Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah memasuki bulan kelima. Dunia usaha yang terdampak terus memutar otak untuk memastikan perusahaannya tetap beroperasi. Menurut catatan DailySocial, di Indonesia saja, setidaknya tujuh startup telah gulung tikar hingga pertengahan tahun ini.
Perusahaan-perusahaan yang bertahan masih berjuang melakukan efisiensi. Salah satunya dengan perampingan jumlah karyawan, entah itu dengan menerapkan cuti tanpa digaji (unpaid leave), pemotongan gaji, atau sampai harus memilih PHK.
Menengok dokumen spreadsheet SEAcosystem.com dan dokumen sejenis versi lokal, setiap harinya daftar pekerja startup yang di-PHK terus bertambah, meski tidak semuanya ditampilkan secara sukarela di sini. Dari sekian banyak nama-nama di sana, mayoritas divisi yang terdampak adalah pemasaran/marketing dan engineering/product/IT.
Di SEAcosystem misalnya, per kemarin (20/7), tercatat divisi marketing yang memasukkan identitasnya ke dalam database tersebut mencapai 578 orang, sebanyak 289 di antaranya datang dari Indonesia. Lalu, divisi IT/engineering ada 221 orang, 115 orang berasal Indonesia.
Fakta ini sejalan dengan laporan Startup Genome COVID-19 Impact Insights yang menyebutkan dari sekian banyak PHK yang terjadi di global, divisi yang berhubungan langsung dengan bisnis adalah yang paling pertama diefisiensi. Pekerjaan tersebut adalah Direct Sales (36% perusahaan yang mem-PHK terbanyak di divisi) dan Marketing (29%).
Alasan mengapa divisi engineering ikut terdampak juga dipaparkan. Untuk startup, PHK artinya sama dengan merusak rencana inovasi jangka panjang perusahaan. Divisi yang berhubungan di sana, seperti R&D (31%) dan Produk (32%) terkena imbasnya.
Laporan ini juga memperlihatkan sebanyak 60% startup di global sudah melakukan efisiensi, baik itu layoff atau mengurangi gaji. Secara rata-rata, di antara startup yang telah mengurangi jam kerja (full-time equivalent/FTE), 33% sudah mem-PHK karyawannya. Jumlah ini meningkat hingga 5 kali lipat dari Maret hingga Mei 2020.
Kondisi ini tercermin dari langkah efisiensi yang diambil OYO. Menurut data SEAcosystem.com, sekitar 18 orang yang bekerja di divisi marketing diefisiensi oleh perusahaan. Sisanya berada di divisi engineer, operations, dan data & analytics.
Contoh lainnya adalah Grab yang secara resmi merumahkan 5% karyawannya atau setara 360 orang. Dari laman direktori yang dibuat perusahaan, divisi terbanyak yang terkena dampak adalah operation and sales, engineer, dan UX & design. Data tersebut baru sepertiga yang di-input Grab.
Keputusan rasional
Partner Alpha JWC Ventures Erika Dianasari menjelaskan, kedua divisi ini paling terdampak karena punya kaitan tererat dengan kondisi industri. Keduanya berhubungan erat dengan inti startup, yakni produk atau solusi yang kemudian berkembang menjadi produk turunan atau vertikal-vertikal baru sebagai langkah lanjutan untuk terus tumbuh.
Pengembangan produk-produk tersebut otomatis membutuhkan banyak talenta dengan keahlian mumpuni. Namun pandemi mengakibatkan penurunan transaksi, yang akhirnya memaksa pimpinan startup mengambil prioritas kembali ke backbone utama (core product) perusahaan.
“Sehingga produk-produk turunan/vertikal baru, yang masih memiliki traction rendah, diputuskan harus hibernasi sampai saat yang belum ditentukan. Akhirnya inilah yang berimbas ke tim yang mengembangkan produk tersebut,” ujarnya kepada DailySocial.
Dari kacamata marketing, pengamat startup sekaligus inisiator beberapa komunitas startup Herry Fahrur Rizal memaparkan, di dalam divisi ini dikenal istilah “attention is a new currency” yang berlaku di era disrupsi. Attention adalah bagian dari model efek iklan AIDA yang merupakan singkatan dari Attention (Perhatian), Interest (Minat), Desire (Keinginan), dan Action (Aksi).
Salah satu peran agar suatu startup bisa meraih Attention tinggi dari konsumen adalah melalui peran marketing karena Attention menjadi prioritas utama. Akan tetapi, di masa pandemi ketika efisiensi adalah suatu “new normal,” maka proses marketing di medium digital menjadi strategi bisnis yang tepat untuk memperoleh perhatian tinggi tersebut.
“Jadi, jika proses marketing bisa dilakukan secara digital, apalagi dengan kanal digital perolehan Attention dari target audiens bisa terukur secara kuantitatif. Mengapa masih mempertahankan tim marketing yang gemuk? Maka perampingan tim marketing di era ini menurut saya adalah suatu keniscayaan,” terangnya.
