Sepekan belakangan sedang ramai polemik mengenai jasa layanan transportasi yang dibalut dengan kecanggihan. Go-Jek dan Uber yang mendapat sambutan positif dari masyarakat nyatanya tidak serta merta direstui oleh pemerintah, Organda, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan (termasuk di dalamnya ojek pangkalan). Hal ini menimbulkan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah, dalam hal ini pemprov DKI, dan Organda untuk berbenah.
Kurang lebih sepekan lalu ramai di media sosial bahwa Go-Jek mendapat perlakuan kurang mengenakan dari ojek-ojek yang ada di pangkalan. Alasannya pengojek pengkolan merasa omset mereka turun, merasa pelanggan mereka direbut oleh armada ojek yang identik dengan warna hijau tersebut.
Hal yang sama juga dialami Uber. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia Club bahkan melaporkan Uber ke pihak kepolisian karena dianggap melanggar regulasi. Hal ini berujung pada penangkapan sejumlah driver Uber. Untuk menghindari hal ini terulang lagi, berikut beberapa pekerjaan rumah bagi pemprov DKI dan Organda selaku pengelola layanan transportasi publik di ibukota.
Kualitas Layanan
Tak dapat dipungkiri minat masyarakat kepada jasa transportasi seperti Go-Jek dan Uber dilandasi oleh kualitas layanan yang lebih baik dari pada angkutan umum lainnya. Dengan sentuhan teknologi, keduanya menyuguhkan kemudahan bagi masyarakat untuk memakai jasa transportasi mereka. Masyarakat dimanjakan dengan kemudahan reservasi menggunakan smartphone, informasi pun transparan dan mendetil, mulai dari identitas pengemudi, posisi pengemudi, hingga harga tercantum dengan jelas.
Pendekatan yang sama setidaknya harus dilakukan pemerintah dan Organda untuk memoles layanan transportasi agar kembali memikat hati masyarakat. Harus ada yang peka bahwa beralihnya masyarakat ke transportasi alternatif merupakan peringatan bahwa sebenarnya ada yang salah dengan layanan transportasi yang tersedia selama ini.
Kondisi Armada
Meski Uber tersandung masalah regulasi nyatanya tetap mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Selain kemudahan yang disuguhkan melalui teknologi, kualitas armada menjadi salah satu faktor penyebabnya. Banyak yang menilai kualitas armada Uber lebih baik dibanding dengan kualitas armada angkutan umum kebanyakan.
“Di Indonesia, menata angkutan umum yang standar saja masih jauh. Nah, untuk membenahi ini, baik Organda maupun Dinas Perhubungan (Dishub) bisa belajar. Daripada terlalu direpotkan dengan polemik tentang Uber Taksi ataupun Go-Jek, akan lebih bijak membenahi bus-bus Metromini, Kopaja, ataupun Mikrolet yang jauh dari standar,” ujar Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Uber diduga melanggar Undang-Undang (UU) Lalu Lintas dan Angkutan Umum No 22 Tahun 2009 dan PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Angkutan Umum, karena tidak berizin. Faktanya mereka tetap mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Beberapa waktu lalu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa Ahok, sempat menjanjikan izin beroperasi jika saja Uber bersedia mengurus dan memenuhi syarat perizinan yang ditetapkan pemerintah DKI
“Saya bukan gak suka Uber Taxi, saya minta mereka terdaftar resmi, kantor kamu di mana? Pajak bayarnya kemana? Semuanya harus jelas,” ungkap Ahok seperti dikutip dari MetroTVNews.
Pemerintah DKI sendiri pada dasarnya tidak antipati terhadap layanan transportasi alternatif. Beberapa waktu lalu bahkan pemerintah mengusung rencana menggandeng Go-Jek sebagai feeder untuk TransJakarta. Sinergi ini harusnya bisa dioptimalkan.
Daripada terlalu fokus pada pelarangan harusnya pihak terkait bisa duduk bersama untuk membahas sinergi untuk menyediakan transportasi publik yang murah, mudah, serta nyaman bagi masyarakat.