa lebih mandiri.
Kembali ke pajak cuma-cuma. Harus dilihat lebih dekat sebenarnya siapa yang menjalankan model bisnis gratis yang akan dipajaki tersebut. Ya, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). UMKM terangkat produknya berkat kemajuan internet. Mereka dengan mudah memasarkan produk mereka tanpa harus memikirkan jangkauan pasar, platform dan juga proses transaksi yang berbelit.
Masyarakat sudah dihadapkan dengan persaingan global yang tanpa batas. Jika inovasi dalam negeri banyak dihambat dengan aturan yang mempersulit, bagaimana UMKM kita, perusahaan rintisan kita, wirausahawan kita bisa tenang bersaing dan berkuasa di pasar dunia?