Meski divisi marketing dirampingkan, sambung Herry, tidak berarti startup tersebut berhenti melakukan promosi yang sifatnya “bakar uang”. Mereka mengalihkan alokasinya ke kanal digital karena target audiens kini “berpusat” di sana, entah itu media sosial maupun situs online.
“Tentu saja tidak semata organik, atas nama ROI. Ada marketing campaign by design yang diskenariokan seolah-olah organik.”
Erika sependapat dengan pernyataan terakhir Herry. Dia memandang pandemi tidak hanya mengubah pola perilaku dan skala prioritas konsumen. Perusahaan juga akan memilih efisiensi biaya dan menyimpan dana tunai seoptimal mungkin agar perusahaan siap beroperasi dan memiliki amunisi yang cukup untuk bertarung (mendapatkan kembali market share) saat daya konsumen membaik.
Tetap ada talent war
Melihat kondisi ke depan, meskipun banyak talenta di divisi marketing dan IT yang dirampingkan, kemungkinan terjadinya talent war tetap ada. Salah satu alasannya adalah masih ada sektor “hijau” yang terus membuka rekrutmen baru.
“Karena talenta diberhentikan, mereka mungkin diserap oleh perusahaan besar dan meninggalkan ekosistem startup sama sekali. Untuk hub [ekosistem startup] yang belum matang di negara berkembang, [Ekosistem] mungkin akan [..] beralih ke tempat yang lebih kuat, seperti Silicon Valley, London, dan New York,” tulis laporan Startup Genome.
Herry mengatakan, talent war akan tetap terjadi karena Indonesia mengalami kekurangan talenta digital hingga 2030 mendatang. Pada dekade itu, Indonesia membutuhkan 113 juta talenta digital, tapi yang tersedia diproyeksikan hanya sekitar 104 juta orang.
Oleh karena itu, negara ini masih kekurangan sembilan juta talenta digital, baik secara kuantitas maupun kualitas.
“Perkiraan saya, ke depannya para startup atau perusahaan akan mengutamakan peran Digital Strategist di struktur lembaganya. Sementara eksekusi marketing campaign bisa dikolaborasikan dengan marketing agency tertentu,” ujarnya.
Erika memberikan pandangan yang sedikit berbeda. Pada dasarnya, talent war terjadi karena berlaku mekanisme supply vs demand. Rekrutmen dan gaji engineer memang jadi ongkos terbesar dalam pengeluaran operasional perusahaan, meskipun ini adalah bagian investasi dalam membangun produk terbaik untuk konsumen.
Dia berpendapat, alih-alih harus menempuh “prisoners dilemma” dalam memperebutkan talenta, perusahaan bisa melakukan managed services terkait tech & product development, memberikan value proposition reward yang tepat sesuai aspirasi talenta, atau menciptakan talenta baru dengan program internal development yang efektif.
“Pada intinya, total reward tidak selalu mengacu ke aspek cash atau gaji bersih,” tandasnya.
Rekrutmen tetap terbuka
Temuan lainnya didapat dari laporan Bonza yang berjudul “Covid-19: Balancing between Economy and Health”. Sepanjang Mei kemarin, sejumlah startup membuka rekrutmen seperti Lazada, Shopee, Home Credit, Cermati, Amazon, TikTok, LINE, Tunaiku, Alodokter, Zalora, Xendit, HappFresh, dan masih banyak lagi.
Mayoritas startup tersebut bergerak di industri yang memang sedang “hijau”, sehingga praktek supply vs demand tetap berlaku.
Laporan itu juga mencatat ada lebih dari lima juta layoff di multi industri, baik tech dan non-tech di Indonesia. Sejumlah startup yang masuk dalam daftar adalah Traveloka (100 karyawan), RedDoorz (250 karyawan), Akulaku (100 karyawan), Stoqo (250 karyawan), dan Airy (100 karyawan).
Tokopedia termasuk salah satu perusahaan yang saaat ini berada di posisi aman di tengah pandemi. Juru bicara Tokopedia memastikan perusahaan tidak mengambil langkah PHK. Gaji pokok tetap dibayarkan sesuai peraturan perundangan.
“Kami percaya bahwa talenta terbaik adalah sumber daya utama yang dibutuhkan dalam membangun produk terbaik dan bermanfaat bagi masyarakat.”
Secara umum, menurut pantauan DailySocial, Tokopedia tidak lagi merekrut karyawan baru secara jor-joran. Meskipun demikian masih ada posisi yang dibuka secara terbatas, misalnya Product Manager untuk TopAds dan New Retail.
Posisi yang menguntungkan di tengah pandemi ini memacu Tokopedia untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam berinovasi. Perusahaan kini mendorong kampanye yang lebih sesuai dengan kondisi sekarang, seperti mengajak usaha mikro untuk go digital demi mendorong pemulihan ekonomi negara yang terdampak.
“Kami mendukung gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia dan melihat berbagai upaya adaptasi yang dilakukan para pegiat usaha lokal demi mempertahankan bisnis di tengah pandemi, seperti pengusaha fesyen, gerai kopi, dan bazar buku online.